Newest Post

Fu-Fam - Time I -

| Kamis, 26 Mei 2011
Baca selengkapnya »
***


TIME I : A GIRL FROM FUTURE APPEARED!


***


“Hooooi, pemalas! Cepat bangun, nanti kau telat sekolah lho. . .”

“Hmm? Sudah pagi ya?”


BRAK!


“Cepat bangun atau aku harus melakukan cara paksa seperti biasanya!”

Seorang gadis bertubuh agak lebih pendek dariku masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu dan langsung menatapku dengan tatapan marah.

Kugosok perlahan kedua pelupuk mataku dengan tanganku dan serta merta mulutku menguap pertanda aku masih terlalu ngantuk untuk bangun. Kalau saja bukan tatapan gadis di depanku ini mungkin aku tidak akan bangun untuk satu atau dua jam ke depan, tapi mau bagaimana lagi? Kalau tidak segera bangun dan turun untuk sarapan, dia pasti akan menendangku keluar meskipun aku masih dalam pakaian tidurku. Itu sering terjadi, dan hampir setiap hari terjadi.

“Iyaaaa, aku bangun sekarang.” Sahutku seraya beranjak dari tempat tidurku dengan malas menuju ke kamar mandi.

“Seharusnya memang begitu kan? Huh, dasar merepotkan! Aku tunggu di bawah untuk sarapan.”

Sang gadis yang tidak lain adalah adikku itu lalu pergi keluar dengan raut wajah kesal. Yah, tapi itulah adikku, meskipun sedikit pemarah tetapi dia orangnya sangat perhatian terhadap orang lain, terutama kepadaku, kakaknya sendiri.

“Pasta gigi, pasta gigi, ah ini dia.”

Kuraih pasta gigi dan kuoleskan sedikit pada bulu sikat gigi yang tengah kugenggam. Dengan mata yang masih setengah tertutup, kugosok gigiku dengan malas, bahkan saking malasnya hampir saja sikat gigi yang kupegang ini jatuh.

Segera setelah selesai menggosok gigi, kubasuh kedua mukaku agar terlihat lebih segar dan agar kerutan-kerutan akibat tidur hilang. Kemudian kubasahi sedikit rambutku, lalu kuambil handuk dan kuseka seluruh wajah dan juga rambutku.

“Hari ini. . . Semoga saja ada keajaiban yang terjadi.” Gumamku sambil melangkah keluar dari kamar mandi.

Kutatap keluar jendela kamarku yang berada di lantai dua. Matahari bersinar cerah dan nampaknya sangat terik di luar meskipun masih pagi. Suasana yang cocok untuk mendapatkan suatu kebahagiaan ataupun kejutan, kurasa.

Setelah selesai berganti pakaian seragam sekolah, aku langsung menuju lantai satu untuk bergabung bersama adikku menikmati sarapan yang telah dibuatnya.

“Akhirnya datang juga, huh! Cepat duduk dan selesaikan sarapannya, soalnya aku harus berangkat cepat hari ini.”

“Iya, iya, aku mengerti, aku akan mencoba lebih cepat.”

“Hm, bagus kalau begitu.”

Begitulah adikku, Hikari. Setiap hari selalu bertingkah seperti kepala rumah tangga di rumah ini. Kenapa? Karena kami hanya tinggal berdua saja di rumah ini, dan aku nampak di pandangannya seperti lelaki yang sama sekali tidak bisa diandalkan. Tapi yah, memang begitulah kebanyakan sifat wanita sekarang memandang para lelaki, terutama model sepertiku yang kerjanya hanya bermalas-malasan dan tidur-tiduran saja.

Kemudian, kenapa hanya tinggal berdua? Jawabannya adalah karena kedua orang tua kami bekerja di luar kota dan jarang sekali pulang. Mereka hanya rutin mengirimi kami uang bulanan untuk kehidupan sehari-hari kami, tapi bukan berarti kami adalah keluarga yang kaya. Lalu? Kami sebenarnya hanya keluarga sederhana saja yang tinggal di rumah peninggalan kakek dan nenek yang meninggal lebih dari sepuluh tahun lalu.


GREK!


Kugeser kursiku karena telah selesai melahap sarapan pagiku. Aku berjalan ke arah wastafel dan menaruh piring kotor bekas tempat makanan tadi, lalu kembali lagi ke arah meja makan untuk mengambil tas sekolahku.

“Aku pergi duluuu. . .” Ujarku malas.

“Tu, tu, tunggu, ada yang kelupaan,”

“Heh? Apa?”


CUP!


Tiba-tiba Hikari datang menghampiriku dan mencium pipiku dengan lembut.

“Apa yang kau lakukan?” Tanyaku terkejut.

“Bu, bukannya itu sudah biasa kita lakukan selama beberapa tahun terakhir ini?”

“Be, benar juga sih. . .”

Haaaah, apa yang sebenarnya tengah kupikrkan? Bukannya mendapat ciuman selamat pagi dari adik tercinta seperti ini memang sudah bagian dari kehidupan pagiku? Tapi aku masih saja selalu terkejut seperti ini, dasar.

“Kalau begitu aku pergi dulu, aku berangkaaat.”

“Hm, hati-hati di jalan.”

Sempat kulihat raut wajah adikku itu yang memerah sebelum keluar melewati pintu rumah. Dasar dia itu, memang orang yang benar-benar tidak bisa jujur dengan perasaannya sendiri.

“Tapi. . . Entah kenapa aku selalu merasa senang tiap kali dia memberiku salam pagi, hmp.” Gumamku sembari mengelus pipiku dalam perjalanan menuju ke sekolah.


***


“Mi-chaaaan ~ “

Sebuah suara yang kukenal seketika menghancurkan mood-ku di tengah pagi yang cerah ini. Ya, orang yang memanggilku dengan panggilan itu hanya ada beberapa orang, dan aku kenal betul dengan suara yang satu ini.

“Lavina! Sudah kubilang kan, biarpun namaku Mikan tapi jangan pernah memanggilku seperti itu!”

“Eeeeeh, kenapa?”

“Bukan kenapa, tapi aku ini kan laki-laki, jadi panggil aku Kyo atau Retsu saja.”

“Eeeeeh, membosankan, lagipula bukannya itu nama keluargamu ya?”

“Sudahlah, janagan mempermasalahkan masalah kecil seperti itu.” Ujarku mulai tersulut emosi karena bicara dengan orang di hadapanku ini.

“Hmm, aku mengerti! Kalau begitu ayo pergi, Mi-chaaaan ~ “

“Sudah kubilang kan jangan ,- “

Tangan Lavina secepat kilat bergerak menahan bibirku agar tak lagi dapat mengucapkan sepatah katapun.

“Ckckck, jangan permasalahkan hal kecil seperti itu, oke? Hahaha.” Tawanya senang karena berhasil mengalahkanku dengan kata-kataku sendiri. Senjata makan tuan, berbicara dengannya pagi-pagi begini benar-benar membuatku kesal.

“Aaaah sudahlah! Aku pergi sendiri.”

“Eeeeh? Tu, tunggu, aku ikut jugaaa!”

Aku melangkah pergi meninggalkannya dengan langkah yang tergesa-gesa, dan bahkan tidak melihat ke sekeliling ketika berjalan, hanya melangkah maju saja ke depan dengan cepat.


BRUK!


Tiba-tiba aku terjatuh karena menabrak sesuatu, atau mungkin lebih tepatnya seseorang. Kulihat di depanku kini seorang gadis dalam posisi jatuh terduduk sama sepertiku. Wajahnya benar-benar terlihat kusut dan dia menatapku dengan pandangan tajam penuh emosi.

“Ma, maaf, Ryuji, aku tidak sengaja.”

“Jangan panggil aku seenaknya, dan juga hati-hati kalau berjalan! Orang lain bisa terluka karena tingkah bodohmu! Huh!”

Dia beranjak sembari membersihkan pakaian seragamnya lalu dengan cepat dia berlalu dari hadapanku dengan wajah suram.

“Mi-chan, kau tidak apa-apa? Sini, biar kubantu kau berdiri.”

“Ah tidak apa-apa Lavina, aku bisa sendiri kok.” Ujarku menolak bantuan dari Lavina seraya berdiri. Pandanganku masih mengarah ke arah gadis yang barusan kutabrak itu.

Namanya Ryuji Mitsuragi, nama yang sangat aneh bagi seorang perempuan. Meskipun begitu, aku rasa nama itu memang cocok menggambarkan sifat dirinya yang sangat cuek terhadap orang lain, terlihat seperti seorang pria bahkan melebihiku. Bahkan terhadapku, entah kenapa aku merasakan kegelapan yang lebih ketika berhadapan langsung dengannya seperti barusan, sikap cueknya terhadap orang lain jauh lebih besar ketika berpapasan denganku. Yah, tapi meski bagaimanapun, dia itu tetap orang yang aku suka dari dulu, dari pertama aku melihatnya.

“Mi-chan, kau harus lebih berhati-hati dengan anak itu,”

“Aku mengerti kok, Lavina, tidak usah cemas.”

“Tapi sampai sekarang kau masih menyukainya kan?”

“Ee, eeh, anu itu, kenapa kau berpendapat begitu?”

“Itu, karena. . . Aku selalu melihatmu memandangi dia terus ketika di kelas.”

“A,aa, ah, jadi terlihat seperti itu ya? Tapi bisa saja kan aku melihat gambar yang dibuatnya? Di, dia kan jago menggambar, ingat?”

“Mata wanita bisa membedakan mana orang yang sedang jatuh cinta atau tidak lho, jadi jangan coba-coba berbohong dan cari alasan.” Ujar Lavina menatapku lekat membuatku semakin gugup.

“Ka, kau tidak percaya? Ya sudahlah. Lagipula kenapa kau mau tahu sekali urusanku sih?”

Lavina terdiam, lalu dia menarik wajahnya dari hadapanku. Aneh sekali, padahal tadi dia cerewet sekali, tapi karena kata-kataku barusan saja dia sampai terdiam seperti itu.

“Dasar Mi-chan bodoh!”

Lavina berlari masuk ke dalam lorong kelas dan meninggalkanku sendirian yang terpaku heran akan sikapnya itu.

“Kenapa sih sebenarnya anak itu? Tapi ya sudahlah.” Gumamku sambil melangkah mengikutinya ke kelas dengan langkah yang malas.


***


Di kelas, kulihat sikap Lavina padaku masih sama. Dia terus mengacuhkanku selama perjalanan berlangsung. Sepertinya dia memang butuh waktu untuk sendirian dulu, dan mungkin setelah itu dia akan membaik dan kembali lagi seperti dia yang biasanya.

“Jadi begitulah anak-anak, Ibu cukupkan pelajaran sampai di sini saja. Untuk pertemuan berikutnya Ibu harap kalian sudah membaca lanjutan dari apa yang sudah Ibu sampaikan barusan.”

“Baik, Sensei!” Sahut seluruh anak kelas serempak kecuali aku dan Lavina.

“Berdiri, beri salam!” Ujar ketua kelas memberi perintah yang segera disambut oleh seluruh anak dengan berdiri seraya membungkukkan badan, namun lagi-lagi aku mengindahkannya.

Yumi-sensei datang menghampiri dan memelototiku dengan seram.

“Sebentar Kyoretsu-kun! Mana sikap hormatmu terhadap guru, haaaah!?”

“Yaaaa, sensei!” Sahutku seraya berdiri dan membungkuk.

“Sudah telat! Hah, dasar, kau memang tidak pernah berubah dari dulu. Lain kali perbaiki sikapmu dulu baru masuk ke kelasku.”

“Yaaaa, sensei!” Sahutku lagi dengan nada malas.

Tak lama kemudian, Yumi-sensei pun keluar dari kelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya akibat ulahku. Tanpa mau peduli dengan semua itu, aku kembali menolehkan wajahku ke arah Lavina, tapi. . .

“Hah? Tidak ada?”

“Men-ca-ri-ku yaaa?”

Entah darimana munculnya, tapi Lavina kini telah berada di sebelahku dengan wajah cerianya seperti biasanya.

“Si, siapa juga yang mencarimu? Jangan terlalu percaya diri seperti itu.”

“Hoooo. . . Lalu sedari tadi kau melihat kemana?” Tanyanya sambil memegangi daguku dan mengarahkan pandanganku agar tepat melihat ke arah tempat duduknya.

“Aku tetap tidak mengerti maksudmu! Hmp.”

“Dasar Mi-chan, kau memang tidak pernah berubah ya, mungkin itu juga yang membuatku selalu betah ada di sampingmu. Kyaaaa Mi-chaaaan ~ “

Lavina berusaha memelukku namun aku berhasil menghindarinya.

“Jangan seenaknya saja memeluk orang lain!” Ujarku dengan wajah memerah.

“Eeeeh? Tapi kaaan. . .”

“Tidak ada tapi-tapian, kau ,-“

“Tapi. . . Wajahmu jadi merah lhooo. . . Mi-cha-n ~ “

“SUDAHLAAAAAAAAAAAAH!”


***


Sekarang adalah jam istirahat makan siang, namun karena Hikari mesti berangkat pagi jadi dia tidak menyiapkan bento untukku. Akhirnya aku terpaksa membeli sepotong roti di kantin sekolah dan memakannya sambil berbaring malas di atap sekolah.

“Langit benar-benar indah ya bila cuacanya cerah.” Gumamku sambil mengamati gumpalan awan putih yang berarak di langit nan biru sembari terus kulahap roti makan siangku.

“Hm?”

Seketika perhatianku teralih kepada sebuah cahaya yang bersinar terang di langit. Itu bukanlah matahari, dan juga bukan bintang karena sekarang masih terlalu siang untuk para bintang muncul. Lalu apa sebenarnya benda bercahaya yang bergerak dengan cepat semakin mendekat ke arahku itu? Tunggu, ke arahku, berarti benda itu sekarang akan segera menabrakku!

“Hyaaaa!” Seruku seraya berguling ke arah samping.


JDUUUM!


Sebuah benda berbentuk telur raksasa berwarna merah muda mendarat tepat di tempatku berbaring barusan.

“A, apa sebenarnya benda ini?” Tanyaku dalam hati.

Kuberanikan diri untuk mendekati benda tersebut dan kemudian kusentuh secara perlahan.


PLUK!


Sebuah benda kecil berbentuk hati yang tadinya menempel pada benda tersebut tiba-tiba jatuh ketika kusentuh. Kupungut benda kecil itu dan kemudian kumasukkan ke dalam saku seragamku untuk kujadikan barang bukti.

“Aku harus memberitahu yang lainnya.”

Tanpa pikir panjang lagi aku segera kembali ke kelas untuk memberitahu seseorang tentang peristiwa jatuhnya benda misterius dari langit ini.

“Lavina!” Panggilku.

“Ada apa Mi-chan?” Tanyanya penasaran melihatku yang tengah dalam kondisi terengah-engah dan sibuk menghirup oksigen di sekitarku.

“Kau harus melihat ini!”

Kutarik lengan Lavina dan kugenggam dengan kuat. Aku berniat membawanya untuk melihat benda berbentuk telur raksasa itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia adalah teman baikku, jadi dia pasti akan percaya apa yang telah aku lihat barusan.

“Ada apa Mi-chan? Kau terlihat buru-buru sekali. . .”

“Sudahlah! Ayo lihat ini, kau pasti akan suka,”


GREK!


Kubuka pintu menuju atap, namun. . .

“Hm? Hilang? Tapi kemana. . . Bukannya tadi masih ada di sini?” Tanyaku bingung karena benda yang tadi kulihat sudah tidak ada di tempatnya, bahkan bekas jatuhnya pun sudah tidak ada lagi.

“Ada apa sih Mi-chan? Hmm. . . Apa jangan-jangan kau mau memberikan pengakuanmu di sini ya? Hahaha!”

“Bukan begitu, tapi ini memang pengakuan juga sih, tapi aaaah, tadi aku melihat benda jatuh dari langit dan jatuhnya tepat di sini.” Jelasku kepada Lavina.

“Benda jatuh? Kau pasti berkhayal lagi seperti biasanya, ya kaaan?”

“Benar! Kali ini aku tidak berkhayal, lihat ini! Ini adalah buktinya.”

Aku mengambil benda berbentuk hati yang tadi kupungut dari dalam saku seragamku dan memperlihatkannya kepadanya.

“Heee. . . Benda yang bagus, jangan-jangan kau mau memberikannya kepada Ryuuji-chan ya sebagai hadiah?” Tanyanya kemudian dengan wajah yang penuh kecurigaan.

“Bukaaan! Tapi aku memang benar-benar melihatnya kok,”

“Sudahlah, ayo kita kembali, kalau kau memang sangat bersemangat begitu lebih baik kau pergunakan untuk memikirkan cara memberikan benda itu kepada anak itu.”

“Karena itu sudah kubilang kan kalau aku benar-benar melihatnya. . .”

“Iya, iya, ayo kita kembali ke kelas saja.”

Lavina menyeretku kembali ke kelas dengan paksa. Kukira bila Lavina yang kuajak untuk melihatnya dia akan percaya, tapi ternyata dia justru salah paham dengan benda yang kupungut itu. Akhirnya aku terpaksa harus kembali ke kelas dengan perasaan yang kecewa. Mungkin hari ini bukanlah hari bahagia seperti yang aku harapkan.

Setelah aku dan Lavina pergi, tanpa kami sadari ternyata sedari tadi sebuah sosok telah mengamati kami berdua dari salah satu sudut atap sekolah.

“Sudah ditemukan, Mikan Kyoretsu.” Gumam sosok itu dengan nada bicara yang terdengar senang.


***


Di perjalanan pulang aku masih memikirkan tentang peristiwa saat jam makan siang barusan. Benda yang tadi kupungut itu bahkan kini tengah kuletakkan di telapak tanganku dan kulihat dengan seksama. Tak ada yang aneh dengan benda ini. Benda ini sama saja seperti sebuah liontin berbentuk hati pada umumnya, dan mungkin itulah alasan Lavina menyangka bahwa benda ini adalah hadiah untuk Ryuuji.

“Sebenarnya benda apa ini?”

Sore harinya di rumah, setelah selesai mandi aku pun berbaring di tempat tidurku sambil kembali memandangi benda kecil berbentuk hati itu.

“Pemalas cepat turun, makan malamnya sudah jadi.”

Suara Hikari yang keras mengagetkanku dan membuat benda yang berada di telapak tanganku itu terlepas dan jatuh ke lantai.

“Dasar, membuatku kaget saja. Iya! Aku segera tu ,- “

Ketika hendak memungut benda tersebut, tiba-tiba benda itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang dan. . .


BUP!


“Kenyal? Apa ini sebenarnya?”

Pandanganku seketika terhalangi oleh sesuatu yang besar dan terasa kenyal. Kucoba untuk menengadahkan kepalaku, dan tiba-tiba kulihat wajah seorang gadis yang tengah tersenyum padaku. Tunggu, wajah? Berarti sekarang kepalaku ada di. . .

“Mikan, sebenarnya ada apa sih? Kau tidak menyelesaikan kata-ka-ta-mu. . .”


SIIIIIIING. . .


Suasana sunyi seketika tercipta ketika Hikari masuk ke dalam kamarku tanpa lebih dahulu mengetuk pintu dan melihat posisiku sekarang.

“APA YANG SEDANG KAU LAKUKAAAAAAAN!?”


***


“Ma, maaf.” Ucapku dengan wajah yang babak belur karena dihajar oleh adikku sendiri.

Hikari langsung menghukumku dan kemudian menyeretku turun dengan paksa menuju ruang keluarga di mana dia akan memarahiku habis-habisan.

“Apa yang sedang kau lakukan bersama seorang gadis di kamar? Dan lagi berduaan begitu, hah!?”

“Itu cuma kecelakaan. Sebenarnya aku melihat benda jatuh dari langit tadi siang dan dari benda itu aku menemukan benda kecil berbentuk hati, karena menarik aku menyimpannya. Lalu tadi saat aku sedang mengutak-atik benda itu, benda itu bersinar dan entah dari mana dia muncul, begitu. . .”

“Siapa yang percaya dengan cerita seperti ituuu!!!” Seru Hikari dengan suara yang sangat keras tepat di depan wajahku.

“Dasar kau ini, benar-benar laki-laki yang tidak berguna. Sudah tiap hari kerjanya hanya malas-malasan saja, sekarang malah berduaan dengan seorang gadis di dalam kamar seenaknya. Apa kata Ayah kalau sampai tahu hal ini? Haaaah. . .” Keluh Hikari akan sikapku.

Aku hanya bisa terdiam saja mendengarkan keluhan dan juga caciannya karena protes pun tetap saja tidak akan bisa. Hikari adalah orang yang susah untuk dirubah pendiriaannya, bahkan oleh orang terdekatnya pun akan susah sekali untuk merubah pendapatnya.

“Anuuu, ma, maaf,” Gadis yang tiba-tiba muncul di hadapanku itu keluar dari kamarku dan turun ke bawah menyela percakapanku dengan Hikari.

“Ya, ada apa?” Sahut Hikari dengan dingin.

“Kalian jadi bertengkar gara-gara aku ya?”

“Baguslah kalau sudah mengerti. Sekarang kemarilah dan jelaskan kepadaku satu alasan agar aku tidak menghukum kalian berdua.” Perintah Hikari kepada gadis berwajah polos itu.

Gadis itu kemudian duduk di sebelahku sementara Hikari yang sedari tadi duduk di kursi menatap kami berdua lekat.

“Sebenarnya semua ini bukan salah ka, ah maksudku bukan salah Mikan-kun, semuanya adalah salahku. Mikan-kun hanya tidak sengaja mengambil alat warp-ku.” Jelas gadis itu dengan suara yang lembut.

“Warp?” Tanya Hikari keheranan.

“Iya, itu adalah sejenis alat untuk berpindah tempat. Awalnya aku mencarinya kemana-mana namun tidak kunjung aku temukan, lalu aku pun mendapatkan ide bagus. Aku menggunakan remote control untuk berpindah ke tempat di mana alat itu berada. Akhirnya aku justru ada di kamar Mikan-kun, hehehe.” Jawabnya dengan begitu polos.

Hikari menatapku dengan tajam selama beberapa saat.

“Kau tidak berbohong kaaaan?” Tanya Hikari sambil terus mendekatkan wajahnya ke arahku dengan pandangan menyeramkan.

“Hm, kalau tidak percaya, coba sekarang Mikan-kun letakkan benda itu di sebelah Hikari-chan.”

Aku masih terdiam karena masih takut dengan tatapan yang diberikan oleh Hikari terhadapku.

“Kenapa diam saja? Ayo cepat lakukan, Mikan!” Seru Hikari memerintah.

“Ba, baik!” Sahutku sembari menaruh benda berbentuk hati yang sebenarnya sedari tadi kugenggam itu ke sofa tepat di sebelah Hikari duduk.

“Begini, cukup kan?”

“Hm! Nah, Warp!”

Gadis itu menekan sebuah tombol di remote control yang dia keluarkan, lalu dalam sekejap dia menghilang dari sampingku dan tiba-tiba muncul di sebelah Hikari dengan diiringi cahaya terang seperti saat di kamarku tadi.

“A, aah, jadi ternyata kalian tidak berbohong yaaa. . .” Ujar Hikari yang merasa sedikit malu karena telah salah sangka terhadapku dan gadis itu.

“Tentu, aku tidak akan berbohong kepada keluargaku sendiri.” Kata gadis itu dengan senyum polos yang mengembang di wajahnya.

“Ke, keluarga?”

“Sebenarnya siapa kau ini dan datang dari mana?”

Gadis itu melompat turun dari sofa dan berdiri di hadapanku dan Hikari.

“Perkenalkan! Namaku Mimi Kyoretsu, aku datang dari masa depan dan masih belum terlalu mengerti dengan zaman ini, jadi mohon bantuannya.”

Aku seketika tercekat dengan perkenalan gadis bernama Mimi ini. Kulihat Hikari pun memiliki reaksi yang sama denganku.

“Kyoretsu? Masa depan?” Ujarku bingung.

“Ya, aku adalah keturunanmu dari masa depan, Mi Ojii-chan ~ ”

“Ap, apa maksudmu?”

“Aku datang dari masa depan dengan tujuan memperbaiki hidupmu di masa sekarang, terutama kehidupan cintamu.”

Aku dibuat semakin terkejut lagi dengan lanjutan penjelasan gadis ini, sementara Hikari hanya terlihat diam saja tidak berkomentar.

“Ja, jadi dengan siapa aku akan berjodoh di masa depan? Ahahaha.” Tanyanya dengan memasang tampang bodoh.

“Sudah pasti! Ojii-chan akan berjodoh dengan Ryuji Mitsuragi, dan kalian ,- “

“Sudah cukup dengan omong kosongnya! Aku akan pergi ke kamar saja!”

Tiba-tiba Hikari memotong penjelasan Mimi dengan nada marah, lalu dengan wajah yang ditekuk kesal dia pergi ke kamarnya yang berada di sebelah kamarku di lantai atas.

“Ada apa dengan anak itu sih? Payah. . .” Gumamku heran akan sikap Hikari itu.

Tanpa kusadari saat aku tengah melihat Hikari yang bersikap aneh itu pergi dari hadapanku , Mimi melihat Hikari dengan pandangan yang aneh.

Tak lama setelah Hikari lenyap dari pelupuk mataku, kupergoki pandangan itu.

“Anu, Mimi? Ada apa? Kau pasti heran dengan sikap anak itu ya? Tidak apa-apa kok, dia memang sudah biasa begi ,- “

“Bukan, aku hanya sedikit kaget melihat orangnya secara langsung, ternyata memang sama persis dengan apa yang tertulis di buku.”

“Eh? Buku apa?”

“Ah! Itu. . . Agak sedikit sulit untuk dijelaskan, tapi di setiap keluarga itu memiliki buku tentang silsilah keluarga tersebut hingga ke beberapa generasi sebelumnya.”

“Hoooo. . . Jadi itu sebabnya kau tahu tentangku dan juga tentang Hikari ya?”

“Hm! Aku sudah membaca tentang kalian berdua. Kalian pasti berat ya hanya tinggal berdua selama ini?”

“Ahahaha, tidak juga. Hikari bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah kok, jadi aku bisa tidur-tiduran saja dengan tenang di rumah tanpa harus bekerja.” Ujarku dengan tertawa bangga.

“Benar-benar sama persis.” Kata Mimi dengan senyumnya yang ramah dan manis.

“Eh? Apanya?”

“Sifatmu yang suka bermalas-malasan begitu, semuanya tertulis persis di buku silsilah keluarga.”

“Hah, tentu saja, sifatku yang buruk tertulis semua di sana.” Desahku lesu.

“Tidak melulu tentang sifat buruk kok, ada juga banyak sifat baiknya.”

“Benarkah? Memang apa saja sifat baik yang aku miliki yang tertulis di buku itu?” Tanyaku penasaran.

“Ti-dak bi-sa ku-se-but-kan, Ojii-chan harus menemukan sifat baik itu sendiri.” Jawabnya sembari meletakkan jari telunjuk di depan wajahnya.

“Hah, tidak adil. Lalu bagaimana dengan jodoh yang kau sebutkan tadi, benarkah aku berjodoh dengan Ryuji?” Tanyaku lebih penasaran lagi.

Aku memang sedari dulu ingin meyakinkan diriku bahwa aku memang pantas untuk menyukai gadis bernama Ryuji itu. Aku bukanlah tipe orang yang dapat selalu percaya diri apalagi dalam masalah cinta.

Payah, mungkin itu adalah satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan diriku bila dihubungkan dengan masalah cinta.

“Hm! Kau akan berjodoh dengannya dan menikahinya suatu saat nanti, dan aku adalah salah satu keturunanmu dengannya.”

“Ternyata memang benar tebakanku selama ini kalau aku memang berjodoh dengannya! Yosh!”

Aku terlalu bersemangat dan membayangkan hal apa yang akan aku lakukan nanti bila telah bersama dengan Ryuji. Saking asyiknya, aku sampai lupa dengan kehadiran Mimi di sampingku.

“Anuu, Ojii-chan?”

“Eh! Iya?” Sahutku dengan perasaan malu karena terlalu terbawa dengan khayalanku sendiri.

“Ojii-chan baik-baik saja, kan?”

“Tentu saja, hahahaha.”


***


Di dalam kamarnya, Hikari duduk bersandar pada pintu kamar sambil mendekap kedua lututnya.

“Onii-chan, baka!” Serunya dengan suara pelan.


***


“Jadi, bisa kuartikan keberadaanmu di sini adalah untuk membantuku kan?”

“Hm! Aku datang ke zaman ini memang untuk membantu Ojii-chan dalam urusan cinta karena Ojii-chan memang. . .”

Mimi tidak menyelesaikan kata-katanya dan terlihat bingung. Aku segera mengerti apa yang dia ingin katakan selanjutnya namun tidak bisa.

“Payah, iya kan?”

“Se, seperti itulah.”

“Tidak perlu takut, katakan saja apa yang ingin kau katakan, aku tidak akan marah kok.” Kataku sambil tersenyum.

“I, iya, Ojii-chan.” Sahutnya seraya membalas senyumanku.

“Jadi kau tinggal di mana sekarang?”

“Ah, itu. . . Aku sebenarnya beberapa hari ini tinggal di dalam kapsul waktu.”

“Kapsul waktu? Ada juga benda seperti itu ya?” Tanyanya kagum.

“Tentu saja ada! Benda yang hampir menabrakmu siang ini itu adalah kapsul waktuku.”

“Ah! Jadi yang tadi siang itu kau ya?”

“Hm!”

Masih segar dalam ingatanku bahwa benda tadi siang berbentuk telur raksasa itu hampir mengenaiku, dan sekarang ‘sang penumpang’ nya telah berada di hadapanku dengan serentetan pengakuan yang sebenarnya tidak bisa dpercaya dengan akal sehat.

“Oh iya, tapi bagaimana benda itu bisa menghilang hanya dalam sekejap? Ketika aku ingin menunjukkan benda itu, benda itu hilang begitu saja.”

“Ah itu ya. . . Sebenarnya itu berkat kedua benda ini.”

Mimi mengeluarkan sebuah kotak kecil berukiran hati pada tutupnya. Dia kemudian membuka kotak berwarna silver itu dengan perlahan.


ZUUUW!


Sebuah pistol muncul di tangan Mimi yang lain.

“Ini adalah Fix-Fix, pistol yang dapat memperbaiki apa saja. Aku menggunakannya tadi siang untuk memperbaiki bagian atap yang rusak akibat benturan.” Ujarnya seraya menunjuk pistol tersebut ke arahku.

“Hooo. . . Lalu bagaimana kau menyimpan kapsul waktumu?”

“Tentu saja dengan menggunakan Box-Box ini. Alat ini dapat menyimpan benda apapun dalam ruang dimensi antar waktu dan aku bisa mengambilnya kapan saja.”

Mimi memasukkan kembali pistol bernama Fix-Fix itu kembali ke dalam kotak yang dia namakan Box-Box yang digenggamnya dengan menggunakan tangannya yang lain.

“Sekarang terselesaikan sudah misteri mengapa benda tadi siang menghilang dalam sekejap.” Gumamku lega.

“Oh iya, kalau begitu kau juga akan berniat tinggal di dalam kapsul itu lagi?” Tanyaku.

“Se, sebenarnya kapsul itu rusak, jadi aku sepertinya tidak bisa tinggal di dalamnya.” Jelasku dengan wajah sedih.

Aku berpikir sesaat mencoba memikirkan jalan keluar untuk Mimi, dan tiba-tiba terlintas sebuah ide bagus di kepalaku.

“Ah! Kalau begitu kenapa kau tidak tinggal di sini saja?” Usulku.

“Ta, tapi bukannya itu tidak boleh?”

“Kita ini keluarga kan? Keluarga sudah seharusnya saling membantu kan? Hehehe.”

“Terima kasih, Ojii-chan.”

Mimi kembali terlihat senang. Wajahnya kembali ceria seperti sebelumnya.

“Iya iya, aku akan bilang ke para tetangga bahwa kau ini adalah saudaraku yang baru datang dari kota yang jauh, mereka pasti akan mengerti.”

Mimi melompat ke arahku dan langsung memelukku dengan erat.

“Ternyata kau memang baik seperti apa yang ditulis selama ini di buku.” Gumamnya dalam hati dengan perasaan senang.

Wajahku berubah merah dan nampak seperti wajah orang bodoh. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan gugup dan salah tingkahku akibat gerakan Mimi yang tidak kusangka-sangka ini.

“Mi, Mimi, coba lepaskan,”

“Kenapa memangnya Ojii-chan?”

“A, ak, aku masih belum biasa diperlakukan seperti ini oleh seorang gadis.”

Segera setelah mendengar kata-kataku tersebut, Mimi melepaskan pelukannya dariku. Wajahnya seketika ikut memerah sama seperti wajahku sekarang.

“Ma, maafkan aku, Ojii-chan.”

Kubalikkan badanku agar membelakangi Mimi. Aku ingin menghindari salah tingkah kalau kami sampai saling berhadapan satu sama lain.

“Iya, aku maafkan, tapi lain kali jangan bergerak tiba-tiba seperti itu.”

“I, iya. . .”

“Ka, kalau begitu akan kuantarkan kau menuju ke kamarmu.”

“Ba, baik.”

Aku segera berdiri dan menuntun Mimi menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas, tepatnya berada di sebelah kamarku. Mimi mengikutiku berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kami tiba di kamar yang dimaksud.

“Yosh, ayo kita masuuuk. . . Permisi,”

Kubuka pintu kamar tersebut dengan mudah karena kamar itu tidak pernah dikunci semenjak tidak ada yang menempatinya.

Dulu, kamar yang aku dan Mimi masuki ini adalah kamar Ayah dan Ibu. Tentu saja setelah mereka bekerja di luar kota kamar ini jadi tidak pernah digunakan oleh siapapun, namun meski begitu, baik aku maupun Hikari tidak pernah ada yang mau merubah tatanan kamar ini sedikitpun.


KLIK!


Lampu dalam kamar menyala dengan terang setelah kutekan tombol untuk menghidupkannya.

“Bagaimana menurutmu? Cukup bagus kan?”

Mimi nampak tidak terlalu mendengarkanku dan terlalu sibuk memandangi kondisi kamar.

“Ini, bukannya kamar orang tua Ojii-chan?” Tanyanya mengagetkanku.

Ternyata dia menyadarinya dalam sekali melihat. Ini mengingatkanku akan kata-kata Lavina bahwa mata wanita memang sangat tajam dalam memandang suatu hal.

“Memang ini kamar kedua orangtuaku, tapi tidak ada yang menempatinya kok sekarang, jadi kau bebas menggunakannya, asalkan kau tidak mengubah letak barang-barang yang sudah ada saja.” Jelasku.

“Hmm. . . Ternyata memang benar ya, tapi baguslah!”

Mimi terlihat senang ketika aku membenarkan bahwa kamar ini adalah bekas kamar kedua orang tuaku. Hal itu membuatku agak bingung.

“Bagus kenapa memangnya?”

“Dengan memakai kamar milik kedua orang tua Ojii-chan berarti aku sudah bisa lebih dianggap sebagai bagian dari keluarga kan? Hehehe.” Jawab Mimi seraya melempar senyum.

“Begitu ya. . . Oh iya, ada satu hal lagi yang perlu kukatakan padamu.”

“Apa itu, Ojii-chan?”

“Ini masalah Hikari. Kau lihat sendiri kan tadi? Hikari sepertinya masih belum bisa menerima keberadaanmu di rumah ini, dan bahkan dia belum kuberitahu kau akan tinggal di sini. Dia selama ini hanya tinggal berdua denganku dan mungkin dia belum terbiasa dengan orang lain yang tinggal di sini, jadi aku berharap kau bisa bersabar bila berhadapan dengan dia.” Jelasku dengan wajah serius.

“Tentang itu ya, ya, aku akan berusaha agar mendapat pengakuan darinya.”

Mimi nampak sama sekali tidak terlihat cemas dengan masalah itu dan kembali melempar senyumnya. Ketika melihat senyumannya itu, aku yakin suatu hari Hikari pun akan mengakuinya kalau senyum yang dimiliki oleh Mimi itu indah dan dapat menenangkan hati.

“Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kamarku dulu, kau istirahat saja agar tidak terlalu capek.”

“Hm! Ojii-chan juga harus istirahat agar tidak terlalu capek.”

“Tentu saja, nah, kalau begitu aku permisi.” Ujarku seraya keluar dari dalam kamar.

Saat hendak kubuka pintu kamarku, aku tidak sengaja memandang ke arah kamar Hikari di sebelah kamarku. Seketika aku langsung teringat dengan kejadian barusan dan aku masih belum mengerti kenapa dia bisa sampai seperti itu.

Tanpa aku sadari, kakiku melangkah sendiri ke depan kamar Hikari dan tanganku langsung saja menggenggam kenop pintu kamarnya. Entah kenapa, aku merasa tanganku tertahan dan tidak bisa memutar kenop pintu itu.

Sempat terlintas di pikiranku untuk meminta maaf kepadanya sekali lagi, namun aku sendiri tidak tahu untuk alasan apa aku meminta maaf kepadanya.

Bukannya kesalahpahaman tentangku dan Mimi sudah terselesaikan tadi? Lalu untuk apa aku meminta maaf lagi? Begitu pikirku, dan mungkin itulah yang menjadi penyebab aku tidak bisa memutar kenop pintu kamar Hikari.

Akhirnya kuurungkan niatku untuk masuk dan berbicara dengan adikku. Alih-alih tidak bisa menemukan alasan yang tepat, aku justru tidak sengaja melangkah kakiku ke arah dapur. Di sana, di meja makan, aku melihat dua piring makanan yang sama sekali belum tersentuh.

Benar juga, karena kesalahpahaman tadi, baik aku maupun Hikari tidak ada yang menyentuh makan malam hari ini, padahal aku tahu Hikari selalu bersemangat ketika membuat makanan untuk kami berdua makan bersama.


GREK!


“Nyam! Nyam! Nyam!”

Seolah tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan oleh adikku tercinta, tanpa pikir panjang aku pun melahap kedua piring makanan yang telah tersedia di meja makan itu.

Beberapa saat kemudian, kedua piring itu telah kosong dan hanya menyisakan noda-noda kecil bekas makanan. Kubawa piring-piring itu ke wastafel dan kucuci hingga bersih, kemudian kutaruh kembali ke tempatnya semula.

“Semoga dengan ini Hikari tidak marah lagi.” Gumamku penuh harap sambil berjalan kembali ke atas menuju ke kamarku sendiri.

Di dalam kamar aku masih memikirkan tentang berbagai peristiwa yang terjadi hari ini.

Pertama, tentang kebiasaan adikku yang selalu memberiku ‘salam pagi’.

Kedua, tentang sikap Lavina yang sempat aneh saat pagi meski akhirnya dia kembali lagi seperti dia yang biasanya.

Ketiga, tentang jatuhnya benda misterius yang hampir saja menimpaku.

Keempat, tentang kemunculan gadis misterius yang merupakan penumpang dari benda misterius yang hampir menimpaku, dan dia mengaku bahwa dia adalah keluargaku dari masa depan.

Terakhir adalah tentang sikap Hikari yang aneh.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela. Kubuka lebar jendela kamarku agar aku dapat melihat langit malam yang penuh bintang dengan sangat jelas.


***


KREEEK!


Pintu kamar Hikari terbuka secara perlahan, lalu sang penghuni kamar pun keluar dengan mengendap-endap menuju lantai satu.

Hikari segera berlari menuju dapur begitu tiba di lantai satu. Sesampainya di sana, dia melihat piring makanan yang telah dia siapkan telah tiada dan sudah kembali lagi ke tempatnya semula.

“Haaaaaaah,” Desahnya lega sambil mengusap dadanya pelan.

“Onii-chan memang tetap Onii-chan, jadi kupikir aku akan memaafkanmu kali ini dan kurasa bertambah satu anggota keluarga lagi tidak masalah asalkan kau tetap seperti itu.” Gumamnya senang.


***


Di dalam kamarnya, Mimi tengah berbaring sambil memandangi langit-langit.

“Mulai besok aku akan tinggal bersama Ojii-chan, aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar.” Ujarnya berharap.

“Nah, Oyasuminnasai.” Ucapnya seraya memejamkan kedua matanya.

Beberapa saat kemudian Mimi telah terlelap dalam tidurnya dengan membawa harapan agar esok menjadi hari yang seperti dia inginkan.


***


“Orang-orang bilang bahwa kejadian tidak terduga dan misterius adalah suatu kebahagiaan sendiri bagi dirinya karena dengan begitu kehidupannya akan menjadi lebih menyenangkan.” Gumamku sembari memandangi langit malam penuh bintang dari jendela kamarku.

Aku begitu terpukau dengan pemandangan di luar sana. Saat itu pula aku berpikir, “Akankah hidupku seindah langit malam penuh bintang di luar sana?”

Jawabannya masih belum dapat kutemukan sekarang, namun aku harap aku akan segera menemukannya tidak lama lagi.

Di pagi hari aku sempat berharap agar hari ini aku mendapat sebuah keajaiban yang dapat membimbingku ke kehidupan yang baru, dan mungkin saja harapanku itu telah terkabul dengan munculnya Mimi dalam kehidupanku.

“Aku harap keajaiban terus berlanjut hingga menjadikan hari esokku indah.”

Tepat ketika aku mengucapkan itu sebuah bintang jatuh melintas, beruntung aku sempat melihatnya sebelum bintang jatuh itu lenyap dari pandanganku.

Setelah kurasa cukup memandangi pemandangan di luar sana, kututup jendela kamarku dan kuputuskan untuk berbaring di tempat tidur untuk segera beristirahat.

“Besok akan menjadi awal yang baru bagi kehidupanku, mungkin. . .”

Kupejamkan kedua mataku perlahan-lahan dan melupakan semua peristiwa yang telah terjadi hari ini.

“Nah, Oyasuminnasai.”


TSUZUKU. . .

Fu-Fam - Time I -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Kamis, 26 Mei 2011
With 0komentar
Next
▲Top▲