Newest Post

The Future - Page I -

| Sabtu, 01 Oktober 2011
Baca selengkapnya »
***


PAGE I : A JOURNEY TO THE FUTURE!


***


Di suatu waktu, di sebuah tempat bernama Time Village, hiduplah dua orang anak yang bernama Tobi dan Nail. Mereka berdua adalah sahabat baik semenjak kecil, dan tidak dapat dipisahkan hingga kini mereka mulai beranjak remaja.

Kedua orang remaja ini menyukai hal-hal yang berbau petualangan. Oleh karena itulah, mereka sering melakukan perjalanan ke suatu tempat demi memuaskan keinginan mereka. Salah satu tempat yang sering mereka kunjungi adalah bukit dekat desa mereka.

Tempat itu jarang sekali dikunjungi orang, dan oleh karena itu mereka dapat bersantai dengan tenang dan menyegarkan pikiran serta fisik mereka di sana.

Suatu hari, mereka tengah berada di tempat kesukaan mereka itu. Nail tengah bersantai memandangi langit biru di atas bukit agar dapat menenangkan pikirannya, sementara itu Tobi tengah sibuk berjalan-jalan di sekitar bukit tanpa tujuan yang jelas.

Tidak lama kemudian tiba-tiba Tobi berteriak memanggil Nail, “Nail! Coba kemari! Rasanya aku menemukan suatu benda yang aneh dan menarik!” Panggilnya.

“Ada apa sih? Padahal aku sedang santai begini.” Sahut Nail kesal karena istirahatnya terganggu.

“Sudahlah, cepatlah kemari. Kau pasti nanti juga akan tertarik!” Kata Tobi merayu.

Nail bangkit lalu berjalan ke arah Tobi dengan langkah malas. “Jadi, apa yang ingin kau tunjukan kepadaku itu?” Tanyanya.

Tobi menunjuk sebuah benda yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berada. “Kau lihat benda hitam di sana? Nampaknya benda itu mencurigakan.” Katanya.

“Hmmm. . . Memang agak mencurigakan sih, tapi lebih baik kita tidak terlalu memikirkannya, aku merasakan firasat yang tidak enak kalau kita mengambil benda itu.” Ujar Nail menyarankan.

“Heeee. . .? Jawabanmu kurang memuaskan, kukira kau akan berpikir sama denganku untuk mengambil benda itu.” Kata Tobi kecewa.

“Haaaah, karenanya aku bilang kan, benda itu bisa saja benda berbahaya atau benda beracun, bahkan mungkin saja benda itu adalah bom yang dibuang oleh sebuah kelompok penjahat.” Jelas Nail kepada Tobi.

“Ah! Tapi aku sudah terlanjur memegangnya.”

“Apa maksudmu. . . Kau sudah memegangnya!?”

Tobi tersenyum sambil melambai-lambaikan benda dalam genggamannya itu. Benda itu ternyata adalah sebuah buku yang memiliki sampul berwarna hitam.

“Cepat lepaskan! Kita masih belum tahu buku apa itu sebenarnya!” Seru Nail agar Tobi membuang buku di tangannya itu.

Bukannya menuruti saran Nail, Tobi malah mulai membuka halaman demi halaman dari buku tersebut dan melihatnya dengan seksama. Nail yang kesal berjalan ke arah Tobi lalu merebut buku itu dari tangan Tobi.

“Sudah kubilang kan untuk melepaskan buku ini!”

“Tapi rasanya buku itu misterius dan menarik.”

“Kita ini masih belum tahu buku ini jadi jangan coba untuk menyentuh atau membacanya!”

“Ah, tapi kau juga sudah menyentuhnya. . .”

Nail menoleh ke arah tangannya sendiri yang tengah menggenggam buku tersebut. “Ah, kau benar, kita berdua sudah memegangnya. Kalau begitu lebih baik kita lihat saja sekalian isi buku ini.”

“Kau benar-benar berubah pendapat dalam sekejap, Nail.” Komentar Tobi.

“Sudahlah! Kita lihat saja isi buku misterius ini.” Balas Nail.

Mereka berdua kemudian mulai membuka halaman demi halaman dari buku tersebut dan mengamati isinya secara teliti.

Pertama, halaman depan. Sampul buku tersebut berwarna hitam dengan judul buku yang ditulis dengan tinta berwarna emas, buku itu berjudul “The Future”.

Kedua, mereka membuka halaman dari buku tersebut. Tapi, mereka sama sekali tidak mendapatkan satu tulisan pun di halaman buku itu. Mereka kembali membolak-balik buku tersebut beberapa kali, tapi mereka tetap tidak mendapatkan apapun dari isi buku tersebut.

“Kau bisa membaca buku ini sendirian.” Nail menyerahkan buku di tangannya itu kepada Tobi. Tentu saja Tobi menerimanya dengan senang hati.

“Terima kasih, Nail. Aku memang penasaran dengan buku ini.”

“Aku sebenarnya ingin langsung membuangnya. Kau tadi juga lihat kan? Tidak ada apapun dalam buku itu, bahkan tidak ada setitik tinta pun yang tertoreh di sana.”

Tobi tidak terlalu memperhatikan perkataan Nail itu dan sibuk membolak-balik halaman demi halaman dari buku tersebut.

“Nail, kau yakin tadi kau membuka halaman buku ini dengan benar?” Tanya Tobi ragu.

“Tentu saja! Kau lihat sendiri kan tadi? Mana mungkin aku salah.” Jawab Nail dengan sangat yakin.

“Tapi. . .”, Tobi memperlihatkan salah satu halaman yang terdapat sebuah kata di sana. “Kau lihat ini kan? Di halaman ini ada tulisan meskipun hanya beberapa huruf.” Kata Tobi.

Nail kembali merebut buku bernama “The Future” itu dari tangan Tobi lalu membacanya sendiri. Dia kembali membaca satu persatu halaman buku itu demi meyakinkan dirinya sendiri. Tidak ada satupun halaman dari buku itu yang terdapat tulisan kecuali halaman yang ditunjukan Tobi barusan.

“Aneh. . . Padahal seharusnya tidak ada tulisan ini tadi.” Kata Nail heran.

“Sudahlah, mungkin kau tadi hanya tidak teliti saja.” Tobi mengambil kembali buku di tangan Nail.

“Oh ya, tulisan apa yang tadi tertulis di halaman buku itu?”

“Hmm. . . Biar kulihat, ah! Tulisannya adalah “ML” dan ditulis dengan tinta berwarna merah.”

“Sudah kuduga ini aneh. Tulisan dengan tinta merah dan muncul tiba-tiba, ini. . .”

PLUK!

“Sudahlah, Nail. Jangan terlalu memaksakan dirimu menjadi detektif seperti itu, bagaimanapun juga kita ini masih remaja ingusan.” Kata Tobi sembari menepuk pundak sahabatnya.

DUAGH!

Nail memukul kepala Tobi dengan keras hingga dia tersungkur jatuh. “Kau ini! Aku sedang memikirkan masalah buku ini dengan serius, jadi jangan berkomentar seenaknya begitu!” Omel Nail.

“A-Aw! Kau tidak perlu memukulku sekeras itu juga kan?” Protes Tobi sembari mengelus kepalanya sendirinya yang terasa sakit.

“Kita harus melakukan sesuatu dengan buku ini.” Usul Nail.

“Memang apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Tobi.

“Aku curiga dengan tinta merah yang digunakan untuk menulis huruf itu. Mungkin saja itu adalah bekas darah dari suatu pembunuhan.” Jelas Nail kepada Tobi.

“Ma-Maksudmu buku ini adalah buku dari suatu kejahatan?” Tanya Tobi lagi.

“Yah, mungkin seperti itulah.” Jawab Nail.

Tobi dengan terburu-buru melangkah meninggalkan Nail.

“Kau mau kemana, Tobi?”

“Sudah jelas kan? Kalau ini adalah bukti pembunuhan berarti kita harus menyerahkan kepada pihak yang berwajib.”

Nail mencengkram lengan Tobi dan menariknya agar dia tidak berjalan lebih jauh. “Bukan begitu juga maksudku. Yang kumaksud adalah kita harus bertanya kepada seseorang yang mengetahui segalanya.” Jelas Nail agar Tobi tak salah paham.

“O-Orang yang mengetahui segalanya? Jadi maksudmu kita kan menemui orang itu?”

“Ya, orang itu. Mac Brief, tetua di desa kita yang dikenal sebagai orang yang tahu segalanya.”

“Kalau begitu ayo! Kita tidak bisa buang waktu lagi.” Kata Tobi tidak sabaran.

Nail kembali menarik lengannya, “Jangan terlalu terburu-buru, meskipun ini mungkin berbahaya tapi kita juga tidak boleh bergerak secara sembrono.” Nail memberi peringatan.

“Oke, oke. Kalau begitu mari bergerak secara tidak sembrono!” Tobi kini berjalan dengan mengendap-endap layaknya seorang pencuri.

DHUAK!

Nail kembali memukul kepala Tobi dengan keras. “Bukan begitu juga maksudku bodoh! Yang kumaksud tidak sembrono dan hati-hati itu bukan seperti itu.” Kata Nail dengan kesal.

Akhirnya, mereka berdua pun mulai menuruni bukit dengan hati-hati. Perlu diketahui, jalan menuju ke bukit itu sangat terjal, jadi salah sedikit saja bisa-bisa seseorang yang naik ataupun turun bukit bisa terpeleset dan jatuh ke tebing yang tingginya cukup untuk membunuh seseorang.

“Aku dari dulu sebenarnya berpikir, kenapa kita setiap kesini selalu melewati jalan ini?” Tanya Tobi penasaran sambil melangkahkan kakinya dengan sangat berhati-hati.

“Kenapa? Ini kan cuma satu-satunya jalan untuk menuju ke sini.” Jawab Nail.

“Memang benar sih, tapi kalau kupikir-pikir sebenarnya setiap kita kesini kita selalu membahayakan diri kita sendiri.”

“Kau memang benar, tapi kita memang suka petualangan kan? Jadi jangan terlalu dipikirkan.”

“Yah, kau benar juga, Nail. Ini adalah salah satu tempat terbaik yang dapat kita temukan setelah melakukan beberapa kali petualangan.”

“Hm, ngomong-ngomong di depan sudah ada jalan turun, berhati-hatilah.” Ujar Nail memperingati Tobi.

“Osh! Tentu saja aku akan berhati-hati!” Sahut Tobi bersemangat.

Kedua orang remaja itu tak lama kemudian berhasil turun ke jalan setapak menuju ke desa mereka. Mereka pun menyusuri jalan itu dengan perlahan sambil menikmati pemandangan hijau di sekitar mereka.

“Mac Brief pasti akan terkejut ketika kita pulang membawa ini.” Seru Tobi senang.

“Yah, mungkin saja. Dia juga kan orang yang menyukai petualangan seperti kita.” Sahut Nail.

Siapa sebenarnya Mac Brief ini?

Mac Brief bisa dibilang teman baik kedua remaja ini. Dia adalah seorang kakek tua yang memiliki berbagai pengalaman dalam hidupnya sehingga dijuluki sebagai “The Man Who Knows Everything.”. Kebetulan karena kedua remaja ini menyukai cerita petualangan pria tersebut, mereka berdua sering berkunjung ke rumah pria itu hingga akhirnya mereka bersahabat baik dengan kakek tua yang tinggal sendirian di rumahnya itu.

“Oh ya Nail, apa kau ingat janjinya ketika kita terakhir berkunjung ke rumahnya?”

“Ah aku ingat itu! Dia berjanji kepada kita untuk menceritakan petualangan terbesarnya, kan?”

“Benar! Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan apa kisah terhebat yang pernah dialaminya.”

“Ya, pasti itu sebuah kisah yang hebat. Aku harap kita juga dapat memilikinya suatu hari.”

“Tentu saja kita bisa! Kita kan bukan dua orang remaja biasa, hahaha!”

“Kau ini, Tobi. . . Hm?” Nail mulai merasa curiga dengan suasana aneh yang dia rasakan di sekelilingnya.

“Ada apa Nail?” Tanya Tobi heran melihat perubahan ekspresi di raut wajah Nail.

“Entahlah, tapi aku merasakan ada hal yang aneh selama kita berjalan.” Jawabnya dengan menolehkan wajahnya kesana-kemari.

Tobi ikut-ikutan memalingkan wajahnya seperti Nail, tapi dia tetap tidak mengerti apa yang dimaksud dengan keanehan oleh kawannya tersebut. Maklum, dibanding dengan Nail yang memiliki kepintaran, Tobi lebih lambat untuk memahami sesuatu.

Mereka berdua terus berjalan sambil memperhatikan ke sekeliling. Mereka terus berjalan hingga tak terasa waktu telah berlalu dengan begitu cepat.

“Aku tahu apa yang aneh di tempat ini!” Seru Nail tiba-tiba.

“Eh? Kau sudah menyadari sesuatu yang aneh itu?” Tanya Tobi heran sekaligus kagum.

“Tentu saja! Yang aneh di sini adalah pepohonan ini!” Jawab Nail sembari meletakan telapak tangannya pada salah satu batang pohon yang tumbuh berjajar di sisi jalan setapak.

“Apa maksudmu, Nail?”

“Pepohonan ini setiap 15 pohon sekali selalu sama, dan di pohon inilah yang merupakan awal tempat kita kembali lagi.”

“Aku masih belum mengerti maksudmu, Nail. Bisa kau jelaskan sekali lagi?”

“Jadi jelasnya kita terus berjalan di jalan yang sama dan tidak pernah sampai di tempat tujuan kita yaitu Time Village. Pohon ini yang menjadi bukti kalau kita selalu kembali ke jalan yang sama.”

“Benarkah? Tapi aku tidak merasakan apapun yang aneh yang keluar dari pepohonan ini.” Tanya Tobi meragukan pendapat Nail.

Nail tersenyum penuh percaya diri, lalu dia mengambil sebuah batu kerikil kecil. “Kalau begitu lihatlah ini dan nilai sendiri apa kata-kataku salah.” Nail melemparkan batu kerikil itu sekuat-kuatnya ke arah depan.

“Apa yang terjadi? Tak ada apa ,-“

BUK!

Kepala Tobi tiba-tiba dihantam oleh sebuah batu kerikil yang entah dari mana datangnya.

“Batu ini. . .”

“Ya, itu batu yang aku ,-“

“Ini pasti batu iblis! Dia melayang sendiri! Dia ,- “

DHUAK!

“Itu batu yang aku lempar tadi, bodoh!”

“Batu yang kau lemparkan? Tapi bagaimana bisa?”

“Sudah kubilang kan tadi? Kita selalu kembali ke jalan yang sama.”

Tobi berdiri sembari memegangi kepalanya yang sudah dua kali ‘dihantam’ oleh ‘sesuatu’. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Terus berjalan ke arah depan tanpa ragu.” Jawab Nail dengan begitu yakin.

“Terus berjalan? Bukannya kau yang bilang sendiri kalau kita akan terus berjalan ke arah yang sama?” Tanya Tobi bingung dengan keputusan Nail.

Nail terdiam sesaat lalu kembali berbicara, “Entahlah, tapi aku merasa kita pasti akan dapat keluar dari sini bila kita terus berjalan ke depan. Aku merasa kalau kita sudah menyadarinya, kita tak akan kembali ke jalan yang sama.” Jelas Nail seraya mulai melangkahkan kakinya kembali.

“Nail. . . Kau. . .”

“Sudahlah! Cepat ikuti aku! Kita harus segera pulang dan menanyakan buku itu kan?”

“Ya, tentu saja. Kita harus segera mengetahui buku apa sebenarnya ini.”

Mereka berdua akhirnya kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda. Meski mereka tidak tahu apakah akan dapat keluar dari jalan membingungkan itu, tapi mereka tetap memutuskan untuk terus berjalan menembusnya.

Benar saja, setelah berjalan beberapa jauh mereka kemudian melihat gerbang masuk menuju ke desa mereka. Namun, entah kenapa mereka justru merasakan perasaan yang berbeda ketika mereka hendak tiba di desa.

“Akhirnya kita berhasil tiba di desa juga!” Teriak Tobi gembira.

“Ya, itu memang bagus, tapi sejak kapan ada tempat seperti gerbang di sini?” Tanya Nail ketika melihat sebuah gerbang besar yang tinggi menjulang di hadapan mereka.

“Hm? Gerbang? Apa maksud. . . mu?”

Tobi pun merasa heran dan kebingungan melihat gerbang tersebut. Dia juga merasa belum pernah melihat gerbang di hadapannya itu sebelumnya.

“Ah-hahaha, mungkin mereka membangunnya ketika kita pergi, Nail.”

“Mana mungkin bisa secepat itu kan? Lagipula ini justru terasa semakin aneh saja.”

“Sudahlah, sudahlah. Kita masuk saja ke dalam dan cari tahu apa yang terjadi.”

“Hh, kurasa memang sudah tidak ada cara lain lagi. Ayo masuk!”

***


Sementara itu, di sebuah tempat yang sangat jauh dari tempat dimana Tobi dan Nail berada. Di sebuah ruangan, terlihat tiga orang tengah berbicara. Salah seorang dari mereka adalah pemimpin di antara ketiga orang itu. Dia berbicara kepada dua orang lainnya yang mendengarkannya dengan serius.

“Jadi, seperti apa yang aku perkirakan sebelumnya, buku itu telah datang ke masa ini bersama dengan dua orang bocah ingusan yang membawanya.” Katanya dengan suara yang berat.

“Kita harus segera mendapatkan buku itu secepatnya dan tidak boleh membiarkan orang-orang dari organisasi pengganggu itu mencampuri urusan kali ini.” Lanjutnya.

“Siap, tuan!” Sahut kedua bawahannya.

“Aku ingin kalian berdua pergi mengambil buku itu dari tangan kedua bocah-bocah itu dan bawa buku itu kemari! Soal bocah-bocah itu, kalian bisa melenyapkan mereka atau kalian bisa melakukan apapun sesuka kalian.” Perintah sang tuan.

“Kami mengerti, tuan!” Sahut kedua orang itu lagi.

“Kalau begitu sekarang kalian boleh berangkat!”

“Siap! Kami laksanakan segera!”

Setelah itu, kedua orang itu pun pergi dari ruangan itu untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh sang tuan.

“Dengan begini rencanaku untuk mendapatkan The Future dan menguasai masa depan akan segera tercapai, hahahaha!” Tawanya jahat dengan begitu senang.

***


Tobi dan Nail memasuki gerbang masuk ke dalam desa mereka, dan di sana mereka menemukan banyak sekali kejanggalan. Mereka tak lagi mengenali bangunan-bangunan yang ada di sana, dan bahkan tak ada seorangpun yang mereka kenal di sana.

Suasana desa kini telah berubah hampir seperti sebuah kota, atau lebih tepatnya kota masa depan. Semua orang nampak telah akrab dengan alat-alat elektronik. Beberapa robot bahkan terlihat berseliweran di sana-sini dan orang-orang nampak sudah terbiasa dengan suasana seperti itu.

“Awaaas!” Seru sebuah suara memperingati Tobi dan Nail untuk menghindar.

Mereka segera bergerak menghindar dan mereka beruntung karena pengguna skateboard terbang tadi tak menabrak mereka. Seseorang yang tak akan pernah mereka temukan ketika sebelumnya mereka ada di desa.

“Kita nampaknya terlalu lama bermain.” Celetuk Tobi.

“Mana mungkin, kan!? Kita cuma beberapa jam saja di sana! Ini pasti ada yang aneh.” Komentar Nail.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” Kata Tobi bertanya pada Nail.

“Tidak ada cara lain, kita harus berpencar dan bertanya pada orang-orang. Kita nanti bertemu lagi di tempat ini, mengerti?” Jawab Nail mengusulkan sebuah ide.

“Yah, kalau begitu aku juga tidak punya pilihan lain. Ayo kita berpencar!” Sahut Tobi setuju.

Kedua orang sahabat ini pun kemudian berpencar serta bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa mereka selama mereka pergi.

Selama bertanya, tidak ada satu pun orang yang mengenali mereka, bahkan tak ada satupun dari mereka yang mengenal orang yang mereka sebutkan. Semuanya bagaikan berada di waktu yang berbeda.

Akhirnya, mereka berdua kembali ke tempat mereka berjanji untuk berkumpul. Mereka kembali tanpa membawa hasil apapun kecuali kebingungan yang terus bertambah.

“Apa yang kau dapatkan, Tobi?” Tanya Nail.

“Aku tidak mendapatkan informasi apapun, mereka semua yang ada di sini terasa asing bagiku. Aku belum pernah bertemu dengan orang-orang yang ada di sini.” Tobi menjelaskan.

“Kalau begitu lebih baik kita tanya saja tentang rumah Mac Brief, siapa tahu saja ada orang yang masih mengenalinya, dia kan orang yang terkenal di desa.” Ujar Nail mengusulkan.

“Baiklah, ayo kita segera bertanya.” Sahut Tobi setuju.

Kedua remaja itu kemudian memberhentikan salah satu pejalan kaki yang melintas di dekat mereka, lalu mereka pun menanyainya.

“Maaf, apa kau tahu tentang Mac Brief? Atau paling tidak rumahnya?” Nail mencoba bertanya dengan sikap yang sopan.

“Apa maksud kalian bertanya seperti itu? Apa kalian ini orang luar ya?” Tanya orang itu balik.

“Ah, ya seperti itulah, kami baru saja pulang dari luar kota jadi terasa sangat asing dengan tempat ini.” Jelas Nail berbohong.

“Tapi kalian pasti sudah sangat lama tidak kemari, dan kalian pasti mendengar nama itu dari kedua orang tua atau bahkan kakek kalian kan?”

“Apa maksud orang ini, Na ,-“

Nail menahan Tobi untuk tidak ikut berbicara agar tidak mengacaukan pembicaraan, “Ya begitulah, memangnya kenapa anda bertanya begitu?”

“Ya jelas saja, Mac Brief sudah meninggal 50 tahun yang lalu, tapi mungkin rumahnya yang tua dan hampir ambruk itu masih ada.”

“Apa!? 50 tahun yang lalu. . .? Dia sudah meninggal. . .?” Seru Tobi dan Nail heran.

“Ya, sekarang sudah tahun 2XXX, jadi memang benar sekitar 50 tahun yang lalu.” Kata orang itu kembali mempertegas kata-katanya.

“Kalau begitu. . . Kita. . .”

“Sudah berpindah waktu. . .”

“Ke 50 tahun berikutnya!?”

“Ah, aku ada janji jadi tidak bisa lama-lama. Maaf hanya dapat memberitahu kalian segitu, sampai jumpa lagi.” Ucap orang itu sembari berlalu meninggalkan Tobi dan Nail yang masih dalam kondisi kebingungan yang amat sangat.

“Apa maksudnya dengan 50 tahun yang lalu itu, Nail?”

“Aku juga tidak tahu, semuanya terasa begitu aneh.”

“Lalu kita sekarang harus bagaimana? Apa yang mesti kita lakukan?” Tobi panik.

“Tenang, Tobi. Masih ada satu hal yang dapat kita lakukan.” Ujar Nail mencoba untuk tenang.

“Apa itu, Nail?”

“Mengunjungi rumah Mac Brief dan memastikannya dengan mata kepala kita sendiri.”

Setelah itu, kedua remaja itu pun memutuskan untuk pergi ke rumah Mac Brief sebagaimana tujuan awal mereka. Sekiranya kata-kata orang tadi benar, maka rumah Mac Brief pastilah tetap berada di tempat yang sama meski telah dalam kondisi yang berbeda.

Mereka berjalan menyusuri desa yang kini terlihat bagaikan kota raksasa dengan berbagai kecanggihan tekhnologi yang terlihat di sana-sini. Semua bangunan dan gedung yang mengepung kota sama sekali belum pernah mereka lihat. Desa mereka telah benar-benar berubah dalam sekejap mata.

Tidak lama kemudian, mereka tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah rumah yang hampir roboh menanti di hadapan mereka berdua seolah berbicara mengundang mereka untuk masuk ke dalamnya.

“Apa kau yakin untuk masuk ke dalam sana?” Tanya Tobi masih ragu.

“Tentu saja! Selain ini tidak ada cara lain untuk mengetahui apa yang terjadi, kan?” Jawab Nail dengan yakin sambil melangkah terlebih dahulu meninggalkan Tobi yang masih tidak yakin akan tindakan mereka ini.

“Baiklah kalau begitu, aku juga akan masuk. Tunggu Nail!”

Tobi dan Nail memasuki rumah itu dengan langkah perlahan dan penuh dengan kehati-hatian karena kondisi rumah yang sudah sangat bobrok. Sedikit saja mereka membuat keributan, mungkin saja rumah itu akan segera roboh dan menimpa mereka.

Mereka berkeliling rumah itu dengan berpencar ke arah yang berbeda.

Tak banyak yang dapat mereka temukan di sana, hanya ada debu dan beberapa kayu reot yang telah berjatuhan ke tanah akibat umur. Selain itu, buku-buku bekas yang telah hancur pun menghiasi beberapa ruangan dalam rumah itu.

Sekian lama mencari, namun mereka tak kunjung menemukan sebuah petunjuk pun.

Ketika mereka hendak menyerah, Tobi tidak sengaja menabrak dinding dan seketika dinding rumah itu pun bergetar dengan cukup hebat.

Tobi dan Nail panik, mereka takut rumah itu akan segera roboh. Tetapi setelah beberapa saat, rumah itu kembali tenang, dan sepucuk surat yang entah darimana datangnya jatuh ke tanah akibat getaran hebat barusan.

“Surat apa itu?” Tobi bertanya sambil menunjuk surat yang tergeletak di lantai berdebu itu.

“Mungkin ini petunjuk yang kita cari sedari tadi!” Seru Nail senang. Dia kemudian segera berlari dan memungut surat itu dari tanah. Surat itu lalu dibukanya dan mulai dibacanya dengan suara yang cukup keras agar Tobi dapat mendengarnya.

“Untuk Tobi, dan Nail, kedua sobat kecilku yang sangat menyukai petualangan. Maafkan aku yang tidak bisa menjelaskan detail permasalahan yang kualami secara langsung, tapi hal ini tetaplah hal yang penting untuk disampaikan.”

“Kalian pasti tengah kebingungan karena telah berada di tempat yang berbeda dengan sebelumnya kan? Kalian boleh saja merasa begitu, tapi kalian tidak boleh panik. Di waktu di mana kalian berada sekarang, kalian harus melakukan suatu petualangan agar dapat kembali ke waktu sebelumnya.”

“Petualangan ini tentulah tidak mudah, kalian akan melewati berbagai bahaya dan kejadian tak terduga. Oleh karena itu, tetaplah kalian bersama-sama apapun yang akan terjadi nanti. Aku tak bisa menjelaskan lebih lanjut, tapi yang pasti aku tidak bisa membantu kalian karena di sana aku sudah tiada. Aku. . .”

Nail berhenti membaca surat itu. Dia menggerakkan kedua bola matanya dan melihat surat itu dengan lebih cermat, tapi nampaknya dia tidak bisa membaca lanjutan surat itu.

“Ada apa, Nail? Kenapa kau berhenti membacanya?”

“Aku tidak bisa mengetahui kelanjutan dari surat ini, tulisannya sudah tidak jelas lagi.”

“Eh? Tapi kenapa? Bukannya surat itu sangat penting untuk kita?”

“Bodoh! Surat ini dibuat 50 tahun lalu, jadi membaca bagian awal saja kita sudah beruntung! Lagipula dengan membacanya aku jadi mengerti satu hal. . .”

“Apa itu? Aku sama sekali tidak mengerti meskipun mendengarkanmu tadi.”

“Bodoh! Sudahlah, aku tidak akan berkomentar lagi tentang sifatmu itu. Yang aku mengerti dari surat ini adalah bahwa kita sekarang berada dalam suatu petualangan dengan kondisi aneh dimana petualangan ini mempertaruhkan nyawa kita agar kita bisa kembali ke waktu kita yang sebenarnya dengan selamat.”

“Ja-Jadi maksudmu kita memang tidak berada di waktu kita yang sebenarnya?”

“Ya. Kita sekarang ada di masa depan, dan itu semua berkat buku bernama The Future itu.”


***


“Jadi ini rumah pria tua yang dimaksud oleh Boss itu, hah!?”

“Jaga bicaramu, Black! Dia bukan pria tua, dia sudah lama meninggal.”

“Bagiku sama saja! Ayo kita segera serbu masuk dan temukan kedua bocah itu!”

“Bersabarlah sedikit! Jangan jadi orang yang suka terburu-buru.”

Dua orang berpakaian rapi namun berbeda warna berdiri di halaman depan rumah Mac Brief. Satu orang di antara mereka yang bicara tidak sabaran menggunakan pakaian setelan jas serba hitam, sementara satu orang lagi menggunakan setelan serba merah. Mereka mengetahui keberadaan Tobi dan Nail di dalam sana, dan nampaknya mereka mengincar kedua bocah itu.

Kedua orang itu kemudian memasuki rumah bobrok itu sembari memandang ke sekeliling mencari dua mangsa mereka yang berada entah di mana di dalam rumah itu.

Di tempat lain, Nail merasakan kedatangan kedua orang itu dan menyuruh Tobi untuk ikut dengannya bersembunyi.

“Kenapa kita bersembunyi, Nail?” Tanya Tobi bingung.

“Ada seseorang yang datang dan aku tidak tahu apakah mereka jahat atau tidak.” Jawab Nail setengah berbisik. Matanya terus mengawasi ke arah pintu masuk kalau-kalau ada seseorang masuk ke ruangan tempat mereka berada.

“Apa jangan-jangan mereka mengincar kita?” Tanya Tobi lagi ketakutan.

“Jangan berbicara bodoh di saat seperti ini!” Bentak Nail membuat Tobi diam.

Beberapa menit berlalu mereka menunggu, suara langkah kaki yang mendekat ke tempat mereka mulai menghilang. Orang yang berada di luar sana itu pasti sudah menyerah dan keluar dari rumah ini, begitulah pikir mereka.

“Apa sekarang sudah aman, Nail?”

“Aku rasa begitu, ayo keluar!”

“Baiklah! Aku di belakangmu.”

Kedua remaja itu keluar dari tempat persembunyian mereka dengan langkah yang hati-hati agar tak membuat keributan. Mereka kemudian menuju ke pintu keluar dan berniat untuk segera meninggalkan rumah itu. Namun. . .

“Kalian tertipu bocah-bocah kecil!” Seru orang berpakaian hitam yang dipanggil Black yang tiba-tiba muncul dari balik pintu keluar.

Tobi dan Nail terkejut dan berbalik badan mencoba untuk kabur, tapi dengan gerakan yang sangat cepat seseorang lainnya yang berpakaian merah mencegat jalan mereka. Kini mereka benar-benar sudah tidak bisa melarikan diri dari kepungan kedua orang itu.

“Kalian sudah tidak bisa melarikan diri, hahaha!”

“Lebih kalian menyerah saja kepada kami.”

Tobi dan Nail semakin terdesak. Mereka ingin mencoba untuk kabur namun apa daya mereka sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melawan dua orang dewasa yang mencoba untuk menangkap mereka itu.

“Nail, boleh aku bertanya satu hal saja?”

“Apa yang kau ingin tanyakan di saat genting seperti ini?”

“Tidak, aku cuma ingin bertanya, apa ini akhir kita sebagai penyuka petualangan?”

“Bodoh! Tentu saja kita tidak akan berakhir di sini, kita pasti bisa keluar.”

“Tapi bagaimana caranya? Lawan kita dua orang dewasa yang badannya jauh lebih besar daripada kita berdua. Mana mungkin kita mengalahkan mereka!”

“Jangan berbicara aneh! Pasti ada jalan selama kita mempercayainya!”

“Sudah cukup berdiskusinya bocah-bocah kecil! Aku akan mengurus kalian!” Seru Black maju seperti hendak menerkam kedua orang mangsanya itu.

BOOF!

Sebuah bom asap meledak di hadapan keempat orang di ruangan itu dan menimbulkan kepulan asap yang sangat pekat.

“Ikutlah denganku, kalian ada untuk berada di pihak kami!”

Seseorang misterius muncul dan membawa Tobi dan Nail yang kehilangan kesadaran akibat pekatnya kepulan asap yang mereka hirup. Orang itu keluar dengan mendobrak dinding rumah yang sudah sangat tua. Dinding itu pun hancur dan mengakibatkan keseimbangan rumah bobrok itu terganggu sehingga rumah itu kembali bergetar dengan hebat.

BRUAAAAAK!

Rumah tua itu ambruk dan menimpa kedua orang yang masih tertinggal di dalamnya.

“Kurasa dengan ini dapat menghambat gerakan mereka berdua.” Orang misterius itu menoleh ke arah puing-puing rumah sekali lalu dia pergi dan menghilang dari tempat itu bersama Tobi dan Nail yang dibawanya.

“Sialaaaaan! Dia berhasil membawa mereka kabur!” Black muncul dari bawah reruntuhan rumah, kemudian baru si pria berpakaian merah menyusul keluar.

“Dia yang barusan. . . Tidak salah lagi, dia adalah orang yang berasal dari organisasi perdamaian dunia yang selalu mengganggu pergerakan organisasi kita.” Kata si pria merah.

“Ya, organisasi bernama Mos Lueva itu memang benar-benar menjengkelkan!”


TSUZUKU. . .

The Future - Page I -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Sabtu, 01 Oktober 2011
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲