Newest Post

Aqua Timez - Sen no Yoru wo Koete Lyric

| Rabu, 01 Juni 2011
Baca selengkapnya »
Kore wa Ore no daisuki na Uta da!

Artinya "ini adalah lagu terfavorit saya!"

Lagu ini dibawakan oleh grup band Aqua Timez dan lagu ini pula pernah menjadi ending dari Bleach the movie I.

Di bawah ini seperti biasa saya akan berikan lirik asli dan terjemahannya.

Mohon maaf bila kurang n
yaman dengan bahasanya, karena saya juga masih belajar menerjemahkan.

Check this out! ===========================================================

This is the song!



===========================================================

Romaji

Aisaretai demo aisou to shinai
Sono kurikaeshi no naka wo samayotte
Boku ga mitsuketa kotae wa hitotsu kowakutatte kizutsuitatte
Suki na hito ni wa suki tte tsutaerunda

Anata ga boku wo aishiteru ka aishitenai ka
Nante koto wa mou docchi demo ii n da
Donna ni negai nozomou ga
Kono sekai ni wa kaerarenu mono ga takusan aru darou
Sou soshite boku ga anata wo aishiteru to iu jijitsu dake wa
Dare ni mo kaerarenu shinjitsu dakara

Sen no yoru wo koete anata ni tsutaetai
Tsutaenakya naranai koto ga aru Aisaretai demo aisou to shinai
Sono kurikaeshi no naka wo samayotte
Boku ga mitsuketa kotae wa hitotsu kowakutatte kizutsuitatte
Suki na hito ni wa suki tte tsutaeru n da
Kimochi wo kotoba ni suru no wa kowai yo demo
Suki na hito ni wa suki tte tsutaeru n da

Kono hiroi sekai de meguri au yorokobi wo kotoba jya ii arawasenai ne
Dakara bokutachi wa hohoemi
Iro azayaka ni sugiru aki wo doremi de utatte
Fuyu wo se ni haru no komorebi wo machi
Atarashiku umare kawaru dareka wo mamoreru youni to

Kita michi to yukisaki furikaereba itsudemo okubyou na me wo shite ita boku
Mukiaitai demo sunao ni narenai
Massugu ni aite wo aisenai hibi wo
Kurikaeshite wa hitoribocchi wo iyagatte
Ano hi no boku wa mukizu na mama de hito wo aisou to shite ita

Sen no yoru wo koete ima anata ni ai ni yukou
Tsutaenakya naranai koto ga aru
Aisaretai demo aisou to shinai
Sono kurikaeshi no naka wo samayotte
Boku ga mitsuketa kotae wa hitotsu kowakutatte kizutsuitatte
Suki na hito ni wa suki tte tsutaeru n da
Sono omoi ga kanawanakutatte suki na hito ni suki tte tsutaeru
Sore wa kono sekai de ichiban suteki na koto sa

============================================================

My Translate

Aku ingin dicintai, tetapi sepertinya kau tidak mencintaiku
Aku terus berkenalana di dalam pengulangan itu
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah jawaban
Bahwa meskipun aku merasa takut, meskipun aku tersakiti
Aku masih dapat mengatakan, "Aku mencintaimu." Kepada orang yang kusukai

Apakah kau mencintaiku? Ataukah tak mencintaiku?
Bagiku kenyataan yang manapun tidak masalah
Karena sebagaimanapun aku berharap, banyak hal di dunia ini yang tidak dapat dirubah kan? Dan karena hanya kenyataan aku mencintaimu itu adalah salah satu dari hal tersebut

Aku ingin melewati seribu malam dan memberitahukan sesuatu kepadamu
Bahwa ada suatu hal yang harus kusampaikan kepadamu
Aku ingin dicintai, tetapi sepertinya kau tidak mencintaiku
Aku terus berkenalana di dalam pengulangan itu
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah jawaban
Bahwa meskipun aku merasa takut, meskipun aku tersakiti
Aku masih dapat mengatakan, "Aku mencintaimu." Kepada orang yang kusukai
Aku terlalu takut untuk mengubah perasaanku menjadi sebuah untaian kata-kata
Namun, aku masih dapat mengatakan, "Aku mencintaimu." Kepada orang yang kusukai

Aku tidak dapat mengekspresikan kebahagiaanku dapat bertemu denganmu di dunia yang luas ini Karenanya aku tersenyum, bersenandung "do-re-mi" sambil melewati warna kehidupan di musim gugur
Ketika musim dingin datang, aku membalikkan punggungku dan menunggu sinar mentari musim panas datang
Agar aku terlahir menjadi pribadi yang baru dan dapat melindungi seseorang

Ketika aku menoleh ke jalan kecil tempat tujuan kita pulang
Aku selalu memiliki mata yang malu
Sejujurnya aku ingin menjemputmu, namun aku tak dapat jujur kepada diri sendiri
Aku terus mengulangi hari di mana aku kesepian dan tidak dapat mencintaiku pasanganku dengan jujur
Hari itu aku terlihat dapat mencintai orang lain tanpa ada perasaan terluka

Aku ingin melewati seribu malam dan segera bertemu denganmu
Aku ingin menyampaikan sesuatu yang harus kukatakan kepadamu
Aku ingin dicintai, tetapi sepertinya kau tidak mencintaiku
Aku terus berkenalana di dalam pengulangan itu
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah jawaban
Bahwa meskipun aku merasa takut, meskipun aku tersakiti
Aku masih dapat mengatakan, "Aku mencintaimu." Kepada orang yang kusukai
Meskipun perasaan itu tidak dapat terbalas
Aku masih dapat mengatakan bahwa itu adalah hal terindah yang pernah kualami di dunia

Aqua Timez - Sen no Yoru wo Koete Lyric

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Rabu, 01 Juni 2011
With 0komentar

Hasil Polling - Time I -

|
Baca selengkapnya »
Memang ceritanya masih baru I Part, tapi terima kasih untuk yang telah ikut polling (meski cuma 3 orang sih).

Dan berikut ini adalah hasil polling untuk tokoh terfavorit di Time I

1. Hikari Kyoretsu dengan I suara

2. Lavina Kuujo dengan I suara

3. Ryuuji Mitsuragi dengan I suara

Untuk selanjutnya, polling akan dibuka kembali dan akan ditutup pada saat Time III terbit

Atas partisipasinya, arigatou gozaimasu

Hasil Polling - Time I -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :
With 0komentar
Tag :

Fu-Fam - Time II -

|
Baca selengkapnya »
***


TIME II : DANGEROUS FLY NOVEL'S STRATEGY!


***


“Hooooi pemalas! Cepat bangun atau kau akan kubangunkan lagi secara paksa!”

Suara Hikari kembali membangunkanku di pagi hari untuk yang kesekian kali, dan sama sekali tidak ada yang berubah dari kata-katanya itu. Dia tetap saja selalu pemarah dan keras kepala.

“Haaai! Aku segera datang.” Sahutku sambil menutup mulutku yang tengah menguap dengan tangan.

Kugosok-gosok pelupuk mataku agar rasa kantuk yang kurasakan berangsur menghilang. Sambil melakukan itu, aku berjalan keluar kamar dan menuju tangga ke lantai bawah.

“Ah! Mimi-chan, Ohayou. . .”

Aku tidak sengaja berpapasan dengan Mimi ketika hendak menuju ke kamar mandi di bawah.

Mimi terlihat kikuk ketika aku menyapanya, namun dia berusaha untuk membalas sapaanku.

“Ohayou, Ojii-chan.”

“Kau kelihatannya sedang sibuk ya, Mimi-chan?”

“Mi, Mimi-chan?”

Wajah Mimi seketika berubah merah. Dia tersipu malu ketika aku memanggilnya dengan panggilan -chan itu.

“Hm? Memangnya kenapa dengan panggilan -chan? Kau tidak suka ya?”

“Bukan begitu, Ojii-chan, hanya saja cuma ada beberapa orang yang memanggilku seperti itu, dan aku belum terbiasa dipanggil begitu di sini.”

“Jadi begitu, tapi bukannya itu normal, kita ini keluarga kan?”

Gadis itu nampak diam selama beberapa saat kemudian dia menganggukkan kepalanya.

“Hm! Memang benar apa kata Ojii-chan, kita memang keluarga.”

“Nah, aku ke kamar mandi dulu. Aku tidak mau terlambat atau Hikari bias menyiksaku nanti.”

“Hai.”

Aku pergi meninggalkan Mimi yang kemudian berjalan menuju ke arah dapur.

Di dalam kamar mandi, aku mengamati diriku yang terpantul di atas permukaan cermin.

“Sama sekali tidak ada yang berubah dari diriku, masih sama seperti kemarin.”

Aku menyikat gigiku dengan perlahan, kemudian kubasuh muka dan sebagian kepalaku. Setelah itu, aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan santai menuju kembali ke kamarku.

Samar-samar aku dapat mendengar suara percakapan antara Hikari dan Mimi. Sepertinya mereka sudah mulai mengakrabkan diri masing-masing, meski aku yakin tidak akan semudah yang dibayangkan. Apalagi untuk Hikari yang selalu terbiasa hidup berdua saja denganku tanpa adanya orangtua di sisi kami.

Yah, yang dapat aku lakukan sekarang hanyalah menyesuaikan diri dengan keadaan baru yang tercipta di rumah ini. Hari ini akan dimulai kehidupan baruku dengan anggota keluarga yang baru, yaitu Mimi.

Tak terasa langkah telah membawaku ke kamar. Kubuka jendela kamarku dan kutatap langit pagi yang cerah disinari oleh mentari yang belum lama muncul. Rasanya sama seperti kemarin, sama seperti ketika aku berharap sebuah keajaiban terjadi.

“Semoga saja hari ini pun akan ada keajaiban yang datang.”

Aku memakai seragam sekolahku, lalu kurapikan seluruh penampilanku dari atas hingga ke bawah. Setelah semuanya siap, aku segera turun ke bawah untuk bergabung dengan Hikari dan Mimi.

“Osoi! Sebenarnya sedari tadi kau sedang apa? Kau tidak melakukan urusan yang dilakukan anak yang tengah pubertas di kamar mandi kan?”

Hikari telah berkacak pinggang dengan wajah kesal ketika aku datang menghampiri meja makan.

“Mana mungkin! Aku cuma malas saja, seperti biasanya.”

“Hmph! Dasar benar-benar tidak dapat diandalkan.”

Hikari berlalu dari hadapanku dan menuju ke kursinya.

“Mimi-san, tolong ambilkan tiga buah piring untuk kita sarapan.”

“Haaaaai!”

Mimi segera menuruti perintah Hikari dan mengambil tiga buah piring dari rak dan menaruhnya di meja makan, dan kemudian dia sendiri pun duduk di kursinya.

“Hm? Piring? Memangnya apa yang akan kita makan untuk sarapan kali ini?” Tanyaku heran.


CKING!


“Roti bakar.” Jawab Hikari pendek bersamaan dengan bunyi mesin pemanggang roti yang telah selesai melaksanakan tugasnya.

Dia kemudian melangkah menuju pemanggang roti dan memberikan kami jatah roti masing-masing di piring kami.

“Kalau cuma roti bakar tidak perlu pakai piring kan?” Kataku mencoba protes.

“Memangnya kau punya masalah dengan piring atau roti bakar, hah?”

Hikari memelototiku dengan memasang tampang seram sehingga aku mengurungkan protesku dan lebih memilih untuk diam.

“Iia, nan demo nai.”

Hanya itu kata yang kuucapkan untuk menjawab pertanyaannya sambil kemudian aku mulai melahap roti bakarku.

Adikku ini memang benar-benar keras kepala dan susah sekali diatur meski kadang dia juga menjadi satu-satunya orang yang sangat peduli padaku. Di balik sikapnya yang ketus, dia sebenarnya adalah orang yang sangat baik kepada orang lain, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku.

“Hihihi,”

Perhatianku tiba-tiba teralih ketika kudengar suara tawa Mimi. Baru pertama kali kudengar dia tertawa seperti itu, suaranya ternyata enak didengar juga.

“Ada apa Mimi-chan?”

“Tidak, aku hanya lucu saja melihat tingkah kalian berdua. Aku jadi khawatir kalau aku tidak bisa menyesuaikan diri di sini.”

“Tidak perlu, tidak perlu. Kau juga pasti nanti akan terbiasa di sini, asalkan kau bisa tahan dengan sikap Hikari saja.”

“Apa maksudnya itu pemalas?” Protes Hikari.

“Apa ya kira-kira?”

“Aaaah, mou!”

Hikari mengambil roti bakarku secara paksa, lalu dia melahapnya sekaligus sehingga mulutnya penuh dengan roti.

“Hei! Itu kan rotiku. . .”

“Siapa peduli? Dasar tidak bisa diandalkan.” Ejek Hikari seraya menelan roti bakarku yang ada dalam mulutnya.

Benar-benar adikku ini. Dia sudah membuatku kesal saja di pagi hari yang cerah ini.

“Siapa yang tidak bisa diandalkan? Aku bisa diandalkan kok.”

“Benarkah? Memangnya kemampuan apa yang kau punya? Bermalas-malasan?” Tanya Hikari meremehkanku.

“Jangan meremehkanku! Aku juga punya kemampuan yang bisa kuandalkan tahu.”

Aku mulai tersulut emosi karena adikku ini terus memojokkan dan meremehkanku. Pikiranku sudah mulai tidak jernih lagi sehingga aku berkata sekenanya saja.

“Hooo. . . Kalau begitu mana buktinya kalau kau memang punya kemampuan?”

“Bu, bukti? Heh, aku tidak mau terlalu sombong dengan menunjukkan buktinya kepadamu.”

“Sudah kuduga, kau pasti cuma berbohong dan membual saja soal kemampuanmu.”

“Enak saja! Aku punya kok, hanya saja kemampuanku itu keluar pada saat tertentu saja.”

“Heee. . . Jadi cuma pada saat tertentu?”

“Hm!” Jawabku dengan mengangguk penuh rasa percaya diri.

“Kalau begitu itu bukannya sama saja dengan tidak punya kemampuan ya?”


JDUK!


Kata-kata Hikari itu benar-benar telah memojokkanku. Aku sudah tidak bisa lagi membalas ucapannya kali ini karena aku tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi yang satu ini.

Aku hanya bisa diam sambil memikirkan bagaimana caranya agar aku tidak dipermalukan oleh adikku sendiri. Keringat mulai mengucur dari dahiku, namun ide masih juga belum keluar dari otakku.

“Kalau begitu masalahnya, serahkan saja padaku!”

Mimi yang sedari tadi hanya diam dan melihat perdebatanku dengan Hikari akhirnya buka suara juga. Dia terlihat begitu senang dan terpancar kepercayaan diri yang tinggi dari wajahnya.

Kami memandang Mimi dengan tatapan bingung.

“Jaaaan ~ “

Mimi mengeluarkan sesuatu dari kotak ajaibnya yang bernama Box-Box.

“Apa itu, Mimi-chan?”

“Ini adalah Count-Count, alat untuk menghitung kemampuan seseorang. Dengan alat ini, kita bisa mengetahui tingkat kemampuan seseorang baik dari fisik, psikis dan yang lainnya.” Jelas Mimi.

Dia memamerkan alatnya yang berbentuk pin hati sebesar piring itu di hadapanku dan Hikari.

“Hee. . . Jadi kau akan menggunakannya kepada pemalas ini?”

“Hm! Tentu saja.”

“Cih, itu percuma saja. Kau cuma akan membuang alatmu percuma, Mimi-san.”

“Eeeh? Kenapa?”

“Tunggu! Tunggu! Jadi kau bermaksud mengatakan kalau aku sama sekali tidak punya kemampuan alias 0 % ?”

Hikari hanya mendengus sambil memalingkan mukanya dari arahku. Aku semakin merasa kesal dengan sikapnya itu, padahal seharusnya dia bersikap lebih baik di pagi secerah ini.

“Mimi-chan, pasangkan segera!” Perintahku dengan berapi-api.

Aku ingin segera membuktikan kepada adik tercintaku ini bahwa kakaknya bukanlah seorang yang tidak berguna seperti apa yang ada dipikirannya, meski memang dia benar tentang kebiasaanku yang suka bermalas-malasan.

“Ha, hai! Ojii-chan,”

Mimi kemudian memasangkan alat itu kepadaku. Dia menempelkan alat itu tepat di bagian dadaku, dan dengan cepat alat itu langsung menyatu erat denganku.

“Lihat saja, Hikari! Aku pasti yang akan menang.” Ujarku dengan begitu percaya diri seraya menepuk alat di dadaku itu dengan keras.

“Ya, ya, ya, terserah kau saja, pemalas.”

Hikari sama sekali tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap percobaan ini. Aku sendiri tidak mengerti apa dia memang benar-benar tidak mau peduli atau dia sebenarnya hanya takut kalah olehku. Yah, yang bisa kulakukan hanya ini, setelah itu baru aku bisa mengetahui jawabannya.

“Kita mulai, Ojii-chan! Count-Count, Staaaaart!”


PIP!


Mimi menekan sebuah tombol di remote yang berada di tangannya yang entah darimana datangnya. Kemudian, alat di dadaku itu mulai berkedip pertanda telah mulai bekerja.


PIP! PIP! PIP!


Alat itu terus berkedip sambil mengeluarkan suara yang cukup keras. Aku menjadi semakin tidak sabar di setiap kedipan alat itu.

Beberapa saat telah berlalu, namun nampak belum ada reaksi dari alat milik Mimi ini. Alat ini hanya berkedip terus menerus seperti ketika awal dinyalakan.

Kulihat Mimi sejenak, dia juga nampak keheranan karena alatnya masih belum juga menunjukan hasilnya. Sementara itu Hikari masih tidak peduli dan membuang mukanya dari arahku.

“Kenapa ya kira-kira?” Ujar Mimi dengan bingung.

“Kenapa apanya, Mimi-chan?”

“Ah tidak, aku hanya berpikir apakah alat ini rusak atau tidak.”

“Sudah jelas kan? Alat itu rusak karena kau menaruhnya pada orang yang sama sekali tidak bisa diandalkan alias p-a-y-a-h, payah.” Sela Hikari yang tiba-tiba masuk dalam perbincanganku dan Mimi.

“Kau ini tidak bisa lebih sopan sedikit ya terhadap kakakmu?”

Hikari tidak menjawab dan kembali memalingkan mukanya.

“Kau ini. . .”

“Sudah, sudah, Ojii-chan, jangan bertengkar lagi. Hm?”

Tiba-tiba Mimi terlihat menemukan sesuatu yang aneh dengan alatnya. Hal itu membuatku penasaran.

“Ada apa, Mimi-chan?”

“Alat ini. . .”


PIP! PIP! PIP! PIP! PIP!


Sesuatu yang aneh telah terjadi kepada alat milik Mimi!

Alat yang menempel denganku itu tiba-tiba berkedip lebih cepat dari sebelumnya, dan bahkan suaranya juga menjadi lebih keras.

“Ke, kenapa ini?”

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba muncul cahaya dari alat tersebut dan semakin lama cahaya itu semakin terang bersinar. Cahaya itu membuat kami semua yang berada di ruang makan silau.


PIIIIIIP!


KABOOOM!


Beberapa saat kemudian, terjadi sebuah ledakan di kediaman keluarga Kyoretsu. Kejadian tersebut tidak menyebabkan korban jiwa, namun peristiwa itu telah memberik shock dan trauma kepada seluruh anggota keluarga yang mengalaminya. Mereka semua kini tertindih oleh puing-puing rumah yang tadinya adalah dapur dan ruang makan.

“Koraaa! Siapa juga yang akan mati? Aku masih hidup!”

Aku keluar dari puing-puing rumah, dan kulihat sekelilingku. Setengah bagian rumah telah hancur akibat ledakan berusan dan menjadi puing-puing yang berserakan.

Tidak lama kemudian, Mimi nampak keluar juga dari puing-puing sambil membantu Hikari yang kesulitan untuk keluar.

“Mimi-chan, apa maksudnya semua ini?” Tanyaku segera setelah Mimi berhasil membantu Hikari keluar dari reruntuhan rumah.

“Ma, maaf Ojii-chan. Entah kenapa alat itu yang tadinya sama sekali tidak bereaksi, tiba-tiba menunjukkan reaksi berlebihan dan akhirnya kapasitasnya penuh sehingga kemudian meledak seperti barusan.”

“So, Sou ka. Jadi, itu artinya aku memiliki kemampuan yang lebih kan?”

“Se, sepertinya begitu. . .”

“Yatta! Bagaimana Hikari, kau dengar sendiri kan apa katanya?”

“Hmph! Terserah kau saja.”

“Ini berarti aku yang menang kan, hahaha!” Tawaku dengan senang.

Hikari memandang ke sekeliling, dan yang dia lihat hanyalah reruntuhan rumah kami. Separuh bagian rumah memang masih berdiri tegak, namun rasanya sudah tidak ada artinya lagi sekarang.

“Hei! Hei! Hei! Tunggu dulu, bagaimana dengan rumah ini? Bisa kau lakukan sesuatu, ‘tuan yang memiliki kemampuan’?” Tanya Hikari membuatku segera menyudahi kesenangan atas kemenanganku.

“Sou da, rumah ini sudah hancur sebagian.”

“Makanya, bisa kau lakukan sesuatu terhadap rumah ini?”

Hikari memandangku lekat dengan mata melotot dan wajah yang seram.

Aku segera berjalan mendekati Mimi, lalu menyeretnya agak jauh dari Hikari.

“Oi, Mimi-chan, bisa kau lakukan sesuatu?” Bisikku kepadanya.

“Tenang saja, Ojii-chan! Aku kan punya alat ini.”

Sekali lagi, Mimi mengeluarkan sebuah alat dari dalam kotak ajaib miliknya.

“Oooh, alat itu!” Seruku ketika melihat alat yang dikeluarkan oleh Mimi.

“Ya, ini adalah Fix-Fix, alat yang dapat memperbaiki apapun.”

“Kalau begitu cepatlah, Mimi-chan. Aku tidak mau mood Hikari menjadi lebih buruk lagi.”

“Dengan senang hati, Ojii-chan.”

Mimi bergeser menjauh beberapa langkah dariku, lalu mengarahkan mulut alat berbentuk pistol di tangannya itu ke arahku.

Tentu saja, aku perlu perbaikan lebih dulu, lebih tepatnya pakaianku yang membutuhkannya. Pakaian seragamku sekarang sudah compang-camping tersobek sana-sini akibat ledakan tadi, dan bila tidak diperbaiki tentu saja aku tidak akan bisa pergi ke sekolah.

“Iku yo! Sore!”


ZUUUW!


Mimi menekan pelatuk pistol bernama Fix-Fix di tangannya itu, dan kemudian sebuah cahaya berwarna biru muncul dan bergerak ke arahku dengan cepat.

Aku sontak menutup kedua mataku, dan baru membukanya kembali beberapa saat setelahnya. Setelah kubuka kedua mataku lagi, kulihat pakaian seragamku telah kembali seperti semula, bahkan terlihat seperti pakaian yang baru saja dibeli.

“Sugeeeeeee!” Gumaku kagum akan kehebatan alat milik Mimi.

“Kalau kalian punya waktu untuk mengobrol, lebih baik kalian lakukan sesuatu untuk memperbaiki rumah ini kan?”

Hikari terdengar semakin marah karena aku telah membuatnya menunggu lama.

“Mimi-chan, segera perbaiki rumah ini.”

“Haaaaaai!”


ZUUUW!


Mimi kembali menembakkan cahaya biru dari pistol di tangannya, dan kali ini dia mengarahkannya ke arah reruntuhan rumah di sekitar kami.

Tidak lama kemudian, reruntuhan rumah yang tadinya berserakan tidak karuan kini mulai beterbangan kesana-kemari dan kembali menyatu satu sama lain. Dalam waktu yang singkat, rumah keluarga Kyoretsu akhirnya dapat kembali seperti semula dan sama sekali tidak ada bekas kalau rumah ini pernah hancur.

“Bagus juga alatmu, Mimi-san.” Puji Hikari sambil memandangi kondisi rumah yang telah diperbaiki oleh alat milik Mimi.

“Terima kasih banyak atas pujiannya, Hikari-chan.”

“Jangan panggil aku dengan nama seenaknya seperti itu!”

“Ma, maaf. . .”

“Hei! Hei! Kenapa kau justru memarahi Mimi-chan? Dia kan sudah ,-“

“Kau juga, kenapa masih ada di sini?”

“Apa maksudmu? Tentu saja, ini kan rumahku juga.”

“Bukan itu maksudku, bodoh! Lihat itu.”

Hikari menunjuk jam yang tergantung di dinding rumah dengan jari telunjuknya.

“Apa!? Sudah jam segini ternyata!”

“Karenanya, cepat pergi atau kau akan telat.”

“Tidak perlu bilang aku juga akan segera berangkat.”

Aku baru saja hendak melangkahkan kakiku untuk pergi, namun tiba-tiba ketika melihat Mimi langkahku seketika terhenti.

Benar juga, kalau aku dan Hikari berangkat sekolah pasti Mimi akan sendirian saja di rumah dan akan kesepian. Aku harus melakukan sesuatu agar itu tidak terjadi!

“Hikari, boleh kan aku mengajak Mimi-chan ke sekolah?”

“Hm? Jadi kau ingin dia sekolah bersamamu? Boleh-boleh saja, dan kurasa itu bukan sebuah ide yang buruk. Dia juga tidak punya kegiatan sama sekali kan.”

“Nah, kalau begitu ayo, Mimi-chan!”

“Tapi, Ojii-chan. . .” Kata Mimi masih ragu-ragu untuk menerima ajakanku.

“Sudahlah, ayo!” Kataku sambil menarik lengannya.

“Ittekimasu!”

“Itterasshai!”

Akhirnya kami berdua pun pergi menuju sekolah setelah melewati peristiwa aneh di pagi yang cerah ini.


***


“Cepat, Mimi-chan!”

“Iya, Ojii-chan, aku sedang berusaha.”

Kami berdua berlari melawan waktu berusaha agar tidak terlambat sampai ke sekolah.

Kulihat di jalan sudah sangat sepi, tidak ada satupun murid lain yang terlihat. Kalau begini keadaannya, rasanya berlari atau tidak pun hasilnya akan sama saja, kami tdak akan tiba tepat pada waktunya.

“La, Lavina?”

Tiba-tiba langkahku langsung terhenti ketika Lavina muncul di hadapanku dengan sikap santai.

Dia sama sekali tidak terlihat terburu-buru, padahal biasanya dia selalu berangkat lebih awal bila aku tidak bisa berangkat bersamanya karena tidak bisa bangun pagi.

“Mi-chan ~ Ohayou!”

“Ohayou apanya? Kita sudah hampir terlambat tapi kenapa kau bisa santai seperti itu?”

“Benarkah? Tapi bukannya masih ada setengah jam sebelum jam masuk sekolah?”

“Heeee? Benarkah? Tapi di rumahku. . .”


***


Hikari memandangi jam dinding dengan seksama, lalu dia tiba-tiba seakan teringat akan sesuatu.

“Ah! Aku lupa! Aku kan tidak sengaja salah mengatur jam ketika mengganti baterainya.”

Hikari kemudian tertawa ketika mengingat kakaknya yang terburu-buru pergi ke sekolah.

“Biarlah, sesekali Onii-chan juga harus berangkat lebih pagi dari biasanya.” Ujarnya sambil berjalan keluar rumah.

“Ittekimasuuu.” Ujarnya seraya menutup pintu rumah, lalu dia pun pergi menuju ke sekolah.


***


“Hikari, pasti dia. . . Awas saja nanti!” Ujarku dengan kesal.

“Oh iya, ngomong-ngomong siapa yang ada di sampingmu itu?” Bisik Lavina kepadaku.

Benar juga, ini pertama kalinya Lavina bertemu dengan Mimi. Untungnya aku telah siap dengan saat-saat seperti ini karena aku telah berlatih sebelumnya.

“Oh iya, perkenalkan ini adalah Mimi.”

“Mimi Kyoretsu desu, yoroshiku onegaishimasu” Ujar Mimi memperkenalkan dirinya.

“Heee. . . Kyoretsu, berarti dia itu saudaramu, Mi-chan?”

“Benar, kami adalah saudara, kami ,-“

“Lebih tepatnya aku adalah cu ,-“

Sesaat sebelum Mimi mengatakan tentang hubungan keluarga kami yang sebenarnya, aku langsung membekap mulutnya agar dia tidak bicara lebih jauh.

“Cu?”

“Cukup jauh maksudnya, kami ini tinggal cukup berjauhan, yak an Mimi-chan?”

Mimi hanya mengangguk karena tidak mampu bersuara akibat mulutnya kubekap.

Setelah kurasa aman, aku pun melepaskan bekapanku dari mulutnya..

“Jadi kau tinggal di luar kota ya, Mimi?”

“Begitulah.”

“Oh iya, perkenalkan juga, namaku Lavina Kuujo, salam kenal.”

“Ya, salam kenal juga, Lavina-san.”

“Jadi sedang apa kau di kota ini, Mimi?”

“Aku baru saja pindah dan sekarang aku tinggal bersama Oji, maksudku Mikan-kun dan juga Hikari-chan.” Jawab Mimi yang hampir saja melakukan kesalahan lagi.

“Heeee. . .”

Lavina mengarahkan pandangannya ke arahku.

“Ada apa dengan pandangan kecurigaan itu?”

“Kau tidak melakukan apapun kepadanya kan, Mi-chan?”

“Tentu saja tidak! Darimana pikiranmu itu datang? Mana mungkin aku melakukan sesuatu yang buruk pada anggota keluargaku.” Jawabku tegas.

“Aku cuma bercanda kok, hahaha.”

“Dasar kau ini, Lavina.”

Begitulah awal pertemuan Mimi dengan Lavina, sahabat masa kecilku.

Akhirnya kami bertiga pun kemudian melanjutkan perjalanan kami kembali menuju ke sekolah dengan mengobrol santai kesana-kemari.


***


“Hooo, jadi kau berniat untuk memasukkannya ke sekolah ini juga?”

“Ya, daripada dia tidak ada kerjaan di rumah sendirian, lebih baik aku memasukkan dia ke sekolah yang sama dengan kita kan?”

“Kau memang selalu perhatian dengan orang lain ya, Mi-chan.” Puji Lavina membuatku tersipu dan wajahku memerah.

“Sudahlah, jangan memujiku seperti itu.”

“Kau ini memang gampang sekali tersipu malu dan memerah, hahaha.”

“Apa boleh buat kan? Ini memang diriku yang biasanya.”

“Tapi pasti menyenangkan sekali kalau bisa bertambah teman di sekolah, apalagi itu adalah saudaranya Mi-chan.” Kata Lavina sambil tersenyum pada Mimi.

“Terima kasih.” Ucap Mimi yang nampak tersipu.

“Oi, mirou! Kawaii na.”

“Hontou da! Kawaii. . .”

Sesampainya di sekolah, kami segera disambut dengan bisik-bisik para murid lain yang membicarakan tentang Mimi.

Ya, Mimi. Kenapa? Karena tidak ada yang lain lagi di antara kami bertiga yang dapat menjadi topik pembicaraan para siswa.

Awalnya aku memang merasa terganggu dengan pembicaraan mereka, namun setelah kupikir-pikir wajar bila mereka membicarakan Mimi. Hari ini dia memang terlihat cukup kawaii dengan pakaian yang dikenakannya sekarang, berbeda sekali dengan pakaian aneh yang kemarin dipakainya.

“Ne, ne, ne, Mimi ternyata sudah popular ya meskipun belum pindah ke sekolah ini.”

“Tidak begitu juga.” Kata Mimi dengan wajah yang memerah.

“Apa boleh buat, Mimi-chan hari ini terlihat kawaii sih. . .” Kataku memujinya.

Mimi terlihat semakin tersipu malu dan wajahnya semakin memerah lebih dari sebelumnya.

“A, Arigatou, Oji, iie, Mikan-kun.”

Dari sekian banyak pilihan kata, hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.

“Oh iya, kalau begitu sampai di sini saja, selanjutnya aku akan urus sendiri.” Ujar Mimi tiba-tiba ketika kami bertiga baru saja memasuki gedung sekolah.

“Kau yakin bisa mengurus kepindahanmu sendiri ke sini?” Tanyaku yang masih ragu.

“Aku juga bisa mengurus kepindahanku ke kota ini kan, jadi tidak perlu khawatir, Mikan-kun.”

“Sou ka, kalau begitu berjuang dan semoga diterima.”

“Semoga berhasil, Mimi.”

“Hm, ganbarimasu! Kalau begitu aku permisi dulu.”

Mimi kemudian berjalan pergi meninggalkanku dan Lavina dengan langkah yang penuh percaya diri. Dia memang anak yang sangat bersemangat ketika melakukan segala sesuatunya, sungguh sangat berbeda denganku meskipun katanya aku adalah nenek moyangnya.

“Apa dia benar-benar akan baik-baik saja ya?” Gumamku dengan perasaan yang masih agak cemas membiarkan Mimi pergi sendiri.

“Keluarga harus saling percaya kan?”

Ucapan Lavina membuatku terdiam beberapa saat.

“Benar juga katamu, Lavina. Sebagai keluarga, aku harus mempercayainya.”

Kami berdua pun akhirnya terus berjalan menuju ke kelas kami dan bersiap untuk memulai pelajaran jam pertama.


***


“Kau bisa memulai hari pertama besok, mengerti?”

“Hai, wakarimashita. Kalu begitu permisi.”

“Ya, berjuang untuk hari pertamamu besok.”

“Hai, ganbarimasu.”

Aku keluar dari ruangan kepala sekolah dengan perasaan lega karena aku telah berhasil diterima di sekolah ini, sekolah yang sama dengan Ojii-chan.

Oh iya, perkenalkan namaku adalah Mimi. Aku datang dari masa depan untuk membantu Ojii-chan dalam urusan percintaannya karena dia payah dalam hal itu. Di bagian ini aku akan menggantikan tugas Ojii-chan untuk sementara sebagai narrator karena dia sedang sibuk belajar di kelas. Yoroshiku ne!

Saking leganya, aku terus berjalan di lorong sekolah tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingku, dan tanpa aku sadari dari arah yang berlawanan seseorang tengah berjalan ke arahku.


BRUK!


Kami berdua bertabrakan dan membuat buku yang dibawa orang itu berserakan di lantai.

“Ma, maaf, aku sama sekali tidak memperhatikan jalan.” Ucapku meminta maaf.

“Tidak apa-apa, salahku juga yang membawa buku terlalu banyak sehingga tidak bisa melihat ke depan dengan jelas.”

Orang itu segera membereskan bukunya yang berantakan di lantai. Aku pun berusaha untuk membantunya karena merasa bertanggungjawab, dan di sana aku akhirnya aku dapat melihat wajah orang ini dengan jelas.

Aku langsung kaget begitu mengetahui siapa orang yang baru saja kutabrak ini. Tidak pernah kusangka sama sekali dapat bertemu dengan dia di tempat dan keadaan seperti ini.

“Oh iya, perkenalkan aku Ryuji Mitsuragi.” Ujar gadis di depanku ini memperkenalkan diri.

Ternyata memang benar dugaanku, dia adalah nenek moyangku yang lain. Dia adalah orang yang ditakdirkan berjodoh dengan Ojii-chan. Biasanya aku hanya melihat wajahnya di buku silsilah keluarga saja, namun kini aku dapat bertatap muka langsung dengannya.

“Namaku Mimi, salam kenal juga.” Ujarku sembari membantunya merapihkan buku-bukunya.

Setelah selesai membereskan semua buku yang berserakan di lantai, aku memutuskan untuk menemaninya pergi ke perpustakaan dan membawakan sebagian bukunya sebagai permintaan maaf dariku.

Begitu kami telah mengembalikan semua buku yang kami bawa, kami berdua pun memutuskan untuk beristirahat di salah satu bangku yang berada di taman sekolah.

“Jadi, kau baru saja pindah ke sini?” Tanya Ryuuji Baa-chan membuka perbincangan kami lagi yang sebelumnya sempat tertunda.

“Begitulah, aku sekarang tinggal bersama dengan saudara sepupuku.”

“Jadi begitu. . .”

“Hm, kau juga pasti kenal dengan sepupuku itu.”

“Benarkah? Memangnya siapa namanya?”

“Mikan, Mikan Kyoretsu.”

“Ah, jadi orang itu ya.”

Mendadak nada bicara Ryuuji Baa-chan berubah ketika aku mulai membicarakan tentang Ojii-chan.

“Kau harus berhati-hati dengan orang itu.”

“Memangnya kenapa?”

“Biarpun dia saudaramu, tapi aku tidak yakin apakah dia bisa menahan diri atau tidak terhadapmu.”

“Kau nampaknya tidak terlalu suka kepadanya ya?”

“Kalau iya memangnya kenapa!?” Jawabnya dengan kasar.

“Ma, maaf.”

Dia sepertinya tidak terlalu suka dengan Ojii-chan, dan itu berarti perjuanganku untuk menyatukan mereka akan semakin berat.

“Ah, maafkan aku. Aku memang mudah sekali terbawa suasana. Sekali lagi maafkan aku, Mimi-san.”

“Iya, tidak apa-apa kok.”

Kami berdua diam selama beberapa saat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kami berdua bingung untuk kembali memulai percakapan karena mood yang tidak baik barusan.

“Anooo, jadi kau suka membaca buku?”

“Ah, tentu saja. Aku suka sekali membaca buku.”

“Jadi, buku apa saja yang kau suka?”

“Cukup banyak, tapi aku paling suka dengan novel karena akhir-akhir ini banyak cerita yang bagus. Koleksiku di rumah juga cukup banyak, dan sesekali aku juga membaca manga.”

Kami berdua akhirnya kembali mendapatkan mood dalam perbincangan kami. Kami pun terus mengobrol hingga akhirnya bel jam pelajaran selanjutnya berbunyi dan memanggil Ryuuji Baa-chan.


RING DING DING!


“Bel nampaknya telah berbunyi, aku harus segera kembali ke kelas. Terima kasih atas bantuan dan obrolannya barusan.”

“Aku juga berterimakasih karena kau sudah mau jadi teman bicaraku.”

“Kalau begitu permisi.”

“Hm.”

Ryuuji Baa-chan berjalan pergi dari hadapanku sambil melambaikan tangannya.

“Mata ashita ne!”

“Hai, mata ashita!”

Beberapa saat kemudian, Ryuuji Baa-chan telah menghilang dari pandanganku.

“Buku ya. . . Sepertinya aku punya ide bagus!” Seruku dengan gembira.

“Aku harus pastikan Ojii-chan mendengar ideku ini.”

Aku pun kemudian berjalan pulang dengan langkah riang dan senyum yang mengembang.

Begitulah aku melalui hari pertamaku di sekolah Ojii-chan.


***


Selamat sore, kembali lagi bersamaku, Mikan Kyoretsu sebagai narator dalam cerita ini.

Siang tadi selama aku sedang melaksanakan kewajibanku belajar di sekolah, Mimi menggantikan posisiku sebagai narator. Aku berharap dia sama sekali tidak mengatakan hal yang aneh kepada kalian, karena dari awal yang bertugas sebagai narator dalam cerita ini adalah aku, bukan dia.

Sore ini kami berdua tengah menonton drama sore favorit Mimi. Dia bilang bahwa semenjak mengamati diriku dari dalam kapsul, dia sering menonton acara-acara TV di zaman ini. Kebetulan saat sedang bosan dia menemukan drama sore yang menarik dan akhirnya dia ketagihan untuk terus menontonnya, dan bahkan tidak mau melewatkan setiap episodenya.

“Ne, Ojii-chan. Kau tahu siapa yang aku temui ketika berada di sekolah siang ini?” Tanyanya ketika TV tengah menayangkan iklan.

“Mana mungkin aku tahu, aku kan sama sekali tidak bertemu denganmu lagi di sekolah setelah kita berpisah pagi ini.” Jawabku malas.

“Tapi kau pasti kaget kalau mengetahuinya.”

Cara bicara Mimi menunjukkan bahwa dia menyimpan sesuatu yang menarik untukku di balik kata-kata yang penuh teka-teki itu. Aku mulai merasa tertarik dengan arah pembicaraan ini.

“Memangnya siapa yang kau temui, Mimi-chan?”

“Ryuuji Baa-chan.”

Aku langsung terlonjak kaget ketika nama gadis yang kusukai itu disebut oleh Mimi.

“Ja, jadi kau bertemu dan mengobrol dengannya tadi siang?”

“Hm, kami bertemu secara tidak sengaja dan akhirnya mengobrol sampai bel jam pelajaran selanjutnya berbunyi.”

“Sou, sou ka. Lalu kalian bicara apa saja?”

“Banyak hal, tapi salah satunya membuatku memiliki ide untuk membantu Ojii-chan.”

“Ide? Apa maksudmu, Mimi-chan?”

“Dia bilang suka membaca buku terutama novel ,-“

“Jadi kau mau aku juga membaca novel agar dapat satu hobi dan bertukar pikiran dengannya?” Tanyaku menyela penjelasan Mimi.

“Dengarkan dulu penjelasanku, Ojii-chan. Setelah kupikir-pikir Ojii-chan dapat mengambil hatinya dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan hobi membacanya itu.”

“Maksudmu?”

“Membuat novel!” Seru Mimi dengan mata berkilauan.

“Apa? Tapi aku sama sekali tidak pernah membuat satu cerita pun, dan kalau pun memaksa untuk membuat aku pasti akan gagal.”

“Justru itulah aku ada di sini untuk membantu Ojii-chan.”

“Aku tidak mengerti maksudmu, Mimi-chan.”

“Tunggu, aku akan mengeluarkan sesuatu yang bagus.”

Mimi kemudian mengeluarkan kotak ajaibnya, dan mengambil suatu alat dari dalam sana.

Tidak lama kemudian, suatu robot berbentuk mirip lalat dengan ukuran sebesar sepatu muncul dalam genggaman Mimi. Dia menunjukkan robot itu dengan jelas ke depan wajahku.

“Apa ini?”

“Ini adalah Fly-Fly, sebuah robot yang didesain untuk mengambil suatu pikiran atau ide dari otak seseorang dan mentransferkannya kepada orang lain.” Jelasnya dengan lancar.

“Aku masih belum mengerti dengan penjelasanmu, Mimi-chan.”

“Apa boleh buat, Ojii-chan pasti akan segera mengerti kalau aku sudah menyalakan robot ini.”


PIP!


Mimi menekan sebuah tombol di bagian belakang robot berbentuk lalat tersebut. Mata robot yang berwarna merah terang pun menyala, tapi kemudian warna matanya itu perlahan-lahan berubah menjadi hijau.

“Release!”

Robot lalat itu terbang dari tangan Mimi menuju keluar rumah dengan melewati jendela.

“Kemana robot itu pergi?” Tanyaku penasaran.

“Robot itu sekarang tengah pergi melakukan tugasnya, mengumpulkan ide dari orang-orang yang berada di dekat sini. Dia akan kembali beberapa saat lagi, jadi tunggu saja.”

Mimi kembali duduk di depan TV ketika drama sore kesayangannya dimulai.

“Sou, aku masih belum terlalu mengerti tapi baiklah.”

Aku pun kembali duduk di kursi dan ikut menonton bersama dengan Mimi.

Waktu berlalu dengan cukup cepat dan akhirnya drama sore yang kami tonton pun telah selesai.

“Ah, rasanya sudah saatnya Fly-Fly kembali.” Gumam Mimi.

“Tapi aku masih belum melihat tanda-tanda ,-“

“Awaaaas!” Seru Mimi sambil melompat ke arahku.


BRUK!


Mimi jatuh menindihku dengan posisi kepala kami berada menempel di lantai, sementara kaki kami tetap menggantung di kursi yang tadi aku duduki.

Posisi kami yang seperti ini jujur saja membuatku sangat gugup, begitu pula dengan Mimi. Kami tidak bicara selama beberapa saat karena masih kikuk dengan keadaan kami sekarang ini.

“A, ada apa Mimi-chan?” Tanyaku dengan gugup.

“A, a, aku cuma ingin melindungi Ojii-chan.”


DEG!


Jantungku berdetak dengan lebih cepat. Ada apa ini sebenarnya? Bukankah Mimi adalah keluargaku dari masa depan? Tapi kenapa aku justru merasakan hal yang lain? Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan.

“Aku cuma ingin melindungi Ojii-chan dari Fly-Fly yang hampir menabrak Ojii-chan saja kok, hehe.” Tambah Mimi sambil berusaha berdiri dengan wajah polosnya.

Robot lalat milik Mimi ternyata sudah kembali dan kini terbang di atas kami berdua. Aku mengerti sekarang alasan Mimi melompat ke arahku dengan tiba-tiba.

Haaaaah, ternyata memang hanya aku yang berpikiran lain tentang situasi barusan. Aku memang benar-benar payah. Aku sama sekali tidak bisa mengontrol perasaanku, bahkan terhadap keluargaku sendiri.

“Fly-Fly sudah kembali dan nampaknya dia telah membawa beberapa ide bagus.”

Mimi meraih robot lalat yang masih terbang itu dan menggenggamnya dengan erat.

“Sekarang, charge and up!” Perintah Mimi seraya melepaskan robot itu.

Robot lalat itu kemudian terbang ke arahku dengan mata hijau yang menyala terang. Setelah tepat berada di atasku, robot itu menyinariku dengan sebuah sinar berwarna merah.

“Apa ini?”

“Tunggu saja sebentar lagi, Ojii-chan pasti akan segera tahu.”

Tanpa banyak protes aku pun menuruti perintah Mimi dan hanya menunggu hingga robot lalat yang terbang di atas kepalaku ini selesai menyinariku.

“Bagaimana, Ojii-chan? Apa ada yang Ojii-chan rasakan?”

“Hmm, bagaimana harus mengatakannya, tapi kepalaku rasanya sekarang dipenuhi oleh ide-ide baru, rasanya seperti sedang di-refresh.”

“Yatta! Ternyata Fly-Fly bekerja dengan baik.” Ucap Mimi dengan senang.

“Hmm. . . Mimi boleh aku pinjam robot ini sebentar?”

“Untuk apa?”

“Aku jadi terpikir sesuatu yang hebat, pokoknya pinjamkan saja, ya?” Pintaku.

“Kalau begitu baiklah. Fly-Fly, new master identification, start!”

Robot lalat bernama Fly-Fly itu kembali menyinariku, namun kali ini dia menyorot seluruh bagian tubuhku dari atas hingga bawah tanpa terlewat.

Setelah selesai dengan pengidentifikasian, robot itu berkedip dengan merubah warna matanya dari hijau menjadi merah selama beberapa kali.

“Hai, silahkan perintah dia sesukamu, Ojii-chan.”

“Arigatou, Mimi-chan.”

“Hm!”

“Jaa, Fly-Fly, tolong pergi dan kumpulkan seluruh ide dari semua penduduk kota!” Perintahku dengan lantang.

Robot itu menanggapi perintahku dengan mengedipkan matanya lagi beberapa kali, lalu akhirnya robot itu pun pergi keluar rumah melalui jendela seperti saat dia keluar pertama kali.

“Anoooo, Ojii-chan. . . “

“Ada apa, Mimi-chan?”

“Apa mengumpulkan ide dari seluruh penduduk itu tidak terlalu banyak?”

“Jangan khawatir! Aku pasti akan kuat untuk menampungnya.”

“Bukan begitu maksudku, tapi ,-“

“Sama seperti yang Lavina bilang tadi pagi, kau juga harus mempercayai anggota keluargamu yang lain agar dapat saling mengerti.”

Kata-kataku tersebut membuat Mimi terdiam sesaat.

“Ya, aku mengerti.”

“Nah, kalau begitu sambil menunggunya pulang, ayo kita mandi bersama!” Ajakku.

Mimi nampak terkejut dengan ajakanku. Mukanya langsung memerah dan dia menjadi salah tingkah karenanya.

“Tapi Ojii-chan, aku masih belum ,-“

“Aku cuma bercanda kok, Mimi-chan.”

“Eh? Benarkah? Kalau begitu bagus. . .” Kata Mimi asal bicara.

“Tentu saja. Hikari pasti akan marah kalau aku benar-benar melakukannya.”

Begitulah kami berdua melewatkan sore hari kali ini.


***


“Kalau begitu aku pergi tidur duluan, Hikari.” Ujarku setelah melahap habis makan malamku.

“Tentang tidur dan bermalas-malasan kau memang sangat cepat.” Komentar Hikari.

“Bukan begitu, tapi hari ini memang benar-benar melelahkan.”

“Hai, hai, Oyasumi. . . Onii-chan.” Ucapnya dengan suara kecil hingga aku tak bisa mendengarnya.

“Hm? Kau bilang apa tadi?”

“Tidak ada apa-apa, cepat tidur sana, baka!”

“Kau memang selalu seperti itu.”

“Oyasuminasai, Ojii-chan.”

“Oyasumi, Mimi-chan.”

Sehabis berpamitan dengan mereka berdua, aku melangkahkan kakiku kembali ke kamar dengan langkah yang malas akibat terlalu lelah dan perut yang penuh makanan.

Hari ini memang benar-benar melelahkan, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Yah, tapi bila aku tahu apa yang akan terjadi, hidup ini tidak akan pernah menjadi menarik.

Sesampainya di kamar aku tak langsung berbaring di tempat tidur, melainkan aku membuka jendela kamarku.

“Malam ini pun langit penuh bintang, semoga saja besok ada hal bagus yang terjadi.” Kataku penuh harap sambil menatap langit malam yang bertabur bintang.


***


“Ne, Hikari-chan, aku ingin bertanya kepadamu.”

“Sudah bilang kan berhenti memanggilku dengan panggilan -chan itu!”

Hikari memandangku dengan pandang marah dan tidak suka seperti biasanya. Dia masih belum dapat menerima keberadaanku hingga sekarang, dan hanya memaksakan diri di depan Ojii-chan. Aku tak tahu alasannya, dan Itu membuatku merasa sedikit terganggu dan ingin memastikannya.

“Jadi apa yang ingin kau tanyakan?” Lanjut Hikari.

“Begini, ini memang tiba-tiba, tapi. . . tapi apa kau menyukai Ojii-chan?”

Hikari langsung terkejut mendengar pertanyaanku dan wajahnya langsung memerah serta tingkahnya seperti orang yang kebakaran jenggot. Dia menjadi kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

“Mana mungkin aku bisa suka dengan kakakku sendiri? Bodoh sekali.” Katanya seperti orang yang tengah dilanda kepanikan.

“Sou ka, jadi kau tidak suka ya?”

“Tentu saja, tidak!”

Ketika mendengar semua itu, entah aku harus merasa bahagia ataukah sedih. Namun di balik semua itu, paling tidak aku sekarang mengerti kenapa Hikari berusaha sekuat tenaga untuk menerima keberadaanku di depan Ojii-chan.


***


Tengah malam.

Di tengah kota, langit yang tadinya penuh dengan bintang yang bertaburan tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Awan hitam segera menyelimuti seluruh kota dengan cepat dan sesekali melontarkan kilat dan suara gemuruh yang keras dan menakutkan.

Sebuah lubang hitam berukuran besar kemudian muncul dan membelah awan-awan hitam di tengah kota itu. Perlahan-lahan sesuatu yang banyak jumlahnya mulai keluar dari sana dan memenuhi langit kota yang tadinya begitu tenang.


JDUAAAAR! JDUAAAAR!


BZZZZ!



Suara gemuruh petir yang begitu keras terdengar bercampur dengan suara lain. Ya, suara itu adalah suara lalat, namun bukan lalat biasa melainkan lalat robotik yang sama dengan milik Mimi. Jumlahnya pun kini bukan hanya satu, melainkan ada puluhan bahkan mencapat ratusan yang keluar dari lubang besar di tengah kota itu.

Tak lama kemudian, sebuah siluet besar muncul dan mengintip dari balik lubang tersebut dengan mata yang merah menyala.


BZZZZZ! BZZZZZZZZZ!


***


“Ojii-chan! Ojii-chan! Cepatlah bangun!”

Suara Mimi membangunkan di pagi hari.

Aku pun tidak punya pilihan lain selain bangun dengan malas sambil mengusap-usap pelupuk mataku sembari menguap lebar.

“Ohayou, Mimi-chan.”

“Ohayou apanya? Coba cepat lihat keluar, Ojii-chan!”

“Hm? Apa ada yang terjadi di luar sana?” Tanyaku dengan mata yang masih setengah tertutup.


SRAK!


Mimi membuka jendelaku tanpa peringatan sehingga cahaya matahari diluar langsung masuk dan membuatku silau.

“Mimi-chan, ini terlalu silau!” Keluhku.

“Cepat lihatlah keluar, Ojii-chan!” Perintah Mimi lagi.

“Hai, hai, memangnya apa yang terjadi di lu. . . ar?”

Aku terkejut bukan main ketika melihat pemandangan di luar rumahku.

Robot lalat yang sama seperti milik Mimi beterbangan di sana-sini dengan mata yang merah menyala. Sebagian ada yang hinggap di rumah-rumah ataupun tiang listrik, namun sebagian lagi nampak mengganggu para tetangga yang tengah menjalankan aktivitas paginya.

“Apa maksudnya dengan ini semua, Mimi-chan?”

“Memory Overload.”

Hanya dua patah kata itu yang keluar dari mulut Mimi, dan tentu saja itu tidak membuatku mengerti sama sekali.

“Jelasnya?” Tanyaku lagi.

“Fly-Fly adalah robot yang didesain untuk mengikuti semua perintah tuannya meskipun itu terlihat mustahil, oleh karena itu kemarin pun dia ingin melaksanakan perintah Ojii-chan yang sebenarnya mustahil untuk ukurannya, dan ,-“

“Singkatnya?” Tanyaku menyela penjelasan Mimi yang terlalu panjang dan berbelit-belit.

“Memori Fly-Fly tidak cukup untuk menampung semua ide penduduk kota, jadi dia menggunakan system nya untuk memanggil teman-temannya, tapi nampaknya systemnya telah error dan akhirnya malah jadi seperti ini.” Jelas Mimi.

“Sou ka, Jadi ini salahku ya. . .”

Seketika itu aku merasa langsung bersalah karena telah memberikan perintah kepada Fly-Fly kemarin sore. Perintah yang seharusnya tidak dapat dilakukan, namun robot itu justru memaksakannya dan membuat kekacauan seperti ini.

Aku seharusnya mendengarkan Mimi kemarin dan tidak berbuat seenaknya. Kalau sudah begini, aku tidak punya pilihan lain selain menghentikan seluruh kegilaan ini secepat mungkin yang aku bisa.

“Kalau begitu, kita harus segera menghentikannya!”

“Hm! Ayo kita segera bersiap-siap Ojii-chan!”

“Yooosh! Operasi pemusnahan serangga dimulai!”


***


Setelah berganti pakaian menjadi seragam sekolah, kami berdua pun segera turun untuk segera berangkat ketika kemudian Hikari menghentikan langkah kami.

“Tunggu dulu! Kalian mau kemana buru-buru seperti itu?” Tanyanya dengan pandangan curiga.

“Ah, kami harus pergi karena Mimi-chan ingin melihat-lihat sekolah lebih dahulu.”

“Benarkah itu, Mimi-san?”

“Hm! Kemarin aku belum sempat melihat sekolah secara keseluruhan, jadi hari ini aku ingin Ojii-chan menemaniku untuk melihat-lihat sekolah.”

Hikari kemudian mengalihkan pandangannya dari kami berdua sambil membereskan piring yang ada di meja makan. Kulihat Hikari kembali menyiapkan roti bakar untuk kami berdua, dan nampaknya dia kecewa karena tak ada satupun dari kami yang memakan roti-roti itu.

“Itadakimasu, ittekimasu!” Seruku sambil mengambil beberapa potong roti bakar itu, dan kemudian pergi menarik tangan Mimi untuk segera pergi.

”I, itterasshai.”

“Ini bagianmu Mimi-chan.”

Aku memberikan salah satu potongan roti bakar itu kepada Mimi setelah melepaskan tangannya, sementara aku melahap potongan lain.

“Arigatou. Itadakimasu.”

Mimi terlihat melahap potongan itu dengan wajah yang senang.

“Tapi, kondisi di sini memang sangat kacau ya?”

“Memang benar, kondisinya sudah sangat kacau.”

“Mereka telah mengabaikan tugasnya dan justru mengganggu para penduduk.”

Di hadapanku kini beberapa robot serupa Fly-Fly beterbangan kesana-kemari dengan bebas. Mereka nampak kacau dan konslet, sama seperti yang dikatakan Mimi, mereka mungkin sudah melewati batas kemampuan mereka.

“Ini harus segera dibereskan, ikuze, Mimi-chan!”

“Oooouu!”


***


“Memang siapa yang akan percaya dengan alasan seperti itu? Dasar bodoh!”

Hikari ternyata masih terus menyimpan perasaan curiga terhadap kakaknya dan Mimi.

Dia sedari pagi sama sekali belum keluar rumah dan belum menyadari kekacauan yang terjadi di luar sana sehingga dia masih nampak tenang, namun karena kecurigaannya akhirnya dia pun penasaran untuk mengintip apa yang terjadi di luar.

“Apa yang sebenarnya mereka ingin lakukan sih?”

Hikari membuka pintu depan rumahnya lalu melangkah keluar ke arah halaman.

“I, ini. . .” Ucap Hikari terbata-bata karena terkejut dengan pemandangan di luar rumah.

“ONII-CHAAAAAN!”


***


“Matte ne, Ojii-chan.”

“Ada apa? Apa ada masalah, Mimi-chan?”

“Apa Ojii-chan tidak mendengar teriakan seseorang?”

“Tentu saja aku mendengarnya, tapi mungkin itu cuma teriakan salah satu penduduk yang merasa terganggu dengan hadirnya robot-robot ini.” Jawabku cepat.

“Iya, pasti begitu.”

Kami berdua pun melanjutkan perjalanan kami menuju ke sekolah dengan terburu-buru.


***


Di tengah perjalanan, kami dihadang oleh banyak sekali robot lalat yang nampaknya ingin sekali menyerang kami.

“Sial! Mereka sama sekali tidak member kita kesempatan.” Umpatku kesal.

Salah satu robot itu mulai terbang mendekat ke arah kami berdua, namun dengan cepat aku menghajarnya dengan keras menggunakan tas sekolahku.


BUK! JDUUUM!


Robot itu pun melayang berputar-putar dan kemudian mengalami konslet dan meledak seketika.

“Rasakan! Itulah kekuatan dari Mikan Kyoretsu! Hahaha!”

“Ojii-chan, awas!” Seru Mimi mengejutkanku.

Sebuah robot kembali hendak menyerangku, kali ini dengan menggunakan lidah panjang beraliran listrik yang keluar dari bagian mulutnya. Robot itu hendak menjadikan senjata itu sebagai senjata untuk mencambukku dengan arus listrik tegangan tinggi.


BZZZZ! DOOM!


“Fyuuuh, untung saja.”

Aku berhasil menghindari serangan tersebut di saat terakhir, namun belum sempat menarik napas lega tiba-tiba aku melihat robot lain mendekati Mimi.

“Mimi-chan, berbahaya!” Seruku sambil berlari ke arahnya.

“Apa?”

Mimi tidak sempat menghindari karena sedari tadi terus menghkhawatirkanku. Kali ini giliranku untuk melindunginya.


ZZZZZZZ!


“Aaaargh!” Jeritku kesakitan ketika menerima serangan cambuk listrik itu.

“Ojii-chan! Kau tidak apa-apa?”

“Ki, kita harus segera pergi dari sini.”

Aku berusaha untuk berdiri dan melangkahkan kakiku, tapi tiba-tiba kakiku terasa mati rasa dan tidak dapat digerakkan. Keadaan itu membuatku hanya dapat jatuh terbaring tak berdaya.

‘Ojii-chan! Jangan terlalu memaksakan diri, kau nanti bisa terluka lebih parah.”

“Daijoubu, ini semua salahku jadi aku akan menanggung semuanya.”

“Tapi ini salahku juga karena aku yang mengusulkan untuk membuat novel, aku ,-“

“Jangan katakan apa-apa lagi! Kau tidak perlu menyalahkan diri sendiri.”

Sekali lagi, aku mencoba untuk berdiri. Mimi mencoba menahanku, tetapi keinginanku untuk bangkit sekarang lebih besar daripada rasa sakit yang dialami tubuhku. Oleh karena itu pulalah, aku dapat kembali berdiri tegak di hadapan para robot lalat sialan itu.

“Lihat kan! Aku ini baik-baik. . . saja.”


BRUK!


“Siaaaal! Aaaargh!” Ucapku kesal.

Ternyata aku masih belum terlalu kuat untuk berdiri dan hanya dapat bertahan selama beberapa saat saja. Aku kembali terbaring, dan Mimi berlari mendekatiku. Di saat yang sama, sebuah robot lalat terbang mengarah ke arah Mimi dengan cepat.

“Mimi-chan, berbahaya! Di sebelahmu. . .”

Mimi menoleh ke samping dan dapat melihat robot lalat itu menuju ke arahnya, namun sama sekali tidak ada kesempatan untuk menghindarinya.

Aku ingin sekali menolongnya, tapi apa yang dapat kulakukan dalam situasi seperti ini? Sial!

“Apa seperti sikap seorang laki-laki bila melihat perempuan dalam bahaya? Ck!”

Suara seorang gadis tiba-tiba menghamburkan seluruh pikiranku.

“Froze!” Seru gadis yang tiba-tiba muncul di hadapanku dan Mimi itu.

Oh iya, Mimi! Dia terlihat baik-baik saja, syukurlah. Robot yang tadi hendak menyerangnya kini kulihat berada dalam sebuah kekkai berbentuk kubus yang membuatnya tidak dapat bergerak.

“Crash!”


BOOM!


Kekkai yang mengurung robot itu tiba-tiba meledak dan mengubah robot di dalamnya menjadi serpihan-serpihan mesin kecil.

Gadis yang memakai pakaian seperti seorang mikko itu menoleh ke arahku. Awalnya dia akan marah, namun kemudian dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah.

“Hisashiburi ne, Mik-kun.”

Suara dan wajahnya, aku rasa pernah mendengar dan melihatnya di suatu tempat.

“Ada apa dengan wajah itu? Aku ini Aiko, masa kau sudah lupa?”

“Ah, tentu saja aku ingat! Kau Aiko Shimizu dari kuil yang ada di desa itu kan?”

“Hm! Ternyata kau masih mengingatku, baguslah.”

“Tapi sedang apa kau di sini dan barusan apa yang kau lakukan?”

“Aku ini sudah bertambah kuat tahu! Itu tadi kekuatanku, Heiwa Kekkai.”

“Heiwa Kekkai? Tapi kau belum menjawab pertanyaan pertamaku! Sedang apa kau di ,-“

“Akan kujawab pertanyaan itu setelah aku melenyapkan mereka dahulu.”


“Tunggu dulu, Aiko!” Seruku namun dia tidak mempedulikannya.

Aiko, gadis mikko yang berasal dari desa itu maju menghadapi belasan robot lalat yang siap menyeranganya kapan saja. Dia meninggalkanku dengan beberapa pertanyaan yang masih tertinggal di benakku.

“Aku akan menyegel kalian semua sekarang juga, bersiaplah.”

Aiko menggerakkan jari-jari tangannya dengan lincah. Sepertinya dia tengah membuat suatu segel yang tidak aku mengerti untuk membuat kekkai seperti barusan.

Aku meninggalkan pandanganku dari arah Aiko dan menoleh ke arah Mimi. Dia nampak masih dalam keadaannya semula, dia masih terduduk di sana sembari memandang ke arah Aiko yang tengah melawan para robot lalat.

Aku yang mulai merasa bosan karena terus diam saja, dan karena tubuhku sudah mulai dapat digerakkan kembali, aku pun kembali mencoba berdiri dan berhasil.

“Jangan hanya diam saja, ayo kita juga bergerak Mimi-chan!”

Aku menarik lengan Mimi untuk ikut membantu Aiko melawan para robot lalat, namun baru saja kami berdua mencoba mendekat, sesuatu yang hebat kemudian terjadi.

“Heiwa Kekkai: Dekai Hako!”

Bersamaan dengan seruan Aiko itu, sebuah kekkai besar berbentuk kotak muncul di hadapan kami dan memenjarakan seluruh robot lalat yang beterbangan di sekitar kami bertiga.

“Sudah kubilang kan, Mik-kun? Aku ini sudah bertambah kuat sejak terakhir kita bertemu.”

Aiko tersenyum tanpa menoleh ke arahku, namun aku dapat melihatnya sekilas. Aku ingat kalau senyuman itu adalah senyuman yang sama dengan saat kami berdua berpisah.


***


“Mik-kun! Mik-kun! Coba lihat ke sini!”

Aku terdiam tak menanggapi suara gadis kecil yang berpakaian seperti seorang mikko di hadapanku.

Aku memiliki sesuatu yang ingin kukatakan tapi aku sendiri tidak sanggup untuk mengatakannya.

“Mik-kun, ada apa?” Tanya gadis kecil itu yang heran dengan kediamanku.

“Ano, sono, sebenarnya ada yang ingin kukatakan kepadamu, Ai-chan.”

“Hm? Apa yang ingin kau katakana, Mik-kun?”

“Aku. . . Aku akan segera pulang ke kota.”

Gadis itu langsung terdiam, nampaknya dia sangat terkejut dengan kata-kataku.

“Begitu ya, padahal aku kira kita bisa lebih lama di sini. . .” Ucapnya sedih.

“Ma, maafkan aku yang tidak bilang sebelumnya, tapi tidak ada pilihan lain.”

“Ng, tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tahu kalau tempat tinggalmu yang sebenarnya bukanlah di sini, jadi pergilah dan jangan khawatirkan aku.” Katanya seraya melemparkan senyum kepadaku.

“Aku berjanji kalau kita bertemu lagi kita pasti akan selalu bersama!” Seruku kepadanya dengan suara keras.

Senyuman di wajah gadis itu kemudian terus mengembang, namun sejujurnya aku tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu. Yang paling penting adalah aku dapat melihat senyumannya itu sebelum pergi untuk yang terakhir kali.

“Aku juga berjanji akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.”

“Hm! Kalau begitu ini janji ya?” Kataku sambil mengulurkan jari kelingkingku kepadanya.

Gadis itu menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya sendiri ke jari kelingkingku tanpa melepas senyumnya. Tak lama setelah itu, kami pun berpisah dan tak pernah bertemu lagi.


***


“Ojii-chan, awas!”

Mimi tiba-tiba mendorongku hingga kami berdua jatuh.

Aku yang sedari tadi melamun mengingat masa lalu tentu saja kaget dengan apa yang dilakukan oleh Mimi itu.

“Eh? Eh? Ada apa?”


DOOM!


Kekkai besar di depan kami meledak dengan dahsyatnya. Robot-robot lalat yang tadi terperangkap di dalamnya pun kini telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil yang menghujani jalanan. Di saat yang sama, aku melihat seorang gadis yang dulu pernah bersamaku kini kembali hadir di hadapanku setelah sekian lama.

“Cepatlah pergi, aku akan mengurus keadaan di sini.”

“Eh, tapi kau belum menjawab pertanyaanku kan?”

“Tujuanmu sebenarnya bukanlah untuk bertemu denganku kan? Jadi cepatlah pergi!”

“Tapi kita baru saja bertemu, paling tidak ayo pergi bersama.” Ajakku kepadanya.

Aiko mendekat ke arahku, lalu dia menamparku dengan keras.


PLAK!


“Ke. . . Kenapa?” Tanyaku bingung.

“Itu untuk meninggalkanku sendirian, dan ini. . .”

Aiko semakin mendekatkan dirinya kepadaku seakan-akan hendak memelukku. Keadaan seperti ini jujur saja membuatku sangat gugup.

Aku baru saja kembali bertemu dengan sahabat kecilku dulu, namun kini kami sudah berada sedekat ini. Semuanya ini begitu tiba-tiba, dan hatiku masih belum sanggup untuk menerimanya.

“Eh? A-apa ini?” Tanyaku lagi.

Aiko menggenggam kerah bajuku dan kemudian melemparkanku ke udara dengan keras.

“Berjuanglah!” Serunya.

“Eh? Eeeh? Aku. . . terbang!” Seruku.

Aku melihat Aiko tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.

Tidak ada pilihan lain, “Baiklah! Aku akan berjuang!” Sahutku dengan suara keras.

“Tunggu, Ojii, Mikan-kun!”

Kulihat Mimi berlari dengan tergesa-gesa mengejarku.

Tak berapa lama kemudian, kami berdua pun menghilang dari hadapan Aiko, dan Aiko pun lenyap dari pandangan kami berdua.


***


“Pergi! Hush! Hush!” Seruku sambil memukuli para robot lalat yang kutemui selagi aku melesat terbang di udara.

“Taku, sejauh mana aku akan terbang? Aku sudah terbang sejauh ini tapi sama sekali belum berhenti, Aiko memang sudah benar-benar jadi kuat sekarang.” Gumamku yang mulai lelah karena sedari tadi belum kunjung mendarat di suatu tempat.

“Hm? Tunggu, di depanku itu kan ,-“

Aku melihat bangunan di depanku dengan seksama, itu adalah sekolahku.

“Syukurlah, berarti aku akan sampai di sekolah tanpa masalah. . .”

Aku terdiam dengan senang sembari menunggu diriku tiba di sekolah seperti tujuanku semula.

“Tunggu dulu! Kalau aku ke sekolah dengan cara begini aku pasti akan menabrak!”

Tubuhku terus melaju ke arah gedung sekolah lantai tiga di mana kelasku berada. Aku berusaha menghentikannya agar tidak menabrak, namun tetap saja tidak ada hasilnya dan tubuhku terus melesat dengan cepat.

“Ga. . . Gawaaaat! Hwaaaa!”


PRAAANG!


Aku menabrak jendela gedung lantai tiga dan terlempar di lorong dengan cukup keras.

“Hm? Aku masih belum mati kan?”

Keadaanku ternyata masih baik-baik saja meskipun telah mengalami tabrakan yang cukup hebat, bahkan hampir tidak ada luka berarti yang kualami.

“Yah, paling tidak aku bersyukur karena tidak harus menggunakan tangga.”

“Ojii-chan, kau tidak apa-apa?” Tanya Mimi yang tiba-tiba muncul di luar gedung lantai tiga.

“Uwaaa! Mimi-chan! Bagaimana kau bisa ke tempat setinggi ini?”

“Tentu saja dengan menggunakan ini.”

Mimi masuk ke dalam gedung sambil melayang. Dia rupanya memakai sebuah sepatu roket yang dapat membantunya menggapai tempat-tempat tinggi, mungkin itu adalah salah satu alatnya yang lain.

“Hei! Hei! Hei! Jangan buat keributan di lorong sekolah!”

Sebuah suara keras segera mengalihkan perhatianku dari alat yang dikenakan Mimi.

Seorang gadis yang memakai seragam yang sama denganku kemudian muncul dengan membawa pedang kayu dan melesat ke arahku. Aku sungguh kaget dan sama sekali tidak bisa menghindarinya.


SRAAASH!


“Apa yang kau lakukan, Kyoretsu! Berdiri dan bertingkahlah seperti seorang laki-laki!”

Suara itu, wajah tadi, dan pedang kayu yang selalu dibawanya tiap saat, tidak salah lagi, gadis tadi pasti adalah Hazuki Wataru.

Hazuki Wataru, dia adalah seniorku di sekolah ini dan dia menjabat sebagai ketua OSIS. Kebiasaannya adalah membawa pedang kayu kemanapun dia pergi, katanya dia memerlukannya untuk menghukum siswa yang membuat pelanggaran di sekolah, tapi di balik semua itu tidak pernah ada yang tahu untuk apa dia selalu membawa benda itu.

Hazuki-senpai dulunya saat masih SMP adalah seorang atlit kendo dan bahkan dia menjadi ketua klub kendo di sekolah. Kemampuan kendonya tidak perlu diragukan, bahkan orang-orang bilang kemampuannya setara dengan atlet provinsi. Semua orang begitu mengaguminya, namun banyak yang kecewa karena pada saat SMA dia lebih memilih menjadi seorang ketua OSIS daripada seorang atlet kendo professional.

“Haaaah, Hazuki-chan, kau harus lebih lembut lagi memperlakukan orang lain.” Sebuah suara lain kemudian muncul dari belakangku.

Seorang anak laki-laki memakai kacamata dengan tipikal wajah yang tenang muncul di hadapanku. Dia adalah Hanzo Masamune, sang wakil ketua OSIS yang selalu berada di samping Hazuki-senpai kemanapun dia pergi. Di balik sikapnya yang tenang, beredar rumor bahwa dia adalah seseorang yang sangat menakutkan, dan bahkan memiliki kemampuan yang jauh melebihi Hazuki-senpai. Orang-orang mengatakan bahwa karena alasan itulah Masamune-senpai menjadi satu-satunya orang yang disegani oleh Hazuki-senpai di sekolah ini.

“Lembut atau tidaknya aku menentukan sifat anak-anak di sekolah ini, jadi kalau aku tidak keras pada mereka, pasti mereka hanya akan menjadi berandalan saja!”

“Apa boleh buat, kau memang selalu bersemangat, Hazuki-chan.”

Hazuki-senpai menoleh ke arahku dan memandangku dengan tatapan menyeramkan.

“A-ada apa, Kaichou?”

“Kau pasti anak baru ya?”

“Eh? Apa kau tidak mengenaliku?”

“Bukan kau, tapi dia!” Ujarnya sambil menunjuk Mimi dengan pedang kayunya.

“O-oh, iya dia memang anak baru, dia saudara jauhku.” Jelasku padanya.

“Mimi desu, yoroshiku onegaishimasu.” Kata Mimi memperkenalkan dirinya pada Hazuki-senpai.

Hazuki-senpai mendekati Mimi dan mulai memandanginya dengan seksama dari atas hingga ke bagian paling bawah.

“Kau tidak diapa-apakan olehnya kan, Mimi-san?”

“Mana mungkin kan!” Kataku dengan tegas.

“Hooo, jadi kau sudah mulai bisa bertanggung jawab dengan orang lain ya?” Tanya Hazuki-senpai sambil menekankan ujung pedang kayunya ke daguku dengan agak keras.

“Sudah pasti kan! Aku ini orang yang bertanggungjawab, bahkan dengan kejadian ini sekalipun.”

“Hm? Apa kau bilang?”

Sial! Aku keceplosan bicara soal kekacauan yang kusebabkan ini. Ini bisa gawat kalau sampai Hazuki-senpai tahu dan dia menghukumku, karena yang kutahu para siswa yang kena hukumannya tidak akan pernah mau menerima hukumannya lagi untuk yang kedua kali.

“A-ah, tidak kok, maksudku biarpun ini bukan salahku, tapi aku akan tetap bertanggungjawab.” Jawabku berusaha berkelit.

“Hooo, jadi begitu ya, kalau begitu apa boleh buat. . .”

“Haaah, untung saja. . .” Desahku lega.

“Tapi kau terlibat ataupun tidak, aku akan tetap menghukummu karena kau sudah masuk dengan paksa dengan cara memecahkan jendela, bagaimana?”

“Itu sih mengaku tidak mengaku tetap saja sama!”

“Baiklah, aku mengaku kalau aku yang bertanggungjawab atas semua ini.”

“Akhirnya kau bisa jujur juga, berarti saatnya ,-“

“Tunggu dulu! Ini semua juga salahku, Ojii, maksudku Mikan-kun sama sekali tidak bersalah.” Ujar Mimi berusaha membelaku.

“Kau ternyata punya saudara yang baik juga ya, Mikan.” Puji Hazuki-senpai.

“Tapi, saudara yang baik saja tidak cukup untuk menghentikanku.” Lanjutnya seraya mengambil kuda-kuda dan bersiap untuk melayangkan sebuah serangan padaku dengan pedang kayunya.

Aku sontak menutup kedua mataku karena takut menerima serangan tersebut dengan keadaan mata terbuka.

“Tunggu dulu, Hazuki-chan. Ini bukan saatnya untuk menghukum seseorang.”

Aku sama sekali tidak merasakan sakit, dan bahkan pedang kayu milik Hazuki-senpai sama sekali tak menyentuh tubuhku. Kubuka kedua mataku, dan kemudian kudapati Masamune-senpai menahan sabetan pedang kayu Hazuki-senpai dengan tangan kosong. Dia benar-benar sungguh hebat.

“Apa boleh buat, akan kuurungkan hukuman untukmu.”

Hazuki-senpai menurunkan pedangnya dan bersikap lebih tenang.

“Haaah, aku selamat.” Desahku sekali lagi dengan begitu lega.

“Jadi bisa kan kami mendengarkan rencanamu soal pembasmian serangga ini?”

“Tentu saja bisa, Masamune-senpai.” Jawabku dengan tegas.


***


Di sebuah ruangan yang kosong, kami berempat pun mulai mendiskusikan rencana kami.

“Jadi seperti itulah, kami membutuhkan satu di antara robot lalat itu untuk rencana ini.” Jelas Mimi kepada aku dan yang lainnya.

“Lalu setelah itu kau bisa menaruh chip yang ada di tanganmu untuk mengetahui lokasi sang ratu berada, kan?” Kata Masamune-senpai yang langsung mengerti arah pembicaraan Mimi.

“Chotto matte! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kalian bicarakan.”

“Ah gomennasai. Mimi-chan, kalau begitu kau bisa jelaskan lagi untuk Hazuki-chan?”

“Hm! Jadi begini, kaichou-san. Robot lalat ini adalah tipe robot yang selalu kembali ke induk atau ratunya setiap sepuluh menit sekali untuk mengisi energi, dan kita bisa menggunakan itu untuk menghentikan mereka.” Jelas Mimi dengan rinci.

“Jadi maksudmu kau ingin menghentikan ratunya untuk menghentikan anak buahnya?”

“Hm! Seperti itulah, kaichou-san.”

“Heee. . . tapi kalau begitu kita perlu menangkap salah satu dari mereka, ya kan?”

“Tenang saja, Ojii, maksudku Mikan-kun, karena Fuku Kaichou-san akan membantu kita.”

“Tapi tunggu dulu! Ada satu hal yang ingin kutanyakan sebelum itu!” Seruku.

“Apa itu, Mikan?” Tanya Masamune-senpai.

“Kenapa kita semua rapat di ruang ganti perempuan!?”

“Tidak ada pilihan lain, kan? Karena sebagian anak perempuan tidak masuk hari ini, jadi kita hanya bisa menggunakan ruangan ini sebagai tempat rapat kita.” Jawab Masamune-senpai dengan wajah datar.

“A-a-ah, rasanya itu bukan sebuah alasan.”

“Benarkah kau akan melakukannya, Han-chan?” Tanya Hazuki-senpai tiba-tiba.

“Heeee. . . Han-chan!” Seruku dan Mimi secara bersamaan.

Kami merasa aneh karena baru kali ini kudengar Hazuki-senpai memanggil seseorang dengan begitu akrab, bahkan hingga memakai embel-embel -chan di belakang namanya.

“Apa masalahnya!? Bukan saatnya memikirkan itu kan!?”

“Sudahlah kalian bertiga, kata-kata Mimi-chan itu memang benar, aku akan melakukannya.”

“Tapi kondisi di luar berbahaya, aku tidak ingin kau sampai terlu ,-“


GREEEEK!


Pintu ruangan dibuka, dan Masamune-senpai pun keluar menuju lorong.

“Kena!” Teriaknya tak lama setelah keluar dari kelas.

Dia kemudian kembali dengan membawa salah satu robot lalat di tangannya sambil tersenyum.

“Mimi-chan, ini. Oh iya Hazuki-chan, kau tadi bilang apa?” Tanya Masamune-senpai sembari memberikan robot lalat di tangannya itu kepada Mimi.

“Aku tidak tahu!” Jawab Hazuki-senpai dengan wajah kesal dan merah padam.

Kulihat kemudian Mimi menempelkan sebuah chip di salah satu bagian tubuh robot lalat yang baru diterimanya itu, lalu dia kembali melepaskan robot itu lagi. Robot itu langsung terbang berputar-putar di dalam kelas, namun nampaknya dia tidak menyadari keberadaan kami berempat.

“Apa yang kau pasang di sana, Mimi-chan?” Tanyaku penasaran.

“Itu adalah chip yang dapat merusak radar penciumannya terhadap makhluk hidup, dan chip itu dapat pula berfungsi sebagai alat pelacak sehingga kita bisa melacaknya pergerakannya ketika dia kembali ke tempat ratunya.” Jelas Mimi sambil menunjukkan sebuah alat pelacak yang bentuknya mirip sebuah handphone kepadaku.

“Nah, apakah sudah saatnya kita keluar dari sini dan mengikutinya?” Ujar Masamune-senpai menawarkan.

“Tapi bagaimana caranya kita keluar dari sini sedangkan di luar banyak robot seperti ini berkeliaran?” Tanyaku.

“Tenang saja, kami akan melindungi kalian, ya kan Hazuki-chan?”

“A-a-ah, hm! Kami akan melindungi kalian berdua hingga menuju ke pintu keluar!”

“Baguslah, kalau begitu ayo segera berangkat!”

“Ooooooouuw!” Seru kami semua secara serempak.


GREEEK!


Pintu ruangan kembali terbuka, dan kami berempat segera keluar dengan penuh kewaspadaan.

“Siap?”

“Hm!”

“Strategy, go!”

Bersamaan dengan tanda dari Masamune-senpai itu, Hazuki-senpai dan Masamune-senpai sendiri maju melindungi kami dari serangan para robot lalat sambil terus bergerak menuju ke pintu keluar yang terletak di lantai satu.

“Minggiiir!” Seru Hazuki-senpai yang dengan begitu bersemangatnya menghancurkan para robot lalat yang menghalangi jalan kami dengan pedang kayunya.

Dia tidak henti-hentinya mengayunkan benda kesayangannya itu kesana-kemari, dan membuat robot-robot lalat di sekitar kami hancur berantakan.

Sementara itu Masamune-senpai terlihat begitu tenang menghadapi serbuan robot lalat. Dia nampak hanya memasang wajah tenang dan tidak terlalu banyak bergerak, namun begitu ada robot yang mendekati dirinya, entah mengapa robot itu langsung jatuh dan hancur dalam sekejap. Mungkin dia memang memiliki gerakan yang sangat cepat hingga mataku tak bisa mengikutinya, begitulah pikirku.

“Sebentar lagi kita akan tiba di pintu keluar, kalian berdua bersiaplah!”

Tak terasa akhirnya kami berempat pun hampir saja di tempat tujuan kami yaitu pintu keluar dari gedung sekolah di lantai satu.

“Bagaimana dengan robot lalat yang kita ikuti, Mimi-chan?”

“Tenang saja, Mikan-kun, dia masih belum berada jauh dari tempat ini.”

“Kalau begitu kita harus bergegas!”

“Kami berdua akan urus semuanya di sini, kalian pergilah!” Perintah Hazuki-senpai yang terus sibuk menebas para robot lalat yang terus saja datang tanpa henti.

“Baiklah, kami mengerti, kalau begitu kami tolong ya, Masamune-senpai, Kaichou juga!”

“Hm!” Jawab mereka berdua dengan menganggukkan kepala mereka.

“Ayo kita segera keluar dari sini, Mimi-chan!”

“Ya, Mikan-kun!”

“Haaaaaaaaaaaaaa!” Seruku sambil berlari ke arah pintu keluar dengan Mimi yang mengikutiku dari belakang.

“Berjuanglah, Mikan! Dan juga anak baru!”

Suara Hazuki-senpai yang berusaha menyemangati kami terdengar begitu kami berhasil keluar dari dalam gedung sekolah. Kami pun kini berada di halaman depan sekolah yang luas dan dikelilingi oleh banyak robot lalat.

“Bagaimana keadaannya sekarang, Mimi-chan?”

“Tidak salah lagi! Robot yang kupasangi chip ada di tengah-tengah kumpulan robot itu!”

Mimi menunjuk kumpulan besar robot lalat yang berada di hadapan kami.


BZZZZ! BZZZZZ! BZZZZ!


“Mereka nampak begitu ingin menyerang kita, ya kan?”

“Hm! Kita akan sangat sulit melewati mereka.”

“Jadi kau punya idea tau alat yang bagus, Mimi-chan?”

Mimi terdiam sejenak dan nampak berpikir. Beberapa saat dia terlihat senang karena berhasil menemukan sesuatu yang bagus.

“Aku tahu, Ojii-chan! Kita bisa memakai ini”

Mimi mengeluarkan Box-Box miliknya dan mengambil dua buah alat berbentuk pistol.

“Ini adalah senjata untuk melawan mereka, Gun-Gun!” Katanya memperkenalkan alatnya sambil menunjukkan dua buah alat berbentuk pistol itu kepadaku.

“Kalau kau punya senjata kenapa tidak sejak awal saja kau keluarkan!?” Tanyaku dengan kesal.

“Ma-maaf, Ojii-chan, aku benar-benar lupa, hehe.” Jawabnya dengan wajah polos.

Wajah polos itu membuatku tidah tega untuk memarahinya, apalagi aku memang tidak tahan dengan sesuatu yang terlihat begitu manis.

“Ya sudahlah, yang penting cepat berikan.”

“Haaaai! Silahkan, Ojii-chan.” Sahut Mimi sembari memberikan kedua belah pistol itu kepadaku.

Aku menerimanya dengan senang dan langsung bergaya ala film koboi dengan kedua pistol tersebut.

“Ayo kalahkan mereka!” Seruku seraya mulai menembak para robot lalat di hadapan kami berdua.


ZUW! ZUW! DOOM! DOOM!


Begitulah suara yang keluar ketika aku menembaki robot-robot lalat yang ada di sekitar kami dengan pistol laser yang kugenggam di tanganku ini. Mimi pun nampak ikut menembaki para robot lalat itu dengan menggunakan pistolnya sendiri.

“Oh iya, bagaimana kalau kita sampai salah menembak robot yang dipasangi chip?”

“Tenang saja, robot yang telah dipasangi chip itu akan secara otomatis memiliki pelindung, jadi kita tidak perlu ragu untuk menembak.”

“Kalau begitu, mari mengamuk di sini! Yeah!”

Akhirnya kami berdua pun terus menembaki semua robot lalat yang ada di halaman sekolah dengan membabi buta. Kami tidak peduli dengan apapun, yang paling penting kami dapat mengalahkan robot lalat sebanyak-banyaknya yang kami bisa.

“Itu dia! Dia mulai pergi lagi.” Seruku menunjuk salah satu robot lalat yang memiliki pelindung.

“Ayo ikuti dia, Ojii-chan.”

“Hm!”

Ketika baru saja hendak melangkah untuk mengikuti robot tersebut, dengan cepat robot-robot lalat yang lain berkumpul di depan kami dan membuat barikade agar kami tidak dapat lewat dengan mudah.

“Sial! Mereka benar-benar terorganisir dengan begitu baik.” Umpatku kesal.

“Aku tahu suatu cara untuk melewatinya, Ojii-chan.”

“Bagaimana caranya? Cepat beritahukan padaku!”

“Satukan kedua belah bagian Gun-Gun seperti ini, dan ubah menjadi versi shotgun.”

Mimi menyatukan kedua belah pistolnya dan mengubahnya ke dalam bentuk senapan shotgun.

“Jadi ada cara seperti itu ya? Baiklah aku juga akan mencobanya!”

Aku pun mengikuti apa yang dilakukan oleh Mimi dan menyatukan kedua belah pistol di tanganku hingga berubah menjadi bentuk senapan shotgun sama halnya seperti senjata milik Mimi.

“Siap, Ojii-chan?” Tanya Mimi kemudian.

“Hm!”

“Satu, dua, tiga, tembak!”


ZUUUUUUUW! DOOOM!


Kami berdua secara bersamaan menembak barikade para robot lalat itu dengan senjata kami, dan berhasil meledakkan kumpulan robot itu dengan sukses. Serpihan-serpihan mesin yang telah hancur pun kini berserakan di halaman sekolah.

“Dia mulai pergi, kita harus mengejarnya!” Seruku lagi.

“Hm! Ayo kita segera mengejarnya, Ojii-chan.”

Akhirnya setelah berjuang keras membasmi semua robot lalat yang berada di halaman sekolah, kami berdua pun langsung bergegas mengikuti robot lalat yang telah diberi chip untuk mengetahui letak ratu para robot lalat itu sehingga kami bisa mengalahkannya, dan menghentikan segala kegilaan ini.


***


“Anak itu nampaknya bukan gadis biasa.” Ujar Hazuki.

“Hh, jadi kau juga menyadarinya ya?” Ujar Masamune menyetujui pendapat Hazuki.

“Yah, untuk sekarang kita hanya bisa berharap kepadanya, tapi lain kali aku akan lebih berhati-hati dan mencari tahu siapa sebenarnya gadis bernama Mikan Kyoretsu ini.” Kata Hazuki dengan wajah yang terlihat sangat serius.

Selagi Mikan dan Mimi bertempur dengan para robot lalat untuk dapat melewati halaman sekolah, mereka tak menyadari bahwa Hazuki dan Hanzo terus mengamati mereka berdua dengan pandangan yang tajam dan penuh kecurigaan.


***


“Aaaaah, aku sudah tidak tahan lagi dengan semua kegilaan ini!” Kataku dengan kesal sambil terus menembaki robot lalat yang menghalangi jalan.

Mimi yang ada di sampingku pun tak henti-hentinya menembaki robot-robot lalat yang beterbangan di sekitar kami. “Kau memang benar Ojii-chan, semua ini sudah mulai menggila.” Ujar Mimi menyetujui pendapatku.

“Ya, kan? Seharusnya ini adalah hari penuh keajaiban dan bukan hari penuh dengan lalat pengganggu seperti ini!”


ZUUUUW! DOOOM!


Mimi menembak menggunakan senapan shotgunnya dan meledakkan seluruh robot di area di depan kami. Asap tebal sempat menghalangi pandangan kami sebelum akhirnya angin kembali member kami jarak pandang untuk melihat ke depan.

“Lalat tadi hilang! Dia sepertinya bergerak semakin cepat saja.”

“Kau memang benar, Ojii-chan, lalat itu memang bergerak makin cepat karena sebentar lagi waktu sepuluh menit itu hampir habis.”

“Hooo, benarkah? Kalau begitu ratunya pasti ada di dekat sini, jadi arahnya ke mana?”

“Tinggal beberapa belokan lagi, lurus lalu kemudian kita akan sampai di sana, tempat robot itu berhenti.” Jelas Mimi sembari memperlihatkan alat pelacak yang dipegangnya kepadaku.

“Hooo, jadi bahkan dia sudah berhenti ya? Kalau begitu jangan buang-buang waktu lagi, ayo segera kita ke sana, Mimi-chan!”

“Hm!”

Kami berdua pun segera melanjutkan pengejaran kami terhadap robot lalat yang telah dipasangi chip untuk menemukan sang ratu dari segala kekacauan ini.

Sesuai dengan petunjuk dari alat pelacak milik Mimi, kami berdua terus berlari menuju tujuan kami. Menjelang akhir, aku merasakan sesuatu yang familiar dengan tempat yang sedang kami berdua tuju.

“Tu-tunggu! Tempat ini rasanya aku mengenalnya, ini kan. . .”

Ketika kami berdua tepat berhenti di tempat yang ditunjukkan oleh alat pelacak, aku terkejut bukan main karena aku kini telah berdiri di tempat yang sangat aku kenal.

“Ini kan rumahku!”

“Ya! Ini tepat seperti yang ditunjukkan oleh alat pelacak.”

“Tu-tunggu dulu, Mimi-chan! Jadi maksudmu kita harus melewati segala kekacauan dari pagi dan akhirnya kita harus kembali ke rumah?” Tanyaku memastikan.

“Hm! Seperti itulah, Ojii-chan.” Jawab Mimi dengan wajah serius.

“Jangan pasang wajah serius begitu, paling tidak kau harusnya bilang dengan wajah polos, “ini semua bohong lho, Ojii-chan, hehe.” atau yang semacamnya.” Kataku yang sudah sangat kesal dan lelah akan semua peristiwa aneh yang tiba-tiba terjadi ini.

“Tapi kita tidak punya banyak waktu, ya kan?” Kata Mimi lagi tanpa menghapus raut wajah seriusnya.

“Aaaargh! Sudahlah, cukup! Aku akan menuntaskan sendi. . . ri?”

Dalam sekejap aku terperanjat dengan apa yang kulihat dan kata-kataku pun seketika terhenti.

“Itu kan ,-“

“Hikari-chan! Dia ditangkap oleh Fly-Fly Queen.”

Seekor robot lalat berukuran raksasa tiba-tiba muncul di hadapan kami berdua dengan mata yang merah menyala, dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata robot itu tengah membawa Hikari dengan lidahnya.

“A-a-aah. . . Pema-las, dan juga Mimi-san. . .” Ucap Hikari yang baru saja tersadar dengan nada yang terdengar begitu lemah.

“Hikari! Aku akan segera menolongmu!” Kataku berteriak dengan suara keras agar Hikari dapat mendengarku dan cepat sadar sepenuhnya.

Setelah mendengar suaraku, Hikari kemudian langsung tersadar sepenuhnya.

“Ah! Kenapa aku ada di sini? Kyaaaaa! Tolong aku!” Teriaknya minta tolong.

“Aku datang!”

“Jangan terburu-buru, Ojii-chan, itu berbahaya!”

“Kali ini saja jangan mencegahku Mimi-chan, karena kesempatan untuk berbuat keren hanya ada sekali.” Ujarku dengan wajah yang penuh rasa percaya diri.

“Kalau begitu, berhati-hatilah! Aku akan mengurus yang kecil di sekitar sini.”

“Yosh! Aku akan mengalahkannya dalam sekejap.”

Aku segera melompat masuk ke halaman dan berhadapan langsung dengan ratu para robot lalat yang terbang mengerubungi seluruh kota.

“Lepaskan adikku, dasar bodoh!”


BZZZZZZ!


Ratu para robot lalat itu memindahkan Hikari dari lidahnya dan menjepitnya menggunakan salah satu kakinya, lalu dengan lidahnya yang telah bebas itu dia menyerangku.


SLAAAASH!


“Gawat! Kalau aku terkena serangan itu bisa gawat.”

Aku kembali mengingat ketika aku terkena sengatan lidah beraliran listrik tegangan tinggi pagi ini.

Seluruh tubuhku langsung kaku begitu aku bersentuhan dengannya, dan kemudian mati rasa sehingga aku tidak dapat bergerak. Maka bila aku tersengat oleh ukuran yang seperti ada di depanku ini, aku akan langsung mati seketika.

“Tapi dengan ukuran sebesar sebuah mobil ini, bagaimana aku dapat mengalahkannya?” Tanyaku pada diri sendiri.


SLAAAASH! JDUUUM!


Sebagian halaman rumahku terkena sengatan lidahnya, dan rumput yang tumbuh di sekitar sana pun langsung terbakar dan hangus dalam sekejap saja.

“Aku yang memulai semuanya, aku tidak akan mundur!”

Aku mengacungkan senapanku tinggi-tinggi dan mulai bergerak untuk membalas serangan ratu para robot lalat itu demi membebaskan Hikari dan menghentikan semua kekacauan ini.


ZUUUW! ZUUUW! DOOM!


Beberapa kali aku menembak robot berukuran raksasa di depanku ini, tapi sama sekali tidak mempan. Perisai yang dimiliki oleh robot ini begitu kuat sehingga senapan sekuat shotgun laser pun tak dapat menembusnya.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tanyaku.

Aku mulai kehilangan harapan karena aku sama sekali tak dapat meninggalkan sedikitpun kerusakan pada robot itu. Aku lansung terdiam, dan tanpa sadar justru aku terbawa lamunanku sendiri dan tidak sadar bahwa robot itu mencoba menyerangku lagi.

“Apa yang sedang kau lakukan, pemalas? Cepat minggir atau kau akan mati!”

Suara Hikari menyadarkanku dari lamunanku, namun sudah terlalu telat untuk menghindari serangan kali ini. Lidah robot itu sudah semakin mendekat sementara aku seperti tak dapat menggerakan anggota tubuhku dan terpaku saja melihat keadaan berbahaya itu datang.


JDUUUUUUM!


Sebuah ledakan besar kembali terjadi di rumahku, sama seperti layaknya hari kemarin.

Tubuhku terlempar sedemikian jauh akibat ledakan itu.

“Mungkinkah aku sudah mati?” Pikiran seperti itu langsung terlintas di benakku.

“Ojii-chaaaaaan!”

“Pemalaaaaaaas!”

Ya, aku bisa mendengar suara Mimi dan Hikari yang memanggilku dengan nada cemas dan sedih. Apakah semua itu yang kuinginkan selama ini? Apakah aku selama ini ingin semua orang memperhatikanku hingga saat terakhir? Mungkin saja aku memang begitu. . .

“Onii-chan, shinai de!”

“Panggilan itu. . .” Ucapku pelan ketika Hikari memanggilku dengan panggilan ketika kami masih sangat kecil. Itu adalah panggilan kesayangannya untukku.

Ya, itu adalah panggilan untuk seorang kakak, dan dia sekarang memintaku agar tidak mati dulu.

“Jadi siapa yang sudi untuk mati di sini dan membiarkan adik kesayangannya sedih seperti itu, hah!?” Seruku yang bangkit kembali dari ketidaksadaranku.

“Yokatta, kau baik-baik saja, Ojii-chan.”

“Syukurlah, pemalas.”

Kulihat air mata mulai mengalir dari pipi Hikari, namun dia mati-matian agar air mata itu tidak terus mengalir supaya aku tak melihatnya menangis.

“Ternyata kau mencemaskan aku juga ya Hikari, hahaha ,-“

“Jangan banyak tertawa dan cepat bebaskan aku, pemalas!”

“Iya aku mengerti! Sabar sedikit bisa tidak sih!?”

Serpihan-serpihan mesin berukuran kecil berserakan di sekitar tempat kakiku berpijak.

“Aku mengerti sekarang, jadi kau yang menyelamatkan aku ya. . .”

Di dekat kakiku, aku berhasil memungut sebuah chip computer yang sebagian telah hangus dan menghitam.

“Fly-Fly didesain bahkan untuk memenuhi perintah tuannya sekalipun itu mustahil. . .”

Aku kembali teringat penjelasan Mimi pagi ini segera setelah dia membangunkanku.

“Tapi aku bahkan tidak memerintahkanmu untuk melindungiku, biarpun begitu kau tetap melakukan hal yang mustahil dan malah melindungiku dengan ganti nyawamu sendiri. . .”

“Mungkinkah keinginanku yang tidak ingin mati adalah sebuah perintah untukmu?” Tanyaku pada chip computer di tanganku yang awalnya merupakan bagian dari robot lalat bernama Fly-Fly itu.

“Aku. . . Aku tidak akan membiarkan siapapun atau apapun yang mengorbankan nyawanya untuk melindungiku mati sia-sia!” Seruku kemudian seraya kembali mengacungkan senapanku ke arah robot raksasa di hadapanku.


ZUUUUUW! DHUAAAR!


Sebuah tembakan berhasil kulepaskan dan menghancurkan salah satu kaki robot raksasa itu. Dengan hancurnya kaki itu pun, maka tubuh Hikari terlepas dan terjun bebas menuju ke permukaan tanah.

“Kyaaaaaa!” Teriak Hikari ketakutan.

“Hikari!” Seruku.

“Aku akan menyelamatkannya!”

Mimi menghentakkan sepatunya, lalu dalam sekejap sepatunya berubah menjadi sepatu roket sama seperti ketika dia masuk ke dalam gedung sekolah.

Dengan kecepatan tinggi Mimi meluncur menggunakan sepatu roketnya, dan akhirnya dengan mudah dia dapat menangkap tubuh Hikari sebelum menyentuh permukaan tanah.

“Te-terima kasih, Mimi-san.” Ucap Hikari dengan wajah yang tersipu merah.

“Tidak, tidak, itu sudah kewajibanku menolongmu, Hikari-chan!”

“Sudah kubilang kan jangan panggil aku seenaknya, Hh!”

“Hehe.” Mimi hanya membalas reaksi kesal Hikari itu dengan tawa polosnya.

Aku yang terus memperhatikan Mimi dan Hikari tidak menyadari kedatangan lidah dari robot raksasa itu yang dengan cepat menghampiriku.

“A-apa!? Hei! Lepaskan aku!”

Robot lalat raksasa itu berhasil menangkapku menggunakan lidahnya, dan kemudian dia mendekatkan lidahnya yang tengah menggenggamku itu ke dalam bagian mulutnya.

“Ojii-chan!”

“Pemalas!”

“Sialaaan! Lepaskan aku!”


HAP!


Tiba-tiba semua terlihat sangat gelap hingga aku tak dapat melihat apapun.

“Apa yang terjadi? Di mana ini?” Tanyaku kebingungan.

“Hoooi! Lepaskan aku!” Seruku sambil memukul-mukulkan senapanku ke sembarang arah.

“Hm. . . Tunggu, apa ini?”


***


“Pemalaaas!”

“Ojii-chaaan! Eh, tunggu. . .”

“Ada apa, Mimi-san?” Tanya Hikari dengan wajah cemas.

“Aku baru ingat sesuatu.” Jawab Mimi dengan wajah tenang.

“Apa itu?” Tanya Hikari lagi.

“Tenang saja, kita tidak perlu khawatir kepadanya, hehe.”

“Apa maksudnya? Aku tidak mengerti!”


***


Sebuah cahaya muncul dan menyilaukan mataku. Cahaya tersebut berasal dari senapan yang kugenggam, dan entah bagaimana aku merasa familiar dengan situasi seperti ini.

“Aku ingat! Ini sama seperti pagi kemarin! Aku ,-“

Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba cahaya itu semakin terang dan membuatku semakin silau sehingga aku langsung melempar senapanku itu ke sembarang arah.


DOOOOOM!


Sebuah ledakan terjadi di dalam tubuh robot lalat raksasa yang merupakan ratu dari para robot lalat. Di dalam sana hanya ada seorang anak laki-laki yang gagah berani mengorbankan dirinya untuk menghancurkan robot tersebut dari dalam.

“Tungguuuu! Jangan berkomentar seperti aku sudah mati!”

Aku meloncat keluar dari serpihan-serpihan mesin yang beterbangan dan bertebaran di halaman rumahku. Pakaianku sudah compang-camping tidak karuan akibat ledakan barusan, dan wajahku pun menghitam di sana-sini akibat terkena asap ledakan.

“Benar kan apa kataku? Kita tidak perlu khawatir, Hikari-chan.”

“Eh? Jadi ini semua. . .”Kata Hikari dengan wajah kebingungan.

“Tunggu dulu, Mimi-chan! Apa maksud semua ini?” Tanyaku bingung bercampur kesal.

”Aku lupa menyampaikan kalau Gun-Gun adalah tipe senjata yang akan berubah menjadi sebuah bom bila sang pemilik tengah berada dalam keadaan berbahaya, hehe.” Jelas Mimi lagi-lagi dengan memasang raut wajah tak berdosa.

“Aaaaargh! Seharusnya kau bilang dari awal kan!”

“Cih, menyedihkan.” Kata Hikari menghinaku dengan wajah menyebalkan.

“Kau juga harusnya berterima kasih kaaan!?”

“Sudahlah, sudah, Ojii-chan.” Mimi berusaha menenangkanku.

“Kau juga jangan bersikap tidak bersalah begitu, Mimi-chan! Aaaaargh sudahlaaaah!”


***


Di salah satu atap rumah penduduk, seorang gadis nampak duduk di sana dengan menatap ke arah rumah keluarga Kyoretsu sambil tertawa kecil.

“Kau memang tidak pernah berubah, Mik-kun.” Katanya di sela-sela tawanya.

“Heeei! Jangan berada di atap rumah orang lain seenaknya!”

Sang pemilik rumah tiba-tiba keluar dan memarahi gadis itu dengan wajah merah padam karena kesal.

“Ma-maaf! Saya segera pergi!”

Sang gadis pun kemudian pergi dari sana, namun sebelum itu dia kembali melihat ke arah rumah keluarga Kyoretsu sekali lagi.

“Sebentar lagi, pasti kita bisa bersama lagi seperti dulu.” Ucapnya sambil berlalu pergi.


***


Di sebuah bandara, para wartawan dari berbagai media massa terlihat berkumpul untuk menunggu kedatangan seseorang.

Tak berapa lama kemudian, seseorang muncul dari pintu bandara dan tidak ayal para wartawan tersebut langsung mengerubunginya meski pemuda itu dijaga oleh beberapa pengawal.

“Yukio-san! Bagaimana dengan latihan Anda? Apa Anda telah siap dengan kejuaraan yang akan Anda ikuti?” Tanya salah seorang wartawan kepada pemuda itu.

“No comment!” Jawab pemuda itu singkat sambil terus melangkah menuju mobilnya.

“Kalau begitu apa rumor bahwa Anda akan kembali ke sekolah Anda itu benar?” Tanya seorang wartawan yang lain.

Pemuda itu tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika akan memasuk mobilnya.

Pemuda itu berbalik menghadap para wartawan, “Hh! Ya! Aku akan segera pulang!” Serunya pada seluruh wartawan seraya menghunuskan pedang kayunya.


TSUZUKU. . .

Fu-Fam - Time II -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲