Newest Post

Fu-Char - Hikari Kyoretsu -

| Senin, 29 Agustus 2011
Baca selengkapnya »
Moshi-Moshi Minna-san ~

Minna-san wa genki desu ne?

Kali ini kembali di pojok Fu-char dan saya akan kembali untuk membahas salah satu tokoh utama dalam cerita Fu-Fam ini. Saya di sini akan membahas salah satu heroine lain selain Mimi Kyoretsu yang juga masih anggota keluarga Kyoretsu, yaitu Hikari Kyoretsu. Langsung saja, inilah ulasannyaaaa ~

Hikari adalah adik dari tokoh utama dari cerita Fu-Fam ini yaitu Mikan Kyoretsu. Dia berumur 2 tahun lebih muda dari Mikan, namun dialah yang bertanggungjawab terhadap seluruh urusan rumah tangga di keluarganya semenjak kedua orangtuanya bekerja keluar kota. Dia bisa jauh lebih dewasa dan lebih dapat dipercaya ketimbang kakaknya, dan karena itu pula dia sering memanggil kakaknya yang jarang melakukan apapun itu dengan sebutan 'pemalas'. Tapi, semenjak kedatangan Lavina ke rumahnya akhir-akhir ini, dia sering memanggil kakaknya itu dengan sebutan 'Onii-chan'.

Hikari sebenarnya adalah anak yang cukup populer di sekolahnya dan banyak juga siswa laki-laki yang suka kepadanya tapi dia tolak mentah-mentah. Dia beralasan bahwa dia telah sibuk mengurusi kehidupan kakaknya, terutama tentang mengusir para gadis tidak jelas yang muncul dalam kehidupan kakaknya itu. Dia selalu merasa tidak suka bila sang kakak memperhatikan gadis lain, kecuali dirinya dan Lavina yang merupakan satu-satunya teman dekat Mikan yang diakui olehnya. Bahkan, dia pun memanggil Lavina dengan sebutan Onee-sama.

Hikari mem
ang terkesan sebagai anak yang dingin dan judes, namun di balik sikapnya itu dia tetap seorang gadis yang berhati baik dan penuh pengertian meski memang cara-cara yang digunakannya tergolong ekstrim. Salah satunya adalah caranya membangunkan sang kakak dengan berbeda-beda cara setiap harinya, dan juga dia selalu memberikan kecupan pagi untuk sang kakak meski semenjak datangnya Mimi dia jarang melakukannya lagi.

Adik peremp
uan dari Mikan Kyoretsu ini memang bertipe tsundere. Saya terinspirasi membuat tokoh ini dari tokoh Kousaka Kirino dari anime Ore no Imouto ga Konna ni Kawaii Wake ga Nai dan Yuuki Mikan dari anime To Love-Ru (foto bisa dilihat di atas). Tipe adik perempuan tsundere seperti Kirino dan tipe adik perempuan yang dapat diandalkan seperti Mikan menjadikan latar belakang untuk membuat tokoh Hikari Kyoretsu ini.

Berikut adalah biodata singkat mengenai Hikari Kyoretsu.

Name : Hikari Kyoretsu

Birthday : 12 December

Blood Type : O

Height : 160 cm

Weight : 40 kg

Hair Color : Brown

Family : Ringo Kyoretsu (Father), Yamiko Kyoretsu (Mother), Mikan Kyoretsu (Older Brother)

Fu-Char - Hikari Kyoretsu -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Senin, 29 Agustus 2011
With 0komentar
Tag :

Fu-Fam - Time IV -

| Kamis, 25 Agustus 2011
Baca selengkapnya »
***


TIME IV: HAKASE TO NEKO!? UNDER MOONLIGHT MIDNIGHT BATTLE!


***


Orang-orang sering mengatakan bahwa mungkin saja mimpi adalah sebuah bagian dari kenyataan. Bahkan, bagi sebagian besar orang di masa lalu maupun sekarang, mimpi sering diartikan sebagai petunjuk tentang apa yang akan terjadi di masa depan sehingga mereka dapat melakukan sesuatu tentang hal itu.

Bagiku, mimpi adalah suatu hal yang sangat misterius.

Kenapa? Karena sekarang aku kembali berada di dalam dunia mimpi, atau paling tidak itulah yang kurasakan sekarang.

Aku kembali berada di sebuah puing-puing kota. Entah apa yang menyebabkan kota di tempatku berdiri ini sekarang hancur, tapi yang pasti sudah tak ada lagi sisa kehidupan di sini, begitulah pikirku.

Akankah aku kembali bertemu dengan gadis yang kemarin aku temui? Aku hanya berharap dia datang dan memberikan semua penjelasan untuk arti mimpiku ini.

Ini memang hanya ada di dalam mimpiku saja, namun entah mengapa aku merasakan bahwa ini adalah sesuatu yang nyata. Mungkinkah yang dibilang orang-orang itu benar? Aku pun tidak begitu mengerti, tapi mungkin memang seperti itulah adanya.

GREK!

Sebuah suara benda yang bergeser membuatku segera mengalihkan pandanganku.

Dari arah terdengarnya suara itu, aku hanya melihat sebagian puing bergerak dari tempatnya, meski sebenarnya aku tidak yakin karena tak terlalu memperhatikan. Tapi, aku yakin kalau memang ada seseorang disini.

“Siapa di sana?” Tanyaku dengan suara keras.

Sama sekali tak ada jawaban atas pertanyaanku itu. Kepalaku bergerak kesana-kemari agar mataku dapat mencari keberadaan orang itu dari segala arah. Namun, tak ada satupun siluet seseorang yang tertangkap oleh kedua bola mataku.

SRET!

Aku tercekat.

Sekilas barusan aku seperti melhat siluet seseorang. Dia nampak seperti seseorang dari tempat sirkus. Ya, dia memakai pakaian dan topi layaknya pemimpin rombongan sirkus, namun tentu saja aku tidak terlalu yakin akan hal itu.

“Siapa di sana!?” Tanyaku sekali lagi untuk memastikan.

Siluet barusan keluar dari salah satu sisi puing-puing sebuah gedung.

Dia tidak menampakan keseluruhan wujudnya, namun setidaknya pandanganku yang tadi terhadapnya tidak salah. Dia memang memakai pakaian ala sirkus.

Orang misterius itu menyeringai kepadaku dengan sangat seram bagaikan seorang badut yang baru saja berubah menjadi pembunuh berdarah dingin.

“Siapa kau!?”

“Ehehehe.”

Suara tawa itu sajalah yang menjadi jawaban orang misterius itu, lalu dia kembali menghilang ke balik puing-puing gedung itu. Setelah itu, aku tak merasakan lagi kehadiran orang lain di sekitarku.

“Time Cl ,-“

Samar-samar tiba-tiba aku mendengar suara gadis yang sempat kutemui di mimpiku sebelumnya. Namun, sebelum sempat dia menyelesaikan kata-katanya aku terganggu oleh kehebohan di pagi hari seperti biasanya.

Pandanganku tiba-tiba menjadi samar dan tiba-tiba semuanya kembali menjadi gelap. Tepat saat itu, aku terbangun dari lelapnya tidurku.


***


“Ah? Kenapa aku merasa pusing seperti ini?”

Aku mencoba menatap pemandangan di depanku.

“Apa ini!? Kenapa aku sekarang tertidur secara terbalik di tangga ke lantai atas!?” Tanyaku kaget karena
posisi tidurku telah berubah, bahkan tempatnya pun ikut berubah.

Aku mendongakkan kepalaku, lalu kulihat di lantai bawah Hikari menatapku dengan pandangan marah.

Ah, tentu saja. Ini pasti ulah aneh Hikari untuk membangunkanku. Dan terima kasih kepada itu, sekarang semua darah dalam tubuhku mengalir ke arah kepala dan sukses membuatku merasakan pusing yang luar biasa.

“Hora, pemalas! Cepat bangun atau kau tidak akan kebagian sarapan!”

“Hai, Hai, aku akan segera bangun.”

Kepalaku terasa benar-benar pusing tapi nampaknya seperti biasa aku tidak bisa protes kepada adikku itu. Di luar tindakannya yang keras dan aneh, dia cuma adik yang ingin kakaknya menjadi orang yang normal seperti yang lainnya. Yah, jadi aku rasa aku bisa menerima caranya membangunkanku itu setiap harinya.

Saat sarapan, tak ada pembicaraan sama sekali. Itu membuat selera makanku terasa sedikit menurun karena suasana yang begitu dingin.

“Oi! Bicaralah sesuatu.” Kataku mencoba mencairkan suasana.

“Selama makan dilarang berbicara.” Ujar Hikari.

“Tapi kau sendiri kan sedang makan!”

“Ini berbeda denganmu, pemalas. Aku sedang tidak menguyah makanan.”

“Lalu apa bedanya?”

“Diamlah! Aku jadi tidak bisa menikmati makananku.” Bentak Hikari dengan wajah menyeramkan.

“Ka-Kalau begitu, baiklah.” Kataku terpaksa mengalah.

Tanpa kami berdua sadari, Mimi terus mengamati kami dengan pandangan yang sayu bahkan nampak sedih.

Sarapan pagi pun telah selesai, dan akhirnya aku dan Mimi pun berangkat bersama ke sekolah seperti biasanya. Hikari masih terus memasang wajah cemberut ketika kami pergi.

“Mimi-chan,”

“Hai? Ada apa, Ojii-chan?”

“Apa kau mengetahui sesuatu tentang kata-kata Time Cltr?” Tanyaku yang penasaran dengan mimpi yang kualami. Aku pikir Mimi yang dari masa depan tahu sesuatu tentang hal ini.

Mimi yang kutanyai hal itu langsung terlihat gugup dan salah tingkah.

“A-Ah! Itu ya, Ojii-chan? A-Aku sama sekali tidak tahu.” Katanya terbata-bata salah tingkah.

“Kenapa kau berbicara gugup seperti itu? Jangan-jangan kau memang tahu sesuatu ya?” Tanyaku curiga.

“Ah tidak kok, aku cuma ,-“

“Yo!”

Saat aku baru saja mulai mencoba menggali lebih dalam, sebuah suara sapaan seseorang yang kukenal datang menghampiri.

“Aiko! Kenapa kau. . .”

“Kenapa? Aku memang sudah pindah ke sekolahmu, kan?” Tanya gadis itu yang tidak lain adalah Aiko.

“Bukan begitu maksudku, tapi kenapa kau kesini dengan berjalan kaki di atas kekkai-mu? Kenapa kau tidak berjalan normal saja seperti kami? == “ Tanyaku balik.

“Ah! Ini ya? Aku cuma sedang mencoba menjadi tidak biasa saja kok, Mik-kun.” Jawabnya.

“Mencoba menjadi tidak biasa?” Tanyaku yang masih belum mengerti maksud ucapannya.

“Karena kalau tidak biasa aku akan lebih cepat dikenal banyak orang, kan? Dan dengan begitu aku juga akan cepat punya banyak teman.”

“Jadi begitu, tapi bukannya dengan cara biasa saja kau juga bisa mendapatkan teman?”

“Hm! Hm! Shimizu-san pasti bisa punya banyak teman kok.” Ujar Mimi menambahkan.

“Begitukah? Baiklah, karena kalian berdua yang meminta aku akan turun.”

Aiko akhirnya mengalah dan turun dari kekkai-nya yang berbentuk kubus.

“Bagus kalau begitu, Ai ,-“

DOOM!

Kekkai milik Aiko yang baru saja menjadi tempat pijakannya tiba-tiba meledak seperti sebuah kembang api membuatku terkejut.

“Tidak harus menghancurkan kekkai-mu seperti itu juga kan!”

“Maaf, maaf, Mik-kun. Aku cuma ingin melihat sesuatu yang tidak biasa dan terlihat keren, hehe.”

“Terserah, apa katamu saja.” Ujarku cuek.

“Eeeh, kau marah ya Mik-kun?”

“Aku tidak tahu!” Jawabku dengan nada dingin.

Dengan terus seperti itu, kami bertiga pun akhirnya memutuskan untuk berangkat bersama ke sekolah. Selama di jalan, Aiko terus menempel padaku bak sebuah perangko pada sebuah amplop surat. Sementara itu Mimi hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah Aiko.

Di sebuah persimpangan jalan, tidak sengaja kami berpapasan dengan Lavina.

“Yo!” Sapaku duluan.

“Yo!” Balasnya.

“Ohayou, Lavina-san.” Sapa Mimi.

“Ohayou, Kowai-chan!” Sapa Aiko.

“Oha ,- tunggu dulu! Tadi kau memanggilku apa!?” Tanya Lavina pada Aiko.

“Kowai-chan.” Jawab Aiko sambil tersenyum lebar.

“Apa maksudnya dengan Kowai (Takut / Menakutkan) itu, hah!?” Tanya Lavina lagi dengan wajah yang terlihat kesal.

“Kau kan memanggilku dengan sebutan Ribbon-chan, jadi boleh kan aku memanggilmu seperti itu?” Tanya Aiko balik semakin membuatku Lavina terlihat kesal.

“Aku kan memanggilmu seperti itu karena memang kau mempunyai ini.”

Lavina menarik pita besar yang dipakai oleh Aiko di rambut panjangnya.

“Tapi aku juga memanggilmu begitu karena kau memang menakutkan.” Kata Aiko membalas.

“Kau INI. . .”

Akhirnya mereka berdua pun mengakhirinya dengan bertengkar satu sama lain. Dan meskipun aku berusaha menghentikan mereka, nampaknya mereka sama sekali tidak peduli dan menghiraukanku.

“Haaaah, sudahlah, Mimi-chan ayo berangkat saja.”

“Baik, Oji ,- maksudku Mikan-kun.”

Kami berdua pun berangkat meninggalkan Aiko dan Lavina yang masih terus sibuk bertengkar. Mereka sama sekali tidak menyadari kepergian kami sebelum akhirnya mereka melihat kami berdua sudah jauh dari pandangan mereka.

“Mi-chan! Tunggu aku!”

“Mik-kun! Tunggu aku juga!”


***


Tidak ada hal aneh yang terjadi pagi ini, dan saat ini adalah jam makan siang. Aku dipaksa Aiko dan Lavina untuk makan siang bersama mereka, Mimi pun turut serta bersama kami bertiga ,- sebenarnya berempat karena Makoto pun ikut bersama dengan kami.

“Yooo! Bekal makan siang kalian terlihat enak seperti biasanya, boleh aku mencobanya?” Tanya Makoto yang terus memperhatikan bekal milik Aiko dan Lavina.

“Aku tidak mau berbagi dengan orang yang tidak membawa bekal makanan.” Tolak Lavina dengan ketus.

“Yooo! Kau memang benar-benar kejam seperti biasanya, Lavina-chan.”

“Jangan panggil aku seenaknya begitu, Makoto!”

“Sudahlah, Makoto-kun, kau boleh mencicipi bekal makananku.” Ujar Aiko menawarkan.

“Yooo! Benarkah?” Tanya Makoto tidak percaya.

“Hm!” Jawab Aiko dengan sebuah anggukan.

“Yooo! Kalau begitu, itadakimasuuu ~ “

“Hmph! Pura-pura baik padahal hanya ingin cari perhatian.” Celetuk Lavina.

“A-pa Ka-U BI-LANG!?” Tanya Aiko dengan nada kesal.

“Ah tidak ada apa-apa, aku hanya bicara sendiri.”

“Maaf menyela kalian, tapi bisa tidak kalian diam? Aku sedang berusaha menikmati bekal makananku.” Pintaku yang merasa terganggu dengan tingkah mereka.

“Tentu saja! Kami bisa berhenti kok.” Sahut mereka dengan sebuah senyuman.

Mereka berdua kemudian diam sesaat lalu saling berpandangan.

“Hmph!” Gumam mereka sambil saling membuang muka satu sama lain.

“Kalian ini benar-benar tidak bisa akrab ya. . .”

“Yooo! Bekal makananmu juga enak seperti biasanya, Mikan.”

Tanpa sepengetahuanku, ternyata Makoto telah mencicipi sebagian bekal makan siangku.

“Kau ini, Makoto, jangan memanfaatkan keadaan cuma karena aku lengah gara-gara memperhatikan mereka berdua.” Tegurku kepada Makoto yang masih terlihat mengunyah makanan di mulutnya dengan wajah senang.

“Yoooo! Tapi kan apa boleh buat? Bekal makanan yang dibuat oleh Hikari-chan untukmu setiap hari memang selalu enak. Andai saja dia bisa jadi istriku suatu hari nanti, perutku pasti akan dipenuhi oleh makanan enak setiap hari seperti ini.” Ujar Makoto penuh harap.

“Hei! Hei! Berhenti berfantasi aneh tentang adikk -, “

“Yoooo! Kau juga kalau jadi aku pasti berpikiran begitu kan? Ya kan?”

“He-Hei! Apa yang kau tanyakan itu ,- “

“Yo! Sudahlah! Akui saja hal itu, Mikan.”

“Y-Ya mungkin saja sih, tapi itu bukan seperti yang kau pikirkan!” Kataku akhirnya mengaku dengan wajah tersipu merah.

“Menjadikan Hikari-chan sebagai istri? Yang benar saja, kau bahkan tidak boleh lagi masuk ke rumah Mi-chan kan?” Komentar Lavina tajam.

DEG!

Suasana sempat menjadi tegang sesaat dan semua orang terdiam.

“A-Ah, tentang hal itu, memangnya kenapa kau bisa tidak bisa diperbolehkan masuk oleh Hikari?” Tanyaku pada Makoto sekaligus untuk mencairkan suasana kembali.

“Yo! Ah itu, saat itu aku sedang menunggumu yang katanya sedang keluar sehingga aku terpaksa menunggu di kamarmu. Tapi, karena aku tiba-tiba merasa bosan aku tidak sengaja membaca majalah terlarang di kamarmu, hahaha!” Jelas Makoto.

“MA-MAJALAH TERLARANG!?” Seruku, Lavina, dan Aiko secara bersamaan.

“Heeee. . . Jadi Mi-chan, kau punya kegemaran seperti itu juga ya?” Goda Lavina.

“Ma-Mana mungkin! Aku tidak punya yang seperti itu!” Ujarku membela diri.

“Mik-kun. . .” Aiko hanya menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.

“Sudah kubilang itu bukan punyaku! Kau pasti tertangkap basah ketika membaca majalah yang kau bawa sendiri kan, Makoto!?”

“Yooo! Tentu saja, itu majalah yang kubawa. Sebenarnya tadinya aku ingin memperlihatkannya padamu, tapi aku malah tertangkap basah duluan oleh Hikari-chan, akhirnya aku pun diusir dan tidak boleh masuk lagi. Itu kira-kira terjadi bulan lalu.” Jawab Makoto menyelesaikan seluruh kesalahpahaman yang terjadi di antara kami semua.

“Hooo. . . Aku kira kau memang tertarik dengan hal seperti itu, Mi-chan ~ “ Goda Lavina lagi.

“Sudah kubilang kan kalau aku tak mungkin punya yang seperti itu! Lagipula Makoto, siapa yang berniat meminjam majalah seperti itu!?”

“Yooo! Siapa tahu saja kan? Kau juga kan lelaki.” Jawab Makoto dengan nada santai.

“Mik-kun. . .” Ucap Aiko yang masih saja menatapku dengan pandangan mata yang sama.

“Dasar kalian ini,” Gumamku berkeluh kesah.

Aku sejenak mengalihkan pandanganku dari mereka bertiga agar kekesalanku tidak terus bertumpuk. Kemudian, mataku terpaku ke arah Mimi yang sedari tadi nampak tidak memperhatikan pembicaraan kami. Dia terlihat memperhatikan sesuatu yang lain.

Kuputar kesana-kemari kepalaku untuk mencari tahu sumber yang membuat Mimi begitu tertarik itu. Setelah itu, mataku tertuju pada seorang siswi lain yang juga tengah memakan bekalnya.

Ya, itulah yang sedari tadi dilihat oleh Mimi. Bukan siapa yang tengah makan dengan lahap, tapi apa yang tengah dimakan oleh siswi itu menarik perhatian Mimi.

“Mimi-chan, jangan-jangan kau suka apel ya?” Tanyaku mengagetkan Mimi.

“A-Aah, suka? Aku sebenarnya tidak terlalu suka.“

“Tapi aku perhatikan sejak tadi kau terus memperhatikan anak yang di bekal makanannya terdapat apel itu. Kau memang suka kan?” Tanyaku lagi.

“H-Hm, aku memang suka.” Jawab Mimi dengan malu-malu sembari menyembunyikan raut wajahnya.

“Yoosh! Kalau begitu pulang sekolah nanti kau akan kubawa ke seseorang yang bisa memberikanmu apel yang banyak!” Kataku bersemangat.

“Tapi, Ojii-chan, kau tidak perlu ,- “

“Kita ini keluarga kan? Jadi, kalau cuma apel tidak masalah.” Ujarku dengan wajah meyakinkan.

“Oooi! Sedari tadi kalian ini bicara apa sih? Bisik-bisik berdua terus. . .” Lavina tiba-tiba memotong pembicaraanku dan Mimi sambil melempar tatapan mata curiga.

“Ah tidak ada apa-apa kok Lavina.”

Akhirnya dengan beberapa obrolan ringan yang kemudian terlontar di antara kami, jam makan siang pun akhirnya berakhir. Saatnya kembali memulai pelajaran.


***


Bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu. Para siswa sebagian telah pulang dan sebagan lagi mulai melaksanakan kegiatan klubnya masing-masing. Aku sendiri sekarang tengah berjalan pulang berdua bersama dengan Mimi.

“Jadi, Ojii-chan, di mana orang yang kau janjikan itu?” Tanya Mimi di tengah perjalanan.

Ah, tentu saja. Pada saat jam makan siang tadi aku menjanjikannya untuk bertemu dengan orang yang bisa memberikannya apel. Aku hampir saja lupa bila dia tidak mengingatkannya.

“Tenang, dia tinggal dekat sekali dengan kita kok.” Jawabku sambil tersenyum kecil.

“Dekat? Sedekat apa memangnya?” Tanyanya lagi penasaran.

“Ya, yang pasti tidak sejauh jarak dari bumi ke matahari.” Candaku.

“Memang dari bumi ke matahari itu jauh ya? Di zamanku cuma butuh beberapa menit saja untuk pergi ke matahari.” Ucap Mimi dengan wajah yang terlihat serius.

“Eh? Yang benar?”

“Tentu saja. . . Tentu saja aku bercanda, hahaha.”

“Dasar kau ini, Mimi-chan. Pintar juga kau membalikan candaanku.”

“Arigatou, Ojii-chan.”

“Itu bukan pujian.”

“Tapi, tapi, sebentar lagi memang akan dikembangkan teknologi agar manusia bisa berteleport ke bulan lho. . .” Jelas Mimi dengan bangga.

“Kau sebenarnya tinggal di zaman apa sih? ==” “
Setelah berbicara tentang ini dan itu, kami berdua pun akhirnya tiba di depan rumah.

“Ya! Kita sampai!” Seruku.

“Sampai? Tapi bukannya ini rumah Ojii-chan?” Tanya Mimi bingung.

“Tentu saja ini rumah kita, tapi yang kumaksud itu adalah rumah di depan rumah kita, yang ini.”
Aku menunjuk rumah yang terletak berhadapan dengan rumah kami. Ya, sebuah rumah yang besar dan cukup megah yang berdiri tepat di depan rumah kami.

“Ini rumahnya? Kalau begitu dia tetangga kita, ya kan?”

“Benar! Meski sudah cukup lama di sini kau belum pernah bertamu ke sini ya?”

“Hm, aku belum pernah bertemu dengan pemilik rumah ini.”

“Kalau begitu, ayo segera masuk!” Ajakku sembari memasuki halaman rumah.

“Tapi. . . Apa tidak apa-apa Ojii-chan?” Tanya Mimi yang masih ragu.

“Tentu saja! Mereka orang baik yang tidak akan melukai siapapun, jadi jangan khawatir. Lagipula, mereka adalah orang yang aku kenal sedari kecil, jadi mereka bisa dipercaya.” Jelasku untuk meyakinkan Mimi.

Akhirnya Mimi pun memutuskan untuk memberanikan diri mengikutiku masuk ke rumah besar itu. Di depan pintu masuk, kami pun memencet sebuah tombol untuk membunyikan bel.

PING PONG!

Bel pun berbunyi, dan kami pun menunggu reaksi sang pemilik rumah.

“Siapa di sana?” Tanya sebuah suara dari intercall.

“Ini aku, Mikan. Aku boleh masuk kan, Hakase?” Ujarku meminta izin.

“Oh, ternyata itu kau, Mikan-kun! Kalau begitu aku akan mengirimmu masuk.” Sahut suara itu lagi.

“Baiklah, tolong ya Hakase.”

Mimi mencolek punggungku, lalu membisikkan sesuatu.

“Apa maksudnya dengan mengirim itu, Ojii-chan?” Bisiknya.

“Tentu saja mengirim kita masuk, tapi untuk orang yang baru pertama kali sepertimu, mungkin perjalanannya agak sedikit terguncang.” Jawabku makin membuat Mimi penasaran.

“Apa maksudnya i-tu, Ojiiiii ,- “

Belum selesai Mimi mengucapkan kalimatnya, permukaan tanah di bawah kami tiba-tiba terbuka dan tidak ayal kami pun jatuh ke dalamnya.

“Apa ini Ojiiii-chaaaan?” Tanya Mimi ketika kami jatuh ke dalam lubang itu.

“Ini pengiriman ala Hakase, dia orang yang menarik, hahaha.” Jawabku.

Kami jatuh meluncur di dalam sebuah lintasan berbentuk pipa besar. Pipa itu mengarahkan kami pada suatu tujuan. Ya, di ujung pipa ini adalah tujuan kami, di sanalah orang yang akan kami temui biasa berada.

BRUG!

Kami berdua terjatuh ke dalam sebuah ruangan yang terletak di bawah tanah. Luncuran barusan cukup memberikan rasa sakit terhadap tubuh kami, terutama Mimi. Ini kali pertama dia dating ke rumah ini, jadi terang saja dia tidak siap dengan peluncuran mengejutkan seperti barusan.

“I-Itai, Ojii-chan, di mana ini?” Tanya Mimi sembari memegangi pinggangnya.

“Ini tempat yang kita tuju, Mimi-chan.” Jawabku sambil merapikan pakaianku yang kusut akibat luncuran tadi.

“Tempat yang kita tuju?”

“Ya, selamat datang di ruanganku!” Sebuah suara menyapa kami setelah kami memperbaiki penampilan kami.

“Siapa itu?” Tanya Mimi yang merasa terkejut mendengar suara itu.

“Aku? Tentu saja aku pemilik rumah ini.” Sahut suara itu yang kemudian diikuti dengan munculnya sesosok siluet manusia di hadapan kami berdua.

“Hakase, tidak usah menakuti kami seperti itu. Biarpun Mimi-chan agak polos tapi kau tidak boleh menggunakan kesempatan itu kan?”

“Maaf, maaf, aku suka terbawa suasana.”

Sosok di hadapan kami itu melangkah semakin mendekati kami. Akhirnya kami dapat melihat sosok itu dengan jelas dari jarak yang dekat. Dia adalah seorang professor muda berkacamata yang menggunakan jas lab berwarna putih layaknya para ilmuwan pada umumnya.

Kalau begitu apa dia ilmuwan? Kalian pasti bertanya dalam hati. Ya, dia adalah seorang ilmuwan yang aku kenal sejak kecil. Dia adalah salah satu orang yang mengurusku dan Hikari ketika kami masih kecil di saat orang tua kami pergi ke luar kota untuk bekerja. Oleh karena itulah, aku sangat hapal keadaan di rumah ini.

“Perkenalkan, aku pemilik rumah ini, aku biasa dipanggil Hakase (professor) oleh orang-orang. Salam kenal.” Ujar Hakase memperkenalkan dirinya kepada Mimi.

“H-Hm, salam kenal juga, namaku Mimi Kyoretsu. Yoroshiku onegaishimasu.” Sahut Mimi memperkenalkan dirinya juga.

“Kyoretsu? Berarti kalian bersaudara ya? Aku kira kau ini pacarnya Mikan, ternyata kau saudaranya yang baru pindah itu ya?”

“A-Ah tentu saja, aku tidak mungkin cocok untuk Mikan-kun. Ah maksudku, iya, aku ini saudara jauhnya yang menumpang tinggal di rumahnya.” Jawab Mimi kikuk.

“Oi, Hakase! Sudah kubilang kan jangan mengambil kesempatan untuk menggodanya!” Seruku mengingatkan.

“Maaf, maaf, habis anak ini benar-benar lucu.” Puji Hakase sambil tersenyum lebar.

Wajah Mimi segera memerah mendengar pujian seperti itu.

“A-Arigatou sudah memujiku.” Ucap Mimi sembari menyembunyikan wajahnya.

“Hahahaha, kau memang benar-benar lucu, Mimi-chan.”

“Oi, Hakase! Daripada itu, kami datang kesini untuk meminjam sesuatu.”

“Ah! Begitu? Jadi apa yang ingin kalian pinjam?”

“Anak ini sangat suka dengan apel, jadi kami ingin memintamu meminjamkan kami buku tentang menanam apel dan juga cairan pertambahan pertumbuhan yang dulu pernah kau perlihatkan padaku. Kau masih menyimpannya kan?” Kataku menjelaskan maksud kedatangan kami.

Hakase mengangguk-anggukan kepalanya, “Jadi kau suka apel ya, Mimi-chan? Apel local atau apel impor?” Tanya Hakase pada Mimi. Dia sama sekali tidak menangkap penjelasanku sepenuhnya.

“Oi, Hakase. . .”

“Kedua-duanya.” Jawab Mimi.

“Bukan waktunya menjawab pertanyaan itu kan Mimi-chan!? Jadi, ada atau tidak, Hakase?”

“Tentu masih ada. Aku masih menyimpannya, tapi mungkin perlu sedikit waktu untuk mengeluarkannya. Maklum, aku belum beres-beres, haha.”

“Kau memang masih saja belum berubah, Hakase.” Komentarku.

“Kalau aku berubah, aku tidak akan dipanggil Hakase lagi kan? Hahaha.” Balasnya.

“Terserah apa katamu saja.” Kataku mengalah.

“Nah, selama menungguku mengambil cairan itu, lebih baik kalian mengambil buku itu di perpustaanku. Bagaimana?” Ujar Hakase menyarankan.

“Boleh juga, daripada tidak ada kerjaan. Bagaimana, Mimi-chan?” Tanyaku meminta persertujuan dari Mimi.

“Hm, ayo kita ambil bukunya, Mikan-kun.” Kata Mimi setuju.

“Baguslah! Kalau begitu ayo kita kesana!”

“Hm!”

“Kalau begitu Hakase, kami pergi dulu.” Ucapku sembari melangkah pergi menuju ke perpustakaan yang dimaksud. Mimi pun kemudian mengikutiku dari belakang.

“Hati-hati dengan Reika-san ya! Dia bisa marah kalau kalian mengganggunya!” Seru Hakase memperingatkan kami.

“Ah! Tentu saja, aku sudah kenal dia dari lama.” Sahutku.

“Siapa Reika-san itu, Ojii-chan?”

“Reika-san? Dia itu orang yang tinggal bersama dengan Hakase di rumah ini.”

“Ooh, sou ka.”

Kami berdua pun akhirnya meninggalkan ruangan tempat Hakase berada dan menuju ke perpustakaan.


***


Tak terlalu lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke tujuan kami. Dalam beberapa menit saja kami telah sampai di perpustakaan yang dimaksud. Ini adalah sebuah ruangan besar dengan berbagai buku yang tersusun secara rapi dan koleksinya sangat lengkap. Maklum, Hakase itu adalah kolektor buku yang benar-benar hebat.

“Waaaah, benar-benar banyak sekali bukunya.” Ujar Mimi kagum.

Begitu memasuki ruangan, dia memang terlihat sangat terpukau. Dia langsung melirik kesana-kemari dengan mata yang penuh ketakjuban. Apa di masa depan dia tidak terbiasa melihat buku sebanyak ini ya?

“Ini semuanya koleksi Hakase, dan semuanya sangat lengkap. Itulah kenapa aku memilih tempat ini sebagai referensi membaca buku.” Jelasku sambil berjalan menuju tempat buku yang kami inginkan.

“Heee. . . Hakase memang benar-benar orang yang hebat.” Kata Mimi memuji Hakase.

“Ah sebelah sini.” Seruku memanggil Mimi setelah menemukan apa yang kami cari.

Aku berusaha menarik buku ‘cara bercocok tanam apel’ itu dari raknya, namun cukup sulit karena buku itu terselip di antara buku lainnya. Nampaknya buku ini sudah jarang ada yang membaca sehingga tercampakkan dan terjepit di antara buku-buku lain di rak yang sama.

“Mimi-chan, tolong bantu aku menarik buku ini.” Pintaku.

“Baik, Ojii-chan.” Sahut Mimi segera menghampiriku.

Kami bersama-sama menarik buku itu, namun rasanya masih saja sulit untuk meraihnya.

“Sepertinya kita perlu tenaga yang lebih besar untuk meraihnya.” Gumamku.

“Kalau itu serahkan saja padaku!”

Mimi mengeluarkan Box-Box miliknya, dan kemudian mengambil sepasang sarung tangan dari dalam sana. Dipakainya sepasang sarung tangan itu, lalu dia kembalikan lagi Box-Box ke tempatnya semula.

“Dengan ini kita pasti bisa!”

“Woooo! Kau benar-benar bersemangat, itu bagus! Jadi bagaimana cara kerjanya, Mimi-chan?” Tanyaku.

“Dengan Glove-Glove yang kupakai ini tenagaku menjadi berkali-kali lipat. Ini digunakan orang masa depan yang malas menghubungi jasa pemindahan barang ketika mereka ingin pindah.” Jelas Mimi.

“Bagus! Kalau begitu sekarang tolong tarik aku sementara aku menarik buku ini!” Pintaku.

“Ya! Aku siap, Ojii-chan!” Sahut Mimi bersemangat.

Aku menaruh tanganku di ujung buku itu, lalu bersiap-siap menariknya. “Kau siap, Mimi-chan?” Tanyaku pada Mimi.

“Hm! Aku siap!” Jawab Mimi dengan wajah yang penuh kesiapan.

“Dalam hitungan ketiga. . . Tiga! Tarik!” Seruku seraya menarik buku itu.

“Hyaaaaah!” Seru Mimi menarik tubuhku dengan sekuat tenaga.

Buku itu sedikit demi sedikit telah bergeser dan tertarik keluar. “Rasanya sudah cukup, Mimi-chan. Biar aku menariknya sendi ,- “

Mimi nampak tidak memperhatikan apa yang kuucapkan dan terus fokus dengan tarikannya. Dia terus menarik tubuhku dengan seluruh tenaganya. Perlahan-lahan kurasakan bukan hanya buku di tanganku yang bergerak, namun juga rak buku di depan kami.

“Oi, Mimi-chan! Ini sudah cukup! Berhenti menarik!” Seruku meminta Mimi berhenti. Namun, Mimi nampaknya tetap tidak mendengarkanku.

KREEEEEK!

“Apa yang kau katakan, Ojii-chan? Aku tidak dengaaaar!”

“Sudah terlambat, raknya akan jatuh T__T “

BRUG! BRUAG! BRUAG!

Rak buku di hadapan kami jatuh dan hampir saja menimpa kami berdua. Rak itu menghantam pula rak lainnya dan akhirnya seluruh rak buku di dalam perpustakaan itu ambruk. Semua buku yang ada pun kini berceceran berantakan di lantai.

“Haaah, hampir saja, dan untungnya aku masih sempat mengamankan buku ini.” Desahku karena berhasil mengambil buku yang kami inginkan.

“Syukurlah, Ojii-chan.” Ucap Mimi ikut senang.

“APANYA YANG SYUKURLAH!?”

Sebuah suara keras tiba-tiba menegur kami. Suara itu begitu familiar di telingaku. Ya, tidak salah lagi, suara seorang pria dewasa yang mendadak muncul dan memarahi kami ini adalah suara Reika-san. Nampaknya kami telah mengganggu waktu istirahatnya di ruangan yang biasanya tenang ini.

POOF!

Seekor kucing meloncat dan hinggap di salah satu rak buku yang jatuh. Dia menatap kami dengan pandangan tidak suka. Tentu saja, kami telah mengganggu waktunya yang berharga, pasti dia sangat marah kepada kami.

“Kucing?” Tanya Mimi heran.

“Ya, dia ini Reika-sa ,- “

“Ternyata kau, Mikan! Ada apa sampai kau membuat keributan seperti ini!?”

“Ma-Maafkan aku, Reika-san. Aku cuma ingin mengambil buku tapi akhirnya jadi begini. Sekali lagi aku meminta maaf.” Jelasku sambil membungkukkan badanku sedalam-dalamnya.

“Dasar! Aku kan sudah sering bilang kalau aku tidak suka digangg. . . Hm?”

“Kawaiiiiiii ~ “

Mimi tiba-tiba merangkul dan memeluk Reika-san dengan sangat erat. Sepertinya anak ini selain suka pada apel, dia juga maniak pada hewan peliharaan seperti kucing. Walaupun yah, Reika-san memang cukup berbeda dengan kucing pada umumnya.

“O-Oi, chotto! Lepaskan aku!” Perintah Reika-san.

Mimi tidak mengindahkannya dan terus memeluk Reika-san dengan wajah gembira.

“Kucing yang bisa bicara, benar-benar kawaiiiii ~ “ Kata Mimi.

“Mimi-chan, hentikan. Kau bisa mengganggu Reika-san lebih jauh lagi.” Kataku meminta Mimi berhenti memainkan Reika-san.

“Eeeh. . . Tapi kan jarang-jarang aku bertemu yang seperti ini, Mikan-kun.” Protes Mimi.

“Sudahlah, hentikan. Kau bisa ,- “

“Cukup sampai di sini saja! Aku tidak tahan!”

POOF!

Kepulan asap tiba-tiba menyelimuti kami berdua. Kami kehilangan pandangan kami selama beberapa saat. Ketika jarak pandang kami telah mulai kembali normal, sebuah siluet sesosok perempuan dewasa pun muncul di depan mata kami.

“Re-Reika-san!? Jangan muncul dalam wujud seperti itu!”

“Hah? Kenapa kau bilang seperti itu, Mikan? Bukannya kau sudah terbiasa dengan wujudku yang seperti ini?” Tanya sosok wanita itu.

“Biasa sih biasa! Tapi paling tidak kenakan baju dulu sebelum kau berubah!” Jawabku sambil berusaha mengalihkan pandanganku dari sosok yang ada di hadapanku itu.

Sesosok wanita yang tak mengenakan sehelai pakaian pun, dan hanya berbalut oleh kepulan asap yang masih terus menyelubungi kami meskipun telah mulai menghilang. Dialah wujud Reika-san yang sebenarnya, seorang manusia setengah kucing atau dia lebih suka disebut Nekonoid.

“Ja-Jadi anda seorang perempuan ya?” Tanya Mimi yang melongo melihat perubahan Reika-san.

“Ya! Tentu saja! Dan lagi aku lebih tua darimu, jadi jangan memanjakanku seperti tadi, mengerti!?” Jawab Reika-san setengah membentak. Dia mungkin masih kesal karena perlakuan Mimi tadi ketika dia masih dalam wujud kucing.

“Reika-saaan!” Ucapku kesal karena dia sama sekali tak mengindahkanku.

“Aah! Aku akan memakai pakaian dan membereskan semua ini. Kau ini berisik sekali Mikan.” Gerutu Reika-san.

KLIK!

Reika-san menjentikkan jarinya, dan perlahan kepulan asap di sekitar kami terbang menjauh karena tertiup oleh angin yang cukup kuat.

“Neko-Neko-Neko-Niko-Niko-Neko-Nekoniko!”

Sebuah cahaya terang menyelimuti tubuh Reika-san. Sementara itu, barang-barang di sekitar kami bergerak sendiri kembali ke tempatnya semula.

“A-Apa yang terjadi?” Tanya Mimi kaget.

“Ini sihir yang dimiliki Reika-san, Nekoniko no mahou.” Jawabku datar.

“Nekoniko no mahou?”

“Ya, Reika-san memiliki kekuatan yang tidak umum dimiliki oleh manusia pada umumnya. Aku sudah beberapa kali melihat kekuatannya ini, jadi aku tidak terlalu kaget dengan semua ini.”

“Kekuatan pengendalian material di sekitar si pengendali ya? Jadi dia seorang Mover ya.” Gumam Mimi.

“Eh? Apa katamu, Mimi-chan?”

“Ah tidak, Ojii-chan. Aku tidak mengatakan apapun.”

“Sou ka? Ya sudahlah.”

Reika-san tersenyum ke arah kami berdua. Dia kini telah mengenakan pakaiannya, dan sepertinya pekerjaan beres-beresnya pun telah selesai. Seluruh buku telah kembali ke raknya masing-masing dan semua rak pun telah tersusun seperti semula.

“Kenapa kalian cuma melihat?” Tanya Reika-san.

“Apa maksudmu dengan cuma melihat?” Tanyaku balik.

“Maksudku, kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan kan? Kalau begitu cepat kembali ke tempat Hakase!”

“Ah, itu. . . Baiklah, lagipula kami sudah tidak ada perlu lagi di sini, ya kan Mimi-chan?”

“Tentu saja, Mikan-kun. Kita sudah mendapatkan buku yang kita inginkan.”

“Ya, jadi kau tidak perlu khawa ,- “

SRET!

“Apa yang kau lakukan, Reika-san!?”

Reika-san tiba-tiba menyeret kami berdua pergi dari ruangan perpustakaan. Dia mencengkram kerah seragam sekolah kami dan menarik kami pergi dengan langkah yang begitu cepat bagaikan seorang ninja.

“Huh! Padahal kau ini dulu sangat lucu, Mikan.” Gerutu Reika-san.

“Maafkan aku yang tidak bisa menjadi lucu lagi.” Balasku.

“Yah, aku maklumi, semua orang memang perlu berubah, ya kan?” Tanya Reika-san padaku tetapi tatapan matanya terarah pada Mimi.

Aku segera mengerti apa maksud kalimatnya, “Ya, semua orang memang perlu perubahan dalam hidupnya agar dapat menjadi lebih baik.” Jawabku kemudian.

“Reika-san, kami mau dibawa pergi kemana?” Tanya Mimi yang akhirnya buka suara lagi.

“Tentu saja kembali ke ruangan tempat Hakase berada.” Jawab Reika-san tegas.

Beberapa menit kemudian kami pun akhirnya kembali ke tempat pertama kami memasuki rumah ini. Ya, kami telah kembali ke tempat Hakase, dan nampaknya dia pun telah siap dengan barang yang kami minta.

Namun, ketika pertama tiba, kami bukannya disambut dengan hangat tapi malah Hakase memelotiku. “Bukannya kubilang untuk tidak mengganggunya, kan?”

“Maafkan kami, kami tidak sengaja berbuat kegaduhan sampai dia terbangun.”

“Haaah? Memang kegaduhan apa yang kalian buat sampai dia bisa terbangun seperti itu?”

“Itu. . . Kami merubuhkan seluruh rak buku di perpustakaan, Hakase-san.”

“Hei! Mimi-chan, kau ,- “

“Haaah? Sebenarnya apa yang kalian lakukan di sana sih?”

“Oi! Oi! Hakase! Sampai kapan kau mau berbisik-bisik dengan mereka? Mereka kesini pasti perlu sesuatu dan sesuatu itu ada di tanganmu kan?” Kata Reika-san dengan melakukan penekanan pada kata-katanya.

“Tentu saja, Reika-sa-san. . . Mereka membutuhkan ini.”

“Kalau begitu cepat berikan pada mereka!” Ujar Reika-san menyuruh.

“Hai, Hai, aku akan berikan pada mereka sekarang juga.” Sahut Hakase seraya memberikan ramuan yang kami minta.

Kami semua kemudian saling diam. Suasana yang tercipta itu kelihatannya membuat Reika-san semakin kesal saja.

“Kalian ini! Tunggu apa lagi!?”

“Hai! Hai! Hai! Kami akan pulaaang.”

“Baguslah, aku jadi bisa melanjutkan tidur siangku.”

“Kalau begitu, kami permisi dulu. Arigatou gozaimashita.”

“Hm, douita.”

Akhirnya, kami berdua pun pergi dari rumah Hakase setelah mendapatkan ramuan penumbuh dan buku yang kami inginkan.

“Reika-san ternyata tidak terlalu ramah ya?” Tanya Mimi ketika kami telah sampai di depan rumah.

“Ah, dia. Dia sebenarnya bukan tipe orang yang seperti itu kok, cuma kalau memang merasa terganggu dia kadang-kadang memang seperti itu.” Jelasku.

“Hoooo. . . Kalau begitu jika bertemu lagi aku akan berusaha supaya bisa dekat dengannya!”

“Hm! Itu semangat yang bagus, Mimi-chan! Besok pun harus begitu, karena besok kita akan mulai menanam apel!”

“Oooou!”


***


“Jadi, kenapa kau cepat-cepat menyuruh mereka pergi?” Tanya Hakase.

“Kau menyadarinya ya kalau aku menyuruh mereka secara sengaja? Kau memang pintar.” Puji Reika-san.

“Sudahlah, kau tidak sudah memujiku seperti itu. Cepat katakan saja apa alasanmu.”

“Anak gadis itu. . . Dia sepertinya bukan berasal dari masa ini.” Jawab Reika-san kemudian.

“Ternyata memang benar dugaanku, kau akan mengatakan itu. Dua orang yang berasal dari masa depan memang pasti akan menyadari asal mereka dengan segera.”

“Kau mengatakan itu seperti mengatakan kalau dia juga telah mengetahui identitasku saja.”

“Dia sudah tahu, atau paling tidak sudah menyadarinya setelah melihat kekuatanmu.” Jelas Hakase.

“Hh, tapi tetap saja kami berdua berbeda. Aku datang dengan mesin waktu yang sebenarnya, sedangkan dia hanya datang karena peristiwa itu.” Ujar Reika-san berkilah.

“Ah, dia memang datang kesini kemungkinan karena peristiwa itu. . .”

“Ya, peristiwa yang sangat jarang terjadi, Time Cluster.”

Hakase mengubah posisi duduknya sehingga kini dia duduk menghadap ke layar monitor besar yang terpasang di ruangannya itu.

“Kalau begitu kau harus secepatnya mengawasinya, kan?”

“Memang itu yang kurencanakan.”

“Hati-hatilah, Reika-san. Kita belum tahu apa tujuannya datang kemari, dan juga kita harus melindungi keluarga Kyoretsu bila memang dia datang dengan maksud buruk.” Ujar Hakase memperingatkan Reika untuk tetap waspada.

“Tentu saja aku akan sangat berhati-hati.” Jawab Reika.


***


Keesokan harinya, aku dan Mimi telah berada di halaman rumah bersiap untuk menanam pohon apel sesuai rencana.

“Nah, kalau begitu segera kita mulai saja!” Seruku.

“Ooou!” Sahut Mimi penuh semangat.

Aku mulai menggali tanah di halaman belakang rumah itu dengan menggunakan sekop. Sementara itu, Mimi menyiapkan biji apel dan ramuan penumbuh yang kemarin kami dapatkan dari Hakase. Tentu saja, sebelumnya kami membaca terlebih dahulu buku tentang cara bercocok tanam apel yang kami dapatkan di perpustakaan milik Hakase.

Selama melakukan semua pekerjaan bercocok tanam itu, kami tidak terlalu banyak bercakap-cakap, paling tidak hingga aku selesai menggali tanah untuk menanam biji-biji apel yang telah disiapkan.

“Kau tahu, Mimi-chan? Apel selalu mengingatkanku kepada ayahku.” Kataku membuka obrolan.

“Oh ya? Memangnya kenapa, Ojii-chan? Apa Ayahmu suka dengan apel juga?” Balas Mimi bertanya.

“Ah, tidak, dia sebenarnya tidak terlalu suka dengan buah-buahan, lagipula bagian yang mengingatkanku padanya bukan itu. Yang paling mengingatkanku kepadanya adalah karena namanya.” Jawabku.

“Nama?” Tanya Mimi lagi.

“Hm, kau sendiri sudah pernah membaca silsilah keluarga, kan? Kau pasti tahu nama ayahku.”

Mimi nampak berusaha meningat-ingat buku silsilah keluarga yang pernah dibacanya. Kemudian, raut wajahnya berubah karena dia berhasil mengingat sesuatu.

“Ah! Tentu saja, Ojii-chan! Nama ayahmu adalah Ringo (apel)! Pantas saja kau ingat dia setiap kali melihat apel.”

“Ya, sedangkan nama ibuku adalah Yamiko. Mereka berdua orangtua terbaik yang pernah ada, karena meskipun sekarang mereka pergi bekerja di luar kota tapi aku yakin mereka pasti tetap memikirkanku dan Hikari.” Jelasku membanggakan kedua orangtuaku.

“Ojii-chan memang orang yang sangat positif dan menghargai orang lain.” Puji Mimi.

“Benarkah? Aku merasa tidak seperti itu kok, hahaha!”

“Benar! Kau juga selalu bertanggungjawab bila kau berbuat kekacauan! Hikari-chan memang menganggapmu malas, tapi aku memandangmu sebagai orang yang punya aturan dan prinsip dalam hidup.” Kata Mimi memujiku lagi.

“Oi, Mimi-chan, kau terlalu melebih-lebihkan. Tapi ngomong-ngomong soal aturan, ada aturan unik tentang pemberian nama di keluarga ini.”

“Aturan unik?”

“Ya, di keluarga ini setiap anak laki-laki yang lahir harus mengikuti nama yang masih berhubungan dengan nama ayahnya, begitu sebaliknya kalau yang lahir anak perempuan. Oleh karena itu, namaku adalah Mikan (jeruk) karena nama ayahku adalah Ringo (apel), dan adikku itu Hikari (cahaya) karena nama ibuku terdapat kata Yami (kegelapan). Memang sedikit berbeda karena keduanya berlawanan, tapi cahaya dan kegelapan masih berhubungan, kan? Benar-benar aturan yang hebat kan? Hahaha!” Jelasku sembari memasukkan biji-biji apel ke dalam lubang yang telah kugali.

“Sugooooi! Benar-benar aturan pemberian nama yang menarik! Beda denganku yang katanya namaku hanya diambil dari sebuah tokoh di sebuah novel.” Keluh Mimi tentang namanya.

“Jangan begitu, walaupun terlihat mudah tapi orangtua telah memberikan nama kepada kita dengan sepenuh hati, bahkan mereka juga menaruh harapan pada nama kita. Lagipula, bukannya bagus kalau namamu berasal dari nama tokoh novel yang terkenal?” Kataku menanggapi keluhan Mimi.

“Iya sih, tapi tetap saja aku juga kan ingin nama yang berbeda dan yang diberikan langsung dari pemikiran kedua orangtuaku. Yah, paling tidak sepertimu dan Hikari-chan.” Mimi kembali mengeluh.

Aku tidak langsung menanggapi keluhan Mimi itu, dan hanya menyibukkan diri untuk menutup lubang yang telah kugali dengan tumpukan tanah bekas galian.

“Tapi. . . Kupikir Mimi itu nama yang bagus.” Kataku memuji nama Mimi.

Raut wajah Mimi seketika langsung memerah, dan dia nampak salah tingkah karena pujianku itu.

“A-Apa maksudnya itu, Ojii-chan? Ta-Tapi te-terima kasih.”

“Kau memang benar-benar lucu, Mimi-chan.”

“Ojii-chan~ ! Hentikan! Kalau kau terus memujiku. . .”

Aku mendekatkan wajahku ke wajah Mimi sebelum dia selesai mengucapkan kalimatnya.

“Kalau aku terus memujimu. . . Apa yang akan terjadi?” Tanyaku menggoda.

“A-A-Aku nanti bisa jadi su-suka padamu.” Jawabku Mimi dengan berbelit.

“Hahaha! Bukannya bagus kalau begitu?”

“Bagus apanya? Aku tidak mau suka dengan orang yang sudah berumur ratusan tahun!”

“Ratusan tahun? Tapi itu kan aku di masamu! Sekarang aku masih 16 tahun, jadi belum setua itu.”

“Tetap saja, kau kan nenek moyangku.”

“Jangan katakan itu lagi, Mimi-chan. Kalimatmu itu membuatku merasa aku telah hidup lebih dari 100 tahun di dunia ini.” Pintaku.

“Tapi memang benar kan? Di masaku kau memang sudah setua itu.”

“Makanya! Itu kan aku yang ada di masamu, aku yang sekarang ,-“

HUP!

“Kalian lupa member ramuan penumbuhnya.” Sebuah suara tiba-tiba muncul di antara kami berdua. Suara yang belum terlalu lama baru kami dengar dan kami masih hapal dengan jelas.

“Reika-san! Kenapa kau ada di sini?” Seruku dan Mimi bersamaan.

“Kenapa? Memangnya aku tidak boleh berkunjung ke rumah tetanggaku?”

“Bukan begitu, maksudku kenapa kau muncul tiba-tiba begitu?”

“Daripada itu, kalian lupa memasukkan ramuan penumbuhnya.” Ujar Reika-san mengalihkan pembicaraan.

“Hei, Reika-san! Jangan mengabaikan pertanyaanku!” Kataku kesal.

“Baik, Reika-san. Maaf aku lupa memasukkannya padahal sudah susah-susah meminta dari Hakase.” Sahut Mimi menanggapi Reika-san.

“Bagus, begitu baru semangat bercocok tanam yang baik, Mimi-chan.” Puji Reikasan sambil tersenyum bangga.

“Kalian mengabaikanku!”

“Hora! Kenapa kalian sedari tadi terus saja ribut!?” Bentak Hikari yang juga muncul secara tiba-tiba.
Kami bertiga segera terdiam melihat kemunculan Hikari. Namun, Reika-san kemudian mencoba menyapa Hikari.

“Oi, Hikari-chan! Apa kabar?” Sapanya.

“Ah! Ternyata Reika-san! Sudah lama tidak bertemu, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Jawab Hikari sembari melemparkan senyum ramah yang sangat jarang diperlihatkannya.

Aku sempat terpaku sesaat karena melihat senyuman Hikari itu. Aku tidak pernah sadar kalau adikku itu memiliki senyuman yang seindah itu.

“Ne, Ne, Ojii-chan. Ternyata Hikari-chan punya senyum yang manis juga ya.” Bisik Mimi mengagetkanku.

“Mimi-chan! Jangan mengagetkanku begitu.”

“Maaf, maaf, tapi kau setuju kan dengan pendapatku?”

“Ya, aku suka melihat senyumannya yang seperti itu.”

“Kau ini, Hikari-chan. Padahal kita ini tinggal bersebelahan tapi kau tidak pernah berkunjung lagi.” Kata Reika-san sambil mendengus kesal.

“Maaf, maaf, ini semua karena kakakku yang pemalas itu yang membuatku selalu sibuk. Apalagi sekarang ada penumpang illegal di rumah kami.”

“Kora, Hikari! Jangan sebut aku pemalas dan Mimi penumpang illegal di depan orang lain!” Ujarku marah.

“Haaah? Kau masih saja bisa berkata seperti itu? Dasar pemalas!”

“Hikari, kau ini. . .!”

“Ahahahaha! Kalian ini padahal dulu sangat akrab tapi sekarang sudah seperti pasangan saja, selalu bertengkar setiap hari.” Tawa Reika-san melihat tingkah kami.

“Reika-san! Jangan bicara seperti itu! Lagipula siapa yang mau jadi pasangan si pemalas ini?”

“Kata-katamu memang benar-benar pedas, Hikari.”

“Anoooo. . . Karena kita semua sedang berkumpul, bagaimana kalau Reika-san juga ikut makan siang dengan kita bertiga?” Ujar Mimi menengahi perdebatan kami.

“Ide bagus, Mimi-chan! Bagaimana, Reika-san?”

“Boleh saja, aku terima undangan kalian.” Kata Reika-san setuju.

“Kalau begitu biar aku saja yang belanja, sekalian aku berbelanja untuk keperluan yang lainnya.” Ujar Hikari menawarkan.

“Ou! Tolong ya, Hikari!”

“Kau tidak perlu mengingatkanku, dasar pemalas.”

“Kau ini. . .!”

“Sudah, Mikan-kun.” Kata Mimi sembari menahanku.

“Ahahaha, kalian bertiga memang menarik.” Tawa Reika-san puas.


***


Konnichiwa, di sini dengan Hikari Kyoretsu. Ya, aku adalah adik dari si pemalas yang menjadi narrator utama dalam cerita ini. Ini kali pertamaku menjadi narrator dalam cerita ini, jadi aku akan berusaha sebaik-baiknya dalam bercerita.

Sesuai apa yang diinginkan oleh kakakku dan si penumpang gelap, Mimi, aku pun berbelanja bahan-bahan untuk membuat makan siang kali ini. Makan siang kali ini pun harus kubuat lebih banyak porsinya karena tetangga kami, Reika-san akan ikut makan di rumah kami.

Ketika aku tengah memilih-milih sayuran segar di sebuah toko, sebuah suara yang familiar di telingaku memanggilku.

“Hikari-chaaan ~ ! Lama tidak bertemu!” Sapa seorang gadis berambut panjang.

Aku segera mengenali wajah dan suara itu, lalu aku pun segera menyahut sapaannya itu.

“Lavina nee-sama! Sudah lama tidak bertemu, sedang apa di tempat seperti ini?” Balasku.

“Aku cuma sedang berjalan-jalan karena ingin mencari angin segar saja, kau sendiri?”

“Aku sedang berbelanja untuk keperluan makan siang. Oh ya, bagaimana kalau Nee-sama juga ikut makan bersama kami?”

“Eh, benarkah? Apa tidak merepotkan?”

“Tidak kok, lagipula kami juga mengundang tetangga kami yang lain. Dan lagi, ini bukannya kesempatan Nee-sama untuk mendekati pema ,- maksudku Onii-chan.” Kataku hampir kelepasan.

Aku sudah sangat lama tidak menyebut kakakku itu dengan Onii-chan di depan orang lain, dan lagi ini pertemuanku kembali dengan Lavina nee-sama setelah waktu yang lama.

“Baiklah, kalau begitu aku akan ikut dan membantu membuat makan siang!” Ujar Lavina nee-sama setuju.

“Yosh! Kalau begitu ayo berbelanja bersama dan buat makanan yang enak.”

“Ayooooo ~ !”

Kami berdua pun akhirnya memutuskan untuk berbelanja bersama. Setelah berkeliling dan membeli beberapa bahan dan keperluan, kami berdua pun pulang untuk segera membuat makan siang bagi ketiga orang yang telah menanti di rumah.


***

“Kami pulang ~”

Terdengar suara Hikari yang nampak senang di ujung pintu. Aku segera beranjak untuk menyambutnya, dan tepat saat itu sesosok gadis yang kukenal telah berada di samping adikku.

“Lavina? Kenapa kau ada di sini dan bisa bersama dengan Hikari?” Tanyaku heran.

“Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan Hikari-chan ketika dia berbelanja, lalu dia menawarkanku untuk ikut makan siang bersama, jadi aku terima saja tawarannya itu.” Jawab Lavina.

“Benar! Benar! Nee-sama akan ikut membantu membuat makan siang!” Tambah Hikari bersemangat.

Aku tidak begitu mengerti kenapa Hikari bisa begitu bersemangat ketika bersama dengan Lavina. Lavina adalah satu-satunya teman perempuanku yang dekat dengan Hikari, sedangkan semua teman perempuanku yang lain tidak pernah ada satupun yang bisa dekat dengan Hikari. Hikari bahkan benar-benar mengagumi Lavina hingga memanggilnya dengan sebutan Nee-sama. Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti. Tapi paling tidak, ternyata bukan aku saja yang penasaran dengan hal itu. Dari tempatku berdiri aku dapat melihat Mimi yang mengintip karena penasaran dengan hubungan Hikari dan Lavina yang begitu baik dan akrab.

“Kalau begitu aku akan membuat makan siang dulu dengan Lavina nee-sama, jaa Onii-chan!”

“Onii-chan!?” Kataku terkejut.

Bagaimana aku tidak terkejut, dia terakhir memanggilku Onii-chan ketika kami masih kecil dan sekarang dia selalu memanggilku dengan sebutan pemalas. Aku memang merasa senang, tapi tetap saja terdengar aneh.

“Ayo, Lavina nee-sama.” Ajak Hikari.

“Hm, ayo. Sampai nanti, Mi-chan ~” Sahut Lavina.

Mereka berdua kemudian pergi meninggalkanku menuju ke dapur.

“Tunggu! Aku juga ingin membantu kalian.”

“Ah, Mimi! Ternyata kau memang benar-benar tinggal di sini ya?”

Ini semua benar-benar kacau. Kenapa bisa Lavina ada di rumahku dan Hikari berubah sejauh itu? Aaaah, aku tidak mengerti! Aku kemudian memilih untuk duduk di ruang santai bersama dengan Reika-san menunggu para gadis selesai memasak.

“Kenapa kau terlihat lesu seperti itu? Apa karena sudah terjadi cinta segitiga? Ahahaha!” Tawa Reika-san menggodaku.

“Hentikan leluconnya, Reika-san. Itu membuatku semakin lemas.” Pintaku.

“Baik, baik, tapi aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

“Apa yang ingin kau tanyakan, Reika-san?”

“Apa kau pernah mengalami mimpi aneh belakangan ini?”

DEG!

Hatiku tiba-tiba tertegun mendengar pertanyaan Reika-san. Dia seperti yang telah mengetahui apa yang kualami setiap malam. Ya, tentang mimpi misterius yang kualami belakangan ini dan membuatku mulai terganggu.

“Ya, memangnya kau tahu sesuatu tentang itu?” Jawabku.

“Ah, sampai sejauh ini masih belum. Tapi, aku peringatkan kau untuk tidak terlalu mempercayai orang-orang yang berada di dekatmu, bisa saja mereka berbeda dari apa yang kau pikirkan, khususnya Mimi. Kau harus menyimpan rapat-rapat rahasia kalau dia berasal dari masa depan.” Ujar Reika-san menjelaskan.

“Ja-Jadi kau tahu kalau Mimi berasal dari masa depan?” Tanyaku kaget.

“Tentu saja, itu hal yang mudah bagiku untuk mengetahuinya. Yang bisa kukatakan sekarang adalah mimpi yang kau alami berhuungan dengan kedatangan gadis itu, jadi hati-hatilah karena kita masih belum tahu apa tujuannya datang kemari.” Tambah Reika-san.

“Tapi dia datang dengan tujuan jelas! Dia ,- “

“Jangan terlalu terpengaruh! Sebelum kita tahu tujuannya, jangan lepaskan pengawasanmu!” Kata Reika-san meningatkanku.

“Ba-Baik. . .”

Saat ini, aku benar-benar mulai tidak mengerti apa yang tengah terjadi.

Mendengar penjelasan Reika-san tadi membuat Mimi yang begitu polos dan cerita itu menjadi seperti orang jahat. Aku memang tidak mau mengakuinya, tapi kata-kata Reika-san itu memang ada benarnya. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan orang dari masa depan yang tiba-tiba datang ke masa sekarang.

Yah, paling tidak sekarang aku masih bisa menikmati saat makan siang dengan semuanya dalam suasana yang tenang. Aku masih belum mau memikirkan apa yang terjadi, biarlah esok menjadi misteri dan yang paling penting adalah nikmati hari ini.


***


Moshi-moshi, di sini dengan Mimi Kyoretsu kembali. Setelah beberapa lama tidak menjadi narrator di cerita ini, aku kembali di bagian ini. Sekarang aku akan menceritakan apa yang kulakukan bersama Lavina dan Hikari di dapur.

Sebelumnya, aku merasa penasaran dengan perubahan sikap Hikari yang begitu tiba-tiba ketika dia datang ke rumah bersama Lavina. Aku patut mencurigainya karena mungkin saja ini bisa jadi halangan dalam misiku membantu kisah cinta Ojii-chan. Aku pun mengintip ketika baru saja datang, dan menawarkan bantuan ketika mereka beranjak ke dapur untuk mulai memasak.

Di dapur, mereka berdua nampak bercakap-cakap dengan sangat akrab bagaikan kakak beradik. Ini membuatku semakin penasaran. Akhirnya, kuputuskan untuk mencuri-curi kesempatan agar aku bisa bicara berdua saja dengan Hikari tanpa terdengar oleh Lavina.

“Chotto, Hikari-chan. Aku bisa bertanya sebentar?”

“Ya, ada apa, Mimi-san?”

Dia benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Dia sama sekali tidak marah kupanggil dengan embel-embel –chan di belakang namanya, padahal dia selalu menentang itu setiap aku memanggilnya.

“Kau terlihat sangat akrab dengan Lavina-san, memangnya apa hubungan kalian?”
Hikari terdiam sejenak, dan raut wajahnya berubah dari ramah menjadi serius. Dia sejenak kembali menjadi Hikari yang kukenal.

“Aku menyukainya.” Jawab Hikari pelan sambil menundukkan kepalanya.

“Oh, jadi kau ,- Heeee!? Apa yang kau bilang?” Tanyaku terkejut mendengar jawaban Hikari yang tidak terduga.

“Kau waktu itu pernah bertanya kan apa aku menyukai kakakku atau tidak? Kalau boleh kujawab, mungkin aku menyukai kakakku karena aku menyukai Lavina nee-sama.” Jelas Hikari menambahkan.

“Tapi bagaimana bisa kau suka padanya?”

“Dia benar-benar orang yang aku kagumi sejak dulu. Sejak Onii-chan memperkenalkan dia kepadaku dulu, aku sudah kagum padanya. Saat itulah aku berjanji untuk tidak membolehkan seorang gadispun mendekati Onii-chan, karena Onii-chan hanya untuk Lavina nee-sama seorang.”

“So-Sou ka, tapi itu benar-benar seenaknya dan keterlaluan kan?”

“Kau sendiri yang tiba-tiba datang dan mengaku dari masa depan apa tidak bertindak seenaknya!?” Kata Hikari membalik kata-kataku.

Aku terdiam tidak bisa menjawabnya. Aku tidak tahu harus membalas berkata apa, tapi paling tidak aku sudah tahu alasan kenapa Hikari tidak bisa akrab dengan semua teman perempuan Ojii-chan. Dia menganggap Lavina adalah orang yang paling tepat untuk Ojii-chan, sama seperti aku yang menganggap Ryuuji Baa-chan sebagai satu-satunya orang untuk Ojii-chan. Paling tidak aku bisa memahami perasaannya, walaupun tentunya perasaan kami untuk orang-orang itu sedikit berbeda.

“Karena itu, kalau kau masih mau melaksanakan misimu itu, kau akan berhadapan denganku!” Ujar Hikari serius.

“Hikari-chan. . . Baiklah! Aku akan buktikan padamu siapa yang akan berhasil!”

“Hm! Aku tidak akan kalah karena aku akan berusaha sebaik mungkin demi Lavina nee-sama yang aku kagumi!”

“Oi! Kalian berdua sedang apa sih? Cepat bantu aku menyajikan makanan.” Kata Lavina membuat kami menghentikan perdebatan kami.

“Baik! Segera, Lavina nee-sama!” Sahut Hikari.

Semuanya tidak akan berjalan lancar seperti apa yang kurencanakan mulai sekarang. Aku harus ekstra hati-hati dan berjuang agar bisa berhasil dalam misiku, kalau tidak maka kedatanganku ke sini hanya akan jadi sia-sia saja.

Aku harus berhasil meski apapun yang terjadi!


***


“Makanan sudah siaaap!”

Suara para gadis yang datang membawakan makanan membuyarkan semua lamunanku. Mereka datang dengan wajah berseri-seri, dan mampu membuatku melupakan semua perbicanganku dengan Reika-san barusan.

Kami semua pun makan bersama dengan menu-menu makanan yang telah tersedia. Semuanya nampak enak, dan itu pasti karena keahlian para gadis di depanku ini dalam mengolah bahan makanan.

“Seperti biasa, makananmu enak, Hikari!” Pujiku sambil merasakan rasa masakan yang ada dalam mulutku.

“Arigatou, Onii-chan.”

“Hee. . . Kau curang, Mi-chan! Kau tidak makan makananku terlebih dahulu!” Kata Lavina kesal karena aku tak mencoba masakan buatannya.

“Ta-Tapi bukannya kau tidak ahli dalam hal memasak ya?”

“Huh! Maaf kalau makananku tidak pernah selezat masakan Hikari-chan.”

“Tapi memang bukannya kenyataannya seperti itu?”

“Sudah, sudah. Onii-chan, nee-sama, jangan bertengkar. Semua bebas memilih makanan di sini, dan nee-sama juga kalau mau belajar memasak aku bisa mengajarinya.” Kata Hikari menengahi.

“Benarkah, Hikari-chan?” Tanya Lavina senang.

Hikari menganggukkan kepalanya, “Ya tentu saja, nee-sama bisa kapan saja datang kemari.” Jawabnya kemudian.

“Yeah! Kalau begitu aku akan sering datang kesini!”

“Hei! Hei! Lavina, kau ini ,- “

“Apa!? Kau mau melarangku, Mi-chan? Tidak akan bisa! Dengan ini aku bisa menang dari si pita itu, hahaha!”

“Si pita?” Tanya Hikari.

“Iya, Ribbon-chan. Dia sudah seperti rival buatku.”

“Kalian ini, jangan terlalu banyak bicara, kita kan sedang makan.”

Sementara kami bertiga berdebat, di sisi lain Mimi dan Reika-san tengah bertukar pandang dengan tatapan mata yang awas. Hawa aneh terasa mengalir dari keduanya. Keduanya nampak lebih siaga terhadap gerak-gerik satu sama lain daripada sebelumnya.

Begitulah makan siang kami berlima. Setelah selesai, kami pun membereskan tempat makanan masing-masing. Tak lama setelah itu, Lavina pun pamit untuk pulang dan Hikari pun menawarkan untuk mengantarkannya. Dia sempat menolak, namun akhirnya luluh karena sikap Hikari.

Di halaman, aku sempat berbicara dengan Reika-san sebelum dia pulang.

“Berhati-hatilah, Mikan.” Katanya memperingatkanku.

“Ah! Tenang saja, aku pasti berhati-hati kok.”

“Kalau begitu aku pulang dulu, aku akan tetap mengawasi kalian selama beberapa hari ini. Jadi jangan merasa terganggu. Sampai nanti.”

“Osh! Siap! Sampai nanti juga!”

Reika-san kemudian melompat keluar dari tembok halaman rumahku ke sisi sebaliknya. Setelah dia pergi, aku kembali masuk untuk membantu Mimi membersihkan rumah. Sesekali aku harus membantu juga agar sebutan ‘pemalas’ dari Hikari tidak selalu melekat padaku.


***


Malam hari kali ini terasa sangat dingin. Angin yang berhembus cukup kuat sehingga rambut-rambut di kulit pun dibuat bergetar. Aku keluar dari kamarku untuk meneguk segelas air hangat demi kenyamanan tubuhku. Namun, begitu di dapur aku mendengar suatu yang aneh.

SRK! SRKK! SRKK!

Seseorang atau sesuatu nampaknya sedang berada di halaman rumah.

“Siapa itu!?” Tanyaku dengan suara dikeraskan.

Tak ada jawaban, namun kian lama suara itu semakin hilang. Aku pun membiarkannya begitu saja.

SRK! SRKK!

Ketika aku baru saja selesai meneguk air hangat dari gelas, suara aneh itu kembali muncul. Kali ini suara itu telah menarik hatiku dan membuatku sangat penasaran. Akhirnya, kuberanikan diri untuk mengintip keluar ke halaman.

SREEK!

Kubuka jendela dan kemudian aku berjalan keluar menuju halaman. Angin yang berhembus membuatku tidak tahan, namun aku harus segera menemukan sumber suara tadi berasal.

Aku melihat ke sekeliling, tak ada jejak kaki hewan maupun manusia yang ada di sana. Mungkin hanya suara angin yang menggetarkan rerumputan, pikirku. Ketika aku hendak berjalan kembali masuk ke dalam rumah, sebuah sosok tertangkap oleh pandanganku tengah berdiri di atap rumah.

“Reika sang Nekonoid, jadi kau datang malam-malam seperti ini untuk mengawasi pergerakanku?”

“Kau nampaknya bukan orang yang suka berbasa-basi. Ya, aku datang untuk mengawasimu.”

Sosok berwujud manusia kucing itu kemudian mulai terlihat dengan jelas dibawah sinar rembulan yang perlahan mulai bersinar terang. Dialah Reika, sang Nekonoid yang siang tadi baru saja makan siang bersama kami. Nampaknya dia memang telah tahu identitasku.

“Katakan apa tujuanmu ke sini, Mimi Kyoretsu!” Seru Reika.

Aku tidak menjawab dan hanya memberinya sebuah senyuman kecil.

“Apa maksud senyumanmu itu!? Ternyata kau memang berniat jahat kan!?” Tanyanya mulai terpancing emosi.

“Aku tidak akan mengatakan apa tujuanku sebenarnya kepada orang luar.” Jawabku kemudian.

Reika melompat dari atap seraya menghunus sebuah pedang tepat ke arahku.

“Kalau begitu segera kita akhiri saja diskusi membosankan ini!”

“Boleh saja. . . Bluster Gun, shot!” Seruku yang diam-diam mengeluarkan sebuah senjata, dan kemudian menembakkannya ke arah Reika.

Reika terkejut bukan main dan tidak bisa menghindarinya.

DHUAR!

Kepulan asap segera mengepul di tengah langit malam yang diterangi sinar rembulan. Aku tahu serangan tadi tidak akan mampu menghentikan gerakannya. Oleh karena itu, aku segera bersiap dengan mengganti pakaianku serta dengan sebuah senjata berbentuk pistol laser yang kini kugenggam.

“Masih beluuuuum!”

Tepat dugaanku, Reika sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan semacam tadi. Tubuh Nekoid adalah salah satu tubuh yang diciptakan untuk menahan serangan skala besar, itulah alasannya.

“Shot! Shot! Shot!”

Aku menembakkan senjataku berulang-ulang sambil terus bergerak menjauhinya sebisa mungkin. Namun tentu saja, kecepatannya yang bagaikan sosok ninja itu tidak dapat kuimbangi dengan mudah.

“Kau tidak akan lepas dariku, Mimi Kyoretsu!” Seru Reika. Dia kemudian menggerakkan sebuah kotak penjual minuman dengan kekuatan khususnya, lalu berusaha melemparkannya ke arahku.

ZRAASH!

Sebuah sabetan pedang dariku mampu menghalau serangannya, dan kotak penjual minuman itu pun terbelah menjadi dua dalam sekejap.

“Excali-Excali versi II, senjata yang dapat membelah apapun yang disentuhnya.” Jelasku sambil bergerak menghampiri Reika.

Saat Reika berusaha mengendalikan kotak penjual minuman tadi sebenarnya kugunakan kesempatan itu untuk berganti senjata. Ya, aku lebih memilih senjata jarak dekat daripada terus bergerak menghindar tanpa memberi serangan balasan yang cukup berarti.

“Benar-benar senjata yang bagus, menarik.” Pujinya.

“Tidak ada waktu untuk memuji musuhmu, kan!?”

TRAANG!

“Apa!?” Seruku kaget.

Senjataku, Excali-Excali versi II ternyata tidak dapat membelah pedang milik Reika. Dia sendiri nampak senang ketika melihatku terkejut seperti itu.

Reika menggerakkan tangan kirinya yang bebas dan kemudian direntangkannya ke depan menuju tepat ke arahku.

“Gravity push!”

DRUAK!

Aku kemudian terlempar oleh sebuah kekuatan yang sangat dahsyat. Tubuhku rasanya bagaikan didorong oleh sebuah beban yang beratnya hingga berpuluh-puluh ton. Akibatnya, tubuhku pun diterbangkan hingga jarak yang cukup jauh.

BRUAG!

Tubuhku jatuh menghantam permukaan tanah dengan keras. Rasa sakit mulai menjalar di setiap sendi tubuhku akibat benturan itu. Meskipun begitu, aku tetap untuk mencoba kembali berdiri dan menghadapi Reika.

“Aku akan kembali mengirimmu ke masa depan!” Seru Reika yang telah berada di atap gedung.

“I-Ini. . .!”

Aku tak sadar kalau aku telah jatuh di halaman sekolah. Suasana berbeda yang hanya terasa pada malam hari yang menjadikanku kalau aku tak menyadari kalau aku tengah berada di sekolah.

“Di sini akan kuakhiri secepatnya!”

“Tidak akan kubiarkan begitu saja, Blaster Meteroid, shot!”

Sebuah serangan yang menembakkan seratus tembakan dalam sekali tembak pun kulepaskan demi menghalangi pergerakan Reika. Dia nampak kerepotan menghindari tembakan dariku yang tak terhitung jumlahnya dan kecepatannya pun sangat cepat.

“Cih! Sial! Aku tak bisa mendekat kalau begini.” Umpatnya kesal.

“Bagaimana? Kau kesulitan kan?” Tanyaku senang karena melihatnya kesulitan bergerak.

“Masih belum!”

Sosok Reika tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan sedetik kemudian dia justru telah berada di belakangku.

“Bagaimana bisa ,-“

“Berhenti bicara dan menghindar, lawan aku!”

“Kalau begitu hanya bisa dengan memakai ini, boot-boot active!”

Aku menghidupkan sepatu jetku, lalu terbang menuju ke dalam gedung sekolah.

“Cih! Menghindar lagi.” Umpatnya seraya mengejarku.

Di dalam gedung, kami saling berkejar-kejaran dan melepaskan serangan.

ZUW! ZUW! ZUW!

Aku melepaskan tembakan beberapa kali ke arah Reika. Namun, dia berhasil menghindar dan membelokan seranganku dengan mudah.

DHUAR! PRANG! DHUAR! PRANG! PRANG!

Suara ledakan yang berasal dari seranganku dan suara kaca pecah berbaur menjadi satu seiring kejar-kejaran kami yang sangat sengit.

Setelah beberapa lama, kuputuskan untuk kembali terbang ke luar gedung karena bermain kucing-kucingan di dalam gedung tidak terlalu memberikanku keuntungan berarti.

“Kau tidak akan bisa kabur!”

Reika berpindah lagi dengan cepat dan kini telah berada di hadapanku. Dia mengacungkan pedangnya dan bersiap menebasku. Aku tak memiliki kesempatan menghindar, dan pasti akan terkena serangannya dengan telak.

DHUAG!

Sebuah benda berukuran raksasa menghantam tubuh Reika dan membantingkannya ke permukaan tanah dengan keras.

GRAAAAAAU!

“Makhluk apa itu. . .?” Tanyaku heran melihat kemunculan sesosok makhluk aneh di hadapanku.

“Makhluk sialan! Beraninya menerbangkanku begitu saja!” Ujar Reika kesal. Dia sudah berdiri kembali dan nampak tidak terlalu mengalami luka berarti.

“Maaf, Mimi Kyoretsu. Biarpun aku ingin menyelesaikan urusan kita sekarang, tapi aku ingin menghajar makhluk ini dulu.”

Reika kemudian maju mendekati makhluk besar itu, namun aku segera menghentikannya.

“Kenapa kau menghentikanku?” Tanyanya heran.

“Makhluk itu tanggung jawabku. Kau ingin jawabanku tentang tujuanku datang kesini kan? Akan kubuktikan kalau aku ini bukan musuh dengan mengalahkan makhluk ini!” Jawabku sembari terbang menghampiri makhluk rasa menjijikan di depanku itu.

“Oi! Jangan memaksakan dirimu!”

“Tidak apa-apa, lagipula ini memang tanggungjawabku. Makhluk ini kemungkinan seekor ulat yang meminum ramuan penumbuh yang tidak sengaja aku tumpahkan saat menanam apel. Jadi, tidak usah dipermasalahkan.”

DHUAG!

Baru saja aku selesai berbicara, ekor ulat raksasa itu telah menghantamku dengan keras.

JDUUM!

Tubuhku kembali bertabrakan dengan permukaan tanah yang keras. Rasa sakit yang sempat hilang tadi, kini mulai terasa kembali menjalar di dalam tubuhku.

“Apa kubilang kan? Kalau kau memang mau membuktikannya, kau juga tidak boleh bertindak bodoh. Ayo bekerjasama!” Ajak Reika sambil mengulurkan tangannya padaku.

Aku menyambut uluran tangan hangat darinya itu, kemudian berdiri dengan kepercayaan diri yang telah meningkat.

“Kalau begitu ayo lakukan!”

“Jadi begini rencananya. . .” Reika membisikan rencananya ke telingaku.

“Baiklah, aku mengerti!”

“Nah, ayo kalahkan makhluk busuk ini, Mimi!”

“Oouuuu!”

Kami kemudian bergerak secara bersamaan menuju ke arah ulat raksasa itu. Sebisa mungkin kami menghindari serangan ekornya yang sangat berbahaya. Namun, ketika kami hampir tiba, ulat raksasa itu melancarkan serangan baru.

“Awas berbahaya!” Seru Reika.

JLEB! JLEB! JLEB!

Ulat raksasa itu menembakkan bulu-bulunya yang kini telah tumbuh setajam sebuah pedang ke arah kami. Beruntung, kami menyadarinya dengan cepat dan berhasil menghindarinya.

“Sudah sampai! Saatnya melakukan penyelesaian!”

Reika bersiap melakukan serangan penghabisan, begitu pula denganku. Namun, tiba-tiba ekor ulat itu muncul dari dalam tanah dan menyerang Reika.

DHUAK!

Reika terlempar dan kemudian tergeletak di tanah. Aku segera menghampirinya dan memeriksa keadaannya.

“Tidak perlu khawatir, aku baik saja.” Katanya.

“Tapi, bagaimana kita bisa mendekatinya sekarang? Apa kau tidak bisa menggunakan kekuatan mover-mu saja?” Tanyaku sembari membantunya bangkit.

“Bodoh! Aku mana mungkin bisa memindahkan benda sebesar itu! Kekuatanku juga ada batasnya.”

“Kalau begitu bagaimana kita bisa mendekatinya? Dia bisa menyerang dengan ekor dan bulunya yang ditembakkan tanpa henti. Itu membuat kita kesulitan bergerak.”

Reika diam sejenak dan terlihat berpikir dengan cukup keras.

“Ah! Itu dia! Tembakan tanpa henti!”

“Maksudmu?”

“Gunakan tembakan tanpa hentimu sekali lagi! Kau mengerti maksudku kan?”

“Hmm. . . Ya! Tentu saja, mari lakukan!” Kataku yang segera mengerti maksud perkataan Reika.

Aku bersiap dengan senjataku lagi dan melakukan ancang-ancang, kemudian dengan sekali tembakan aku pun melepaskan ratusan tembakan ke arah si ulat raksasa. Ulat itu nampak kewalahan menangani tembakanku yang ratusan jumlahnya itu.

Kesempatan itu kami gunakan untuk mendekatinya. Setelah tembakanku berhenti, kami pun telah berada di hadapannya tanpa memberikannya kesempatan untuk melakukan serangan balasan.

“Finishing Art: Ultimate Slash!” Seruku dan Reika bersamaan.

Kami menyayatkan pedang kami dari arah yang berbeda. Aku dari arah kiri, sedangkan Reika dari arah kanan. Kami tepat memotong ulat raksasa itu mulai dari mulutnya hingga kemudian menuju ekornya. Akhirnya, ulat raksasa itu pun terbelah menjadi dua bagian besar.

Setelah selesai dengan urusan membelah itu, kami pun segera bergerak menjauhi potongan besar ulat raksasa itu.

DOOOOOM! PRAAANG!

Sebuah ledakan besar yang disertai dengan pecahnya seluruh kaca di gedung sekolah pun terjadi. Kami berdua menyaksikannya dengan kedua mata kami tanpa sepatahpun keluar dari mulut kami.

“Maafkan aku sudah meragukanmu, Mimi Kyoretsu.” Kata Reika kemudian.

“Ah, justru itu salahku yang membuat kalian curiga karena tidak memberitahukan kedatanganku.”

“Kalau begitu kita sekarang bisa berteman kan?” Reika mengulurkan tangannya.

Aku segera menjabat tangannya, dan memulai langkah baru dengan bersahabat dengannya yang sama-sama berasal dari masa depan.

“Aku terima uluran persahabatan ini.” Jawabku.

“Tapi bagaimana kau membersihkan semua kekacauan ini?”

Aku terdiam mendengar pertanyaan Reika. Aku hanya bisa melongo melihat kondisi sekolahku yang sangat berantakan.

“Aku lupa kalau Fix-Fix sedang diperbaiki!” Seruku sembari menepuk dahiku sendiri.

“Jadi, bagaimana kau akan memperbaikinya?”

Aku berpikir selama beberapa saat, lalu aku pun berhasil menemukan sebuah ide yang cukup cemerlang. Aku mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya. Kemudian, aku menaruh kertas itu di depan pintu masuk gedung sekolah.

“Dengan begini sudah beres semuanya!” Kataku percaya diri.

“Kau benar-benar yakin?” Tanya Reika ragu.

“Untuk sementara sampai Fix-Fix selesai diperbaiki rasanya cukup.”

“Yah, kalau begitu sih terserah apa katamu saja.”

“Hehehe.”

Kami berdua pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing dan beristirahat demi kegiatan esok hari yang akan kami lakukan. Dengan begitu, maka berakhirlah duel kami berdua di tengah malam yang diterangi sinar rembulan.


***

Pagi hari yang sangat cerah, aku berharap akan ada keajaiban atau paling tidak kejadian bagus yang terjadi hari ini.

Seperti biasa, aku mengawali hariku dengan berangkat sekolah bersama dengan Mimi. Namun, beberapa hari ini sedikit berbeda karena aku pasti saja berpapasan dengan Aiko dan Lavina yang memaksa untuk ikut berangkat bersama kami berdua. Memang mengesalkan, tapi apa boleh buat.

Tepat ketika kami berempat tiba di gerbang masuk sekolah, Hazuki-senpai menghadang kami dengan wajah tidak senang. Seketika rusaklah harapanku untuk mendapatkan suatu keajaiban hari ini.

“O-Ohayou, Hazuki-senpai!” Sapaku.

“Apanya yang Ohayou!? Apa maksud tulisan di kertas ini!?” Bentaknya.

Hazuki-senpai menunjukan sebuah kertas di depan wajahku agar aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku tidak mengerti maksudnya, tapi kurasa inilah sumber kemarahannya.

Aku berusaha membaca tulisan yang ada di dalam kertas itu. Bukannya mendapat kejelasan, aku malah terheran-heran sendiri membaca isi di kertas itu.

“Anoooo. . . Di sekolah ini bukan aku saja kan yang inisialnya MK?”

“Tidak ada! Lagipula siapa lagi yang memiliki nama seperti itu!?”

“Barangkali saja masih ada yang lain, coba cari tahu dulu.”

“Sudah kubilang kan tidak ada!”

Aiko dan Lavina nampak penasaran dengan apa yang kami berdua perdebatkan. Mereka kemudian menghampiri Hazuki-senpai dan meminta izin untuk membaca tulisan yang ada di kertas yang digenggamnya.

“Kaichou, bisa kami pinjam sebentar kertas itu?”

“Ah, Lavina! Kau bisa membacanya.”

Hazuki-senpai pun menyerahkan kertas di tangannya itu ke tangan Lavina. Setelah berada di tangannya, Lavina dan Aiko segera membaca tulisan yang ada di kertas itu.

“Kau lihat apa yang terjadi dengan gedung sekolah kan!?” Bentak Hazuki-senpai lagi.

“Memangnya apa yang sudah ku. . la. . ku. . kan. . .”

Aku tiba-tiba tidak dapat berkata apa-apa ketika melihat gedung sekolah yang berantakan dan seluruh kaca pecah berserakan di sekitar halaman. Bahkan yang lebih parah, ada sebuah lubang besar seperti bekas sesuatu yang besar meledak.

“Siapa yang. . . melakukan ini?”

“Kau tanya siapa!? Tentu saja itu kau kan!?”

“Aku tidak melakukannya!” Kataku membela diri.

“Kau pasti pelakunya, kertas itu buktinya!” Kata Hazuki-senpai tetap menuduhku.

“Nah, saatnya untuk penghukuman bagi yang melanggar.” Katanya lagi sambil mengeluarkan pedang kayu kesayangannya.

“Oi! Oi! Hazuki-senpai, itu berbahaya. . . kan?”

“Tidak ada yang berbahaya dengan ini, cuma hukuman setimpal bagi orang yang sudah merusak sekolah!”

“Aku tidak mau dihukuuuuum! Kenapa ini selalu terjadi padakuuuuu!?” Kataku sembari melarikan diri dari hadapan Hazuki-senpai. Namun, dia tetap mengejarku dengan membawa pedang kayunya berniat untuk menghukumku.

“Tunggu, Mikaaaan!”

“Tidaaaak! Kenapa ini selalu terjadi padakuuuuu!?”


***


Di sini kembali dengan Mimi Kyoretsu.

Aku bercerita sambil bergegas berlari menjauhi Ojii-chan dan yang lain. Semuanya bisa jadi gawat kalau mereka tahu kalau aku yang telah merusak sekolah tadi malam. Oleh karena itu, aku segera kabur dari hadapan mereka.

Maafkan aku, Ojii-chan. Kali ini pun kau yang harus kebagian hal yang paling sulit. Kau harus dikejar-kejar Hazuki-senpai yang berniat menghukummu dengan pedang kayunya. Berjuanglah, Ojii-chan!

Kalian semua pasti penasaran dengan apa yang aku tulis di kertas itu. Begini isinya:

“Untuk Kaichou-san yang terhormat. Maafkan aku telah menghancurkan sekolah hingga seperti ini. Aku tidak sengaja menghancurkannya karena berpikir tidak akan berakhir seperti ini. Karena itu aku berjanji akan memperbaikinya lagi dalam beberapa hari. Sampai saat itu tiba, tolong bersabarlah dengan kondisi sekolah yang seperti ini.

Tertanda, MK.”

TSUZUKU. . . . .

Fu-Fam - Time IV -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Kamis, 25 Agustus 2011
With 0komentar

Fu-Char - Mimi Kyoretsu -

| Senin, 22 Agustus 2011
Baca selengkapnya »
Moshi-Moshi Minna-san! Ogenki desu ka?

Kali ini kembali dengan pojok Fu-Char, dan kali ini saya akan membahas (kembali) tentang salah satu tokoh utama di Fu-Fam ini. Tokoh kali ini adalah Heroine di cerita ini, yang tentu saja tidak lain adalah Mimi Kyoretsu. Langsung saja ini dia ulasannyaaaa ~

Mimi Kyoretsu adalah anak dari pasangan Ichigo Kyoretsu dan Lumina Kyoretsu. Dia adalah anak satu-satunya di keluarga tersebut, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang hampir semuanya adalah ilmuwan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam alat yang selalu dibawanya kemanapun dalam box khusus bernama box-box, kendati sebenarnya banyak dari alatnya yang justru membuat kekacauan di manapun dia berada.

Mimi adalah anak yang cukup populer di sekolah, terutama di kalangan para siswa pria. Kepindahannya ke sekolah tempat Ojii-chan nya bersekolah langsung menarik perhatian seluruh siswa, sehingga dia memang menjadi cukup terkenal. Untuk menutupi hubungan keluarga di antara mereka berdua, mereka sepakat untuk memanggil nama masing-masing bila berada di sekolah atau dimanapun bila mereka tidak hanya berdua.

Mimi juga adalah orang yang sangat tertutup. Meski dia sendiri mengatakan bahwa dirinya datang akibat tertarik dengan kehidupan Ojii-chan nya di masa lalu setelah melihat buku silsilah keluarganya, tapi tujuan sebenarnya dan bagaimana dia datang masih sangat misterius. Mimi enggan untuk menceritakannya. Namun, belakangan terungkap bahwa Mimi datang karena sebuah peristuwa ruang dan waktu yang disebut-sebut oleh Hakase dan Reika, yaitu Time Cluster, yang juga berhubungan dengan mimpi aneh yang akhir-akhir ini sering dialami oleh Mikan.

Di balik semua misterinya itu, Mimi adalah anak yang polos di mata semua orang yang mengenalnya. Dia juga adalah orang yang baik dan suka menolong, terutama ketika Mikan kerepotan membereskan semua kekacauan yang sebenarnya disebabkan karena ulah alat-alatnya sendiri. Selain itu, Mimi juga adalah orang yang sangat memperhatikan orang lain. Dia adalah penyuka kucing dan suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan langit, itulah alasannya menjadi penyumbang di klub Sorami yang dibuat oleh Makoto dkk.

Saya membuat tokoh ini terinspirasi oleh tokoh Momo Bella Deviluke dari anime To Love Ru (Foto bisa dilihat di bagian atas). Sifatnya yang terlihat polos di depan orang lain, namun sebenarnya penuh rencana itu yang membuat saya terinspirasi.

Berikut adalah biodata singkat mengenai Mimi Kyoretsu.

Name : Mimi Kyoretsu

Birthday : 8 October

Blood Type : O

Height : 165 cm

Weight : 40 kg

Hair Color : Pink

Family : Ichigo Kyoretsu (Father), Lumina Kyoretsu (Mother)

Fu-Char - Mimi Kyoretsu -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Senin, 22 Agustus 2011
With 0komentar
Tag :

Fu-Char - Mikan Kyoretsu -

| Senin, 01 Agustus 2011
Baca selengkapnya »
Moshi-Moshi Minna-san ^^

Kali ini saya di Pojok Fu-Char ini saya ingin membahas tentang para tokoh yang ada di Fu-Fam ini. Kalau begitu, langsung saja untuk tokoh yang pertama yaitu sang tokoh utama, Mikan Kyoretsu.

Mikan Kyoretsu adal
ah anak pertama dari pasangan Ringo Kyoretsu dan Yamiko Kyoretsu. Dia mempunyai adik yang bernama Hikari. Meskipun dia anak pertama, namun seluruh pekerjaan rumah tangga adiknyalah yang mengerjakan, sedang dia hanya bermalas-malasan saja. Oleh karena itulah, Hikari lebih suka memanggilnya pemalas dibanding dengan Onii-chan, Onii-san, atau Aniki.

Mikan adalah anak yang tidak terlalu populer di sekolahnya. Dia hanya memiliki beberapa teman dekat, di antaranya Lavina sahabat kecilnya, dan Makoto teman sekelasnya. Sebenarnya dia juga memiliki seseorang yang dia suka yaitu Ryuuji Mitsuragi, ketua kelasnya. Namun, karena melihat hubungan antara Ryuuji dan Yukio, dia memilih untuk menahan perasaannya itu. Tapi belakangan sejak kemunculan Mimi, dia menjadi lebih berani untuk mengungkapkan perasaannya itu, walaupun kadang Ryuuji bersikap seolah dirinya itu tidak ada.

Mikan adalah tipe orang yang bertanggung jawab meskipun sering malas-malasan. Setiap dia melakukan kesalahan, dia selalu berusaha memperbaikinya, termasuk ketika dia membuat kekacauan karena alat-alat Mimi yang sering gagal.

Saya sendiri membuat tokoh ini terinspirasi oleh tokoh Yuuki Rito dari manga / anime To Love Ru (Foto ada di bagian atas). Bahkan sebagian cerita ini juga terinspirasi dari sana. Nama Mikan pun diambil dari tokoh Yuuki Mikan di anime yang sama.

Berikut adalah biodata singkat mengenai Mikan Kyoretsu.

Name : Mikan Kyoretsu

Birthday : 25 November

Blood Type : O

Height : 170 cm

Weight : 50 kg

Hair Color : Brown

Family : Ringo Kyoretsu (Father), Yamiko Kyoretsu (Mother), Hikari Kyoretsu (Little Sister)

Fu-Char - Mikan Kyoretsu -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Senin, 01 Agustus 2011
With 0komentar
Tag :
Next Prev
▲Top▲