Newest Post

Fu-Fam - Time III -

| Rabu, 13 Juli 2011
Baca selengkapnya »
***


TIME III: RIVAL! RIVAL! RIVAL! FULLHEART SHOWDOWN!


***


“Eh? Di mana ini?”

Aku terbangun di suatu tempat, tempat yang sama sekali tidak aku ketahui.

Di sekitarku hanya ada banyak puing-puing gedung yang telah hancur berantakan, dan di atasku hanya ada langit yang berwarna jingga.

“Ini. . . Di mana?”

Pertanyaan itu terus berulang dalam kepalaku selagi aku berjalan, berharap menemukan seseorang yang dapat memberikanku jawabannya.


ZZZZZRT! ZZZZRT!


Samar-samar sekilas kudengar suara yang keluar dari sebuah televisi yang masih menyala.

“Dunia kita yang begitu tenang, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran dalam sekejap, kita. . .” Begitulah katanya. Setelah itu, televisi itu mati dan tidak dapat bersuara lagi.

“Aku bertanya, di mana ini!? Apakah tidak ada yang dapat menjawaaaab!?”

“Dunia telah hancur, duniaku telah hancur, dunia kami.”

Suara seseorang mendadak muncul dari arah belakangku.

Aku pun segera menoleh untuk mengetahui siapa gerangan orang tersebut. Namun, ketika menoleh ke belakang, yang dapat kutemukan hanya sebuah sosok yang diterangi oleh sinar mentari yang begitu menyilaukan.

Ya, aku hanya dapat melihat siluet orang itu. Meskipun begitu, aku tahu bahwa dia adalah seorang perempuan, dan entah kenapa aku merasa pernah melihatnya.

“Siapa kau?” Tanyaku dengan suara keras.

Perempuan itu tidak menjawab dan hanya menunjuk sesuatu dengan jari telunjuknya. Dia tepat menunjuk ke arah belakangku.

Sesegera mungkin aku kembali berbalik dan melihat apa yang tengah ditunjuknya. Saat itu, aku benar-benar tertegun dengan apa yang aku lihat.

“Apa. . . Itu?”

Sebuah lubang hitam besar membuka dan menganga lebar di tengah-tengah langit sore yang berwarna jingga. Lubang itu menghisap seluruh keberadaan di sekitarnya tanpa tersisa.

“Time C-l-r-t. . .”

Suara sang gadis kembali terdengar. Dia seperti ingin memberitahuku sesuatu tentang lubang hitam nan besar itu, namun suara bising yang dibuat lubang itu membuatku tak dapat mendengar kata-katanya dengan jelas.

“Apa maksudmu? Aku tak mendengarmu!” Kataku berteriak kepadanya.

“Time C-l-r-t. . .”

“Apa yang ka ,-“


***


BYUUUR!


“Hyaaaa! Apa yang kau lakukaaan!?” Tanyaku yang terbangun gara-gara sebuah siraman air yang mengguyur seluruh tubuhku.

“Apanya yang apa? Lihat ini sudah jam berapa!” Kata Hikari sambil berkacak pinggang dengan memasang wajah kesal.

“Uwooooo! Sudah jam segini! Gawat! Gawat! Gawat!”

Aku segera bangun dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi ketika aku melihat jam di kamar telah bergerak jauh dari seharusnya.

“Lagipula kau ini tadi bermimpi apa sih? “Ini dimana?” “Seseorang jawablah!” Apa maksudnya dengan semua itu?” Tanya Hikari dengan suara keras ketika keluar dari kamarku dan menuju ke lantai bawah.

“Tidak ada urusannya denganmu! Sudahlah siapkan saja sarapannya!”

“Cih! Kau memang selalu begitu, payah.”

“Oooi! Bisakah kau tidak memanggilku dengan panggilan itu? Onegaishimasuuu ~”

“P-a-y-a-h, payah!”

Bukannya menuruti perintahku, dia malah sengaja melakukannya. Adikku itu kadang-kadang memang benar-benar mengesalkan. Tapi, di balik semua itu aku senang dia masih mempunyai sedikit kelembutan.

“Onii-chan, ya? Hh.” Gumamku sambil tersenyum kecil.

Setelah beres dengan urusan kamar mandi, aku segera berganti baju dengan seragam sekolah dan turun bergabung bersama Mimi dan Hikari.

“Ohayou, Ojii-chan.” Sapa Mimi.

“Ohayou, Mimi-chan.” Sapaku balik seraya duduk di kursi ruang makan.

“Makanan kali ini roti bakar lagi, kan?”

“Sayangnya tidak, makanannya adalah ini.”

Hikari membawakan piring bagian kami masing-masing yang isinya adalah nasi lengkap dengan lauk-pauk dan segala macamnya.

“Apa ini!? Saat terburu-buru begini kau masih sempat-sempatnya ,-“

“Siapa yang salah!? Kau yang bangun terlambat! Aku sudah menyiapkan ini, jadi makanlah!”

Benar juga, Hikari telah menyiapkan semua ini. Aku yang salah karena bangun terlambat, jadi aku harus bertanggungjawab atas kesalahanku. Kalau begitu. . .


HAP! HAP! HAP! HAP! HAP!


Aku langsung memakan semua suguhan di atas piring itu dengan lahap dan terburu-buru.

“He-hei! Menghargai masakanku bukan berarti kau harus makan terburu-buru seperti itu!”

“Benar, Ojii-chan. Nanti kau bisa tersedak.” Ujar Mimi setuju dengan pendapat Hikari.

“Jangan pikirkan! Kalian berdua juga makanlah, nanti bisa terlambat.”


UHUK! UHUK!


Sesuai dengan apa kata Mimi, aku pun tersedak akibat terlalu cepat melahap semua makanan yang disajikan. Dengan terburu-buru aku mengambil air minum untuk meredakan tenggorokanku.

“Kau memang benar-benar kakak yang menyusahkan, haaaah.” Keluh Hikari sambil kemudian melahap makanan di piringnya sendiri.

Tidak begitu lama, kami bertiga telah menghabiskan makanan kami masing-masing. Aku langsung membereskan piringku dan menaruhnya di wastafel, lalu aku segera menarik lengan Mimi.

“Sudah tidak ada waktu, ayo!” Ajakku kepada Mimi yang baru saja menaruh piringnya.

“E-e-eeh, tapi Ojii-chan ,-“

“Isoge!”

“E-e-eeeeh. . .”

“Ah, aku lupa! Ittekimasu!”

“Hai, futari tomo itterasshai.”

Kami berdua pun akhirnya pergi dengan langkah terburu-buru menuju ke sekolah.


***


“Yo!”

Lavina muncul di persimpangan menuju ke sekolah, dan dia menyapaku dan Mimi.

Dia terlihat berjalan dengan begitu santai, sama seperti dua hari kemarin ketika kami berdua bertemu dengannya tepat di tempat yang sama.

“Kenapa kau begitu santai, Lavina?” Tanyaku sambil melakukan jalan di tempat.

“Kenapa mesti terburu-buru? Kan masih ada setengah jam lagi sebelum jam pertama dimulai.” Jawabnya santai.

“Heeeeee!? Benarkah!?”


***


Di rumah keluarga Kyoretsu, semenjak perginya sang kakak, Hikari terus memperhatikan jam dinding.

“Ah! Aku lupa lagi untuk mengaturnya!” Katanya sembari menepuk keningnya.


***


“Kireeei, Mimi kau benar-benar terlihat manis dengan seragam sekolah itu.” Puji Lavina.

“Benarkah? Aku sebenarnya tidak terlalu merasa percaya diri.” Tanya Mimi dengan wajah tersipu merah.

“Benar kok, benar, ya kan Mi-chan?”

“Yaaa. . .” Jawabku dengan malas.
Ya, akibat kesalahan Hikari akhirnya kami bertiga tidak sengaja berkumpul dan mendapatkan sedikit waktu untuk mengobrol sebelum sampai ke sekolah.

“Kemana matamu saat kau menjawab? Coba lihat ke sini!”

Lavina memegangi kepalaku dan memaksaku untuk melihat ke arah Mimi.

“Sekarang perhatikan baik-baik!” Perintahnya dengan tak melepaskan tangannya.

Aku sebenarnya tak mau mengakuinya, tapi setelah kulihat apa yang dikatakan Lavina memang benar adanya. Mimi terlihat begitu kawaii dengan seragamnya.

Bagaimana aku tidak menyadari hal itu padahal kemarin dia juga memakai seragam yang sama?

Ah! Tentu saja, kemarin aku dan Mimi terlalu sibuk dengan urusan pemusnahan serangga sehingga aku sama sekali tak menyadarinya.

“Jaa, aku pun setuju, dia memang kawaii.” Pujiku sambil memalingkan wajah.

“Ya kan? Aku tahu kau juga akan berpendapat sama! Kau memang beruntung, Mimi.”

“H-Hm! Terima kasih banyak atas pujiannya.” Kata Mimi sembari membungkukkan badannya ke arah kami berdua.

Di sekolah, saat kami bertiga memasuki halaman, para murid kembali membicarakan Mimi.

“Mirou! Itu anak yang kawaii kemarin lusa! Ternyata dia masuk ke sini!” Kata salah seorang siswa.

“Benar! Wah beruntungnya, siapa tahu kita bisa berkenalan dengannya.” Sambung seorang siswa yang lain.

“Tapi kenapa dia bisa bersama dengan si Kyoretsu itu ya?” Tanya siswa yang lainnya.

“Kalau dipikir-pikir memang benar, dia juga kemarin lusa bersama anak itu.”

“Heeee. . . Kyoretsu yang pemalas itu kan?”

“Ya! Benar! Kyoretsu yang itu, walaupun dia malas tapi dia ternyata punya keberuntungan juga.”

“Hei! Mi-chan, mereka membicarakanmu lho! Apa kau tidak apa-apa?” Tanya Lavina yang mulai merasa terganggu dengan omongan para siswa.

“Iia, aku sudah terbiasa dengan semua itu, jadi jangan khawatir.”

Kata-kata semua orang yang selalu mengejek dan meremehkanku, semua itu bagiku sudah sangat biasa dan tidak akan membuatku marah.

Di balik semua itu, aku juga tidak mempunyai alasan untuk marah. Apa yang mereka bicarakan tentang diriku memang benar, jadi aku sama sekali tak ada alasan untuk membalas omongan mereka.

“Yah, apa boleh buat, kau memang selalu berlagak sok kuat.”

“Aku adalah aku, jadi jangan terlalu dipikir ,-“

Lavina tiba-tiba berhenti di hadapanku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Tapi mungkin itu yang membuatku suka berada di dekatmu.” Katanya kemudian sambil tersenyum.

“Sudahlah! Jangan bersikap seperti itu. . .” Kataku dengan wajah yang memerah.

Aku memang tipe yang tidak bisa menerima pujian, apalagi dari seorang gadis. Aku berterima kasih kepada Hikari yang telah membuatku menjadi seperti itu. Maksudku, dia jarang sekali memujiku.

Mimi terlihat diam saja sedari tadi, dan itu mengganggu pikiranku. Di saat seperti ini dia biasanya memberikan suatu komentar atau tertawa kecil karena sikapku yang seperti orang bodoh ini.

“Ada apa, Mimi-chan?”

“Ng, tak ada apa-apa.” Jawabnya sembari menggelengkan kepalanya.

“Ah, sou ka.”

Saat kami bertiga tiba di kelas, kulihat sudah banyak murid yang telah datang. Salah satu dari mereka langsung memberi salam kepadaku kami ketika kami baru melewati pintu. Tidak, lebih tepatnya dia hanya memberi salam kepada Mimi saja.

“Ah, ohayou Mimi-san! Kau masuk kelas ini juga ternyata?” Sapanya.

“Hm! Tentu saja, Ryuu-chan, soalnya aku juga ingin bersama dengan Mikan-kun.”

“Hh, ternyata begitu. Oh iya bagaimana kalau siang ini kita makan siang bersama, mau kan?” Ajak gadis yang tidak lain adalah Ryuuji itu.

“Tentu saja! Aku mau.” Jawab Mimi menerima ajakan Ryuuji.

Setelah itu, kami bertiga pun menuju tempat duduk kami masing-masing.

“Ne, Mimi, kau mengenal Ryuuji-chan?” Tanya Lavina.

“Tentu saja, aku bertemu dengannya ketika mengurus kepindahanku.”

“Begitu ya? Enaknya bisa akrab begitu dengan dia, haaaah. . .” Kata Lavina dengan diikuti sebuah desahan panjang.

“Eh? Jadi Lavina-san tidak berteman baik dengannya?” Tanya Mimi balik.

“Teman baik? Mungkin itu pernah, meski itu dulu.” Jawab Lavina dengan raut wajah sedih.

Aku yang sudah tahu soal pertemuan Mimi dengan Ryuuji tak mau berkomentar apapun, hanya saja ada satu hal yang mengganggu pikiranku.

Kutarik lengan Mimi dan kubisikkan suatu pertanyaan kepadanya.

“Mimi-chan, sejak kapan kau memanggilnya Ryuu-chan?”

“Barusan, memang Ojii-chan tidak dengar?” Mimi balik bertanya.

“Tidak, bukan begitu maksudku, tapi apa panggilan itu tidak terlalu akrab?”

“Justru itu agar dapat cepat akrab makanya aku pakai panggilan itu!” Jawab Mimi.

“Begitu ya, kalau begitu teruskan saja. . .”

Ketika jam pertama tinggal beberapa saat lagi dan semuanya terasa tenang, aku merasa telah melupakan sesuatu. Ya, sesuatu, atau lebih tepatnya mungkin seseorang.

“Yoooo! Mikan! Mikan! Mikan!”

Sebuah suara milik anak laki-laki yang sebaya denganku muncul dan mengganggu telingaku.

Pemilik suara itu adalah Makoto, teman sekelasku. Nama lengkapnya adalah Makoto Kudoyama. Gara-gara peristiwa kemarin, aku hampir saja melupakan kehadirannya.

“Yoooo! Siapa ini?” Tanyanya sambil melangkah mendekati meja Mimi.

“Maaf, kau siapa?” Tanya Mimi pada Makoto.

“Yooo! Siapa kau bilang? Tentu saja sudah pasti, aku adalah pangeranmu.” Jawab Makoto sok keren.

“Eeeh? Aku tidak mengerti. . .”

Melihat itu, aku tidak ingin tinggal diam saja. Aku segera mengambil buku dari dalam tasku dan memukul kepala Makoto dengan buku tersebut.


BUK!


“Sudah! Sudah! Jangan buat dia merasa bingung dan terganggu. Dia adalah Mimi, saudara jauhku.” Jelasku kepada Makoto.

“Mimi desu, yoroshiku.”

“Hooo, Mimi ya? Nama yang bagus! Sangat cocok dengan karakter pangeran yang ,-“


BUK!


Aku memukul kepala Makoto sekali lagi agar dia diam dan tak berbicara aneh lagi.

“Maafkan Makoto, dia memang suka seperti itu bila melihat seorang gadis manis.” Jelasku sambil memohon pengertian atas sikap Makoto.

“Tidak apa-apa, Ojii, maksudku Mikan-kun.”


SREEEK!


Pintu ruangan kelas dibuka, lalu Yumi-sensei pun masuk ke dalam kelas.

“Baiklah, bocah-bocah payah! Jam pelajaran pertama dimulai!”

Kedatangan Yumi-sensei pun menghentikan pembicaraan kami bertiga, dan akhirnya kami bertiga pun kembali ke tempat duduk masing-masing untuk memulai jam pelajaran pertama.


***


“Baiklah, untuk memulai pelajaran kali ini Ibu akan memperkenalkan dua orang murid baru kepada kalian. Salah satu dari mereka seharusnya sudah masuk dari kemarin, namun karena kemarin ada kejadian yang tak diinginkan maka dia baru bisa memperkenalkan dirinya kepada kalian hari ini. Gadis baru! Silahkan maju ke depan!” Kata Yumi-sensei meminta Mimi agar maju dan memperkenalkan dirinya.

Mimi pun maju ke depan kelas, dan kemudian mulai memperkenalkan dirinya ke seluruh murid di dalam kelas.

“Hajimashite, atashi wa Mimi desu. Aku adalah saudara jauh dari Mikan Kyoretsu, dan sekarang aku tinggal bersama dengan dia dan adiknya di rumah keluarganya.” Kata Mimi memperkenalkan dirinya.

“Ne, Mimi-chan! Apa aku bisa minta nomor teleponmu?” Tanya salah seorang murid laki-laki.

“Aku tidak punya ponsel.” Jawab Mimi dengan tersenyum seadanya.

“Kalau begitu bisa kita pergi berkencan?” Tanya seorang murid laki-laki yang lain.

Makoto yang nampak begitu tertarik dengan perkenalan Mimi langsung berdiri dan menengahi para murid laki-laki di kelas.

“Yoooo! Kalian itu tidak sopan!”

“Eh, kenapa memangnya Makoto?”

“Yooo! Kenapa? Tentu saja, karena yang duluan akan pergi dengan Mimi-chan adalah ak ,-“


BUK!


Aku segera memukul kepala Makoto sekeras-kerasnya, dan akhirnya dia bisa juga diam.

“Siapa yang akan pergi dengan dia? Tidak ada!” Seruku membuat seluruh anak laki-laki di kelasku terdiam.

“Ehm! Kau juga DIAAAAAAM!” Teriak Yumi-sensei ke arahku dengan tampang seram.

Setelah semua murid di kelas kembali terdiam, Yumi-sensei melanjutkan kata-katanya.

“Kalau begitu silahkan duduk, Mimi.” Katanya mempersilahkan.

“Hai, sensei!” Sahut Mimi sambil melangkah kembali ke tempat duduknya.

“Kalau begitu, sekarang gadis baru nomor dua, silahkan masuk dan memperkenalkan diri.” Lanjut Yumi-sensei lagi.


SREK!


Pintu kelas terbuka, dan kali ini masuk sesosok gadis dengan rambut panjang hitam diikat ekor kuda memakai pita putih. Dia tersenyum kepadaku ketika pertama kali melangkahkan kakiknya ke dalam kelas.

Aku tidak dapat bereaksi dengan kehadiran gadis ini, lidahku rasanya benar-benar mati rasa. Baru kemarin aku bertemu dengannya, dan sekarang dia sudah muncul lagi di hadapanku untuk yang kedua kalinya.

“Hajimemashite, atashi wa Aiko Shimizu desu. Aku baru saja pindah dari desa dan sekarang tinggal sendiri di apartemen dekat sini.” Ujar gadis itu memperkenalkan diri.

“Ke-kenapa kau bisa ada di sini Aiko?”

“Eeeh? Tentu saja karena aku ingin satu sekolah denganmu, Mik-kun.”

“Sugeee! Kau ternyata memang popular dengan para gadis, Mikan! Kau kenal dengan semua anak baru yang masuk ke sekolah ini.” Celetuk salah seorang siswa laki-laki.

“Mik-kun. . . Apanya yang Mik-kun!? Nama panggilannya Mi-chan tahu!”

Lavina yang sedari tadi diam dan tak bersuara, kini tiba-tiba berdiri dan menatap Aiko dengan tatapan tajam.

“Hooo, Mi-chan? Nama yang bagus.” Kata Aiko berusaha memanas-manasi suasana.

Terjadi tatap-menatap di antara kedua gadis itu. Aku tidak terlalu mengerti apa maksud mereka, tapi aku merasa sesuatu yang buruk akan segera terjadi kepadaku.

“Aku melihat aroma rival dan persaingan di sini!” Kata salah seorang siswa.

“Iya! Ini akan menjadi menarik.” Kata siswa lain menyetujui pendapat siswa sebelumnya.

“Mik-kun. . . .!”

“Mi-chan. . . .!”

Kedua gadis itu terus menatap masing-masing dengan tatapan tajam. Mereka seolah seperti dua ekor anjing yang tengah memperebutkan tulang.

“Ehm! BISA KAN AKU MEMULAI JAM PERTAMA!?”

Teriakan Yumi-sensei mengejutkan kami semua dan sontak membuat kami langsung terdiam.

Akhirnya kami semua pun kembali tenang, dan jam pelajaran pertama pun dimulai.
Namun, meski jam pelajaran pertama telah dimulai dengan tenang, tapi aku sama sekali tidak meras

akan kedamaian. Aku justru merasakan hidupku akan semakin berat dengan kedatangan Aiko ke kelasku.


***


Sore harinya di rumah.

“Huuu. . . Haaah. . .”

“Kau sedang apa Ojii-chan?” Tanya Mimi yang sedari tadi memperhatikanku.

“Kau tidak mengerti meski melihatnya? Aku sedang bermeditasi.” Jawabku tanpa mengubah posisiku.

“Heee. . . Meditasi? Tapi untuk apa?” Tanya Mimi lagi.

“Untuk menenangkan diriku, kau lihat sendiri kan tadi pagi? Lavina dan Aiko terus bertengkar di depanku, aku sama sekali tidak bisa tenang karenanya.” Jelasku sembari menarik napas panjang dan menghembuskannya.

Ya, sedari pagi aku sama sekali tidak dapat merasakan ketenangan. Kedua orang teman masa kecikku, Lavina dan Aiko sama sekali tak bisa membuatku merasakan ketenangan.

Mereka terus saja berada di sampingku dan saling bertengkar satu sama lain. Siang tadi saat jam makan siang pun, mereka bertengkar soal bekal makan siang.


***


“Hora! Mi-chan, makanlah bekal makan siangku!”

“Makan juga bekal makan siangku! Ini kubuatkan khusus untukmu.”

Lavina dan Aiko, dua orang teman semasa kecilku kini berada di depan mejaku dengan kotak bekal makanan di tangan mereka masing-masing. Mereka mencoba menawarkannya kepadaku dan berharap aku memakan salah satu darinya.

“Aku sedang tidak nafsu makan.” Jawabku berkilah.

“Jangan mencoba untuk bohong, aku tahu kalau kau tidak membawa bekal makan siang kan?” Tanya Lavina mendesakku dengan memelototiku.

“Da-dari siapa kau mendengarnya?”

“Tentu saja dari Mimi, memang siapa lagi?”

“Mimi-chaaaan, diaaa. .!”

“Sudahlah, Mi-chan! Makanlah bekalku saja supaya kau punya tenaga lagi.” Paksa Lavina.

“Enak saja! Aku duluan kan yang menawarkannya!? Jadi dia akan makan bekalku dulu.” Kata Aiko yang tak mau kalah.

Dia kemudian menyuapkan bekal makan siangnya ke mulutku dengan paksa sehingga aku tak bisa menolaknya. Aku pun akhirnya terpaksa mengunyah dan menelannya segera.

“Lihat kaaaan ~ Mik-kun memakan bekalku lebih dulu.”

“KAAAU! Kau ini kan memaksanya!” Ujar Lavina menatap Aiko dengan kesal.

“Biarkan saja, yang penting dia memakan bekalku kan? ~”

“Kalau begitu. . . Makan ini, Mi-chan!”

Lavina kemudian menyuapkan bekal makan siangnya ke mulutku. Aiko yang tak mau kalah dari Lavina ikut-ikutan menyuapiku dengan bekal makan siangnya.

Mereka terus-terusan menyuapiku tanpa henti hingga mulutku penuh dengan makanan.

“Bagaimana, Mik-kun/Mi-chan?” Tanya mereka secara bersamaan.

“Inzhii. . Ue. . Ak. . (Ini enak).” Jawabku dengan mulut penuh.

“Berhasil!” Seru mereka sembari melakukan tos satu sama lain.

Namun, sesaat kemudian mereka kembali acuh tak acuh serta memalingkan wajah dari satu sama lain. Sementara itu, aku harus menderita akibat tak dapat menelan seluruh makanan yang ada di mulutku.


***


Kalau aku terus mengingat kejadian tadi siang itu, aku merasa mual dan ingin segera muntah.

Aku berusaha untuk segera mengalihkan perhatianku, lalu kulihat Mimi tengah asyik membaca sebuah majalah.

“Apa yang sedang kau baca itu Mimi-chan?”

“Ah, ini? Ini majalah.”

“Itu sih aku sudah tau, tapi maksudku apa isinya? Tumben kau membaca majalah.”

“Oooh. . . Majalah ini membahas tentang seorang anak muda pemenang kejuaraan kendo provinsi, katanya sebentar lagi dia akan menuju tingkat nasional.” Jelas Mimi.

“Kendo? Memang siapa orangnya?” Tanyaku lagi.

“Namanya Yukio Shimada.” Jawab Mimi cepat.

“Heee. . . Yukio Shimada ya. . .”

“Hm! Oh iya, di TV juga ada beritanya sekarang!” Seru Mimi sambil mengambil remote TV dan memencet tombol untuk menyalakannya.

“Sang pemuda jenius dalam kendo, Yukio Shimada, dikabarkan akan kembali ke kampung halamannya untuk beberapa waktu. Berikut adalah petikan wawancara kami dengannya beberapa waktu lalu.”

“No Comment!”

“Hh! Ya! Aku akan segera pulang!”

“Hooo. . . Yukio Shimada ya, jadi benar dia. . .” Gumamku ketika TV telah selesai menayangkan berita tersebut.


***


Keesokan harinya di sekolah, tepatnya pada saat jam pelajaran pertama tengah dimulai.

“Ooooi! Lihat! Itu bukannya Yukio?” Teriak salah satu siswa sambil menunjuk ke arah halaman.

“Yang benar?” Tanya siswa yang lain penasaran.

“Masa?”

“Benarkah?”

“Benar! Dia Yukio Shimada!”

“Heee. . . Jadi dia kembali?”

“Benar! Dia sudah kembali.”

Akhirnya semua siswa perhatiannya teralih ke arah halaman, dan ternyata memang benar di sana ada seseorang yang tengah melangkah memasuki halaman sekolah dengan begitu santainya. Dia membawa pedang kayu yang dia sandarkan ke bahunya.

Aku kenal sekali dengan wajahnya. Dia memang benar Yukio Shimada, pemuda yang kemarin muncul di TV.

“HOOOI! KEMBALI KE TEMPAT DUDUK KALIAN!” Perintah Yumi-sensei dengan sebuah teriakan keras.

Semua siswa terkejut, dan kemudian mereka semua tidak punya pilihan lain selain kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Sementara itu, aku yang sedari tadi hanya duduk saja, terus memandang ke arah halaman.

“Yooo! Tapi mengejutkan juga ya? Dia kembali saat seperti ini.” Kata Makoto berkomentar.

“Hm, mungkin dia memang merasa perlu kembali ke sekolah.” Ujarku menanggapi.

“Yooo! Perlu kembali? Ataukah perlu menemui seseorang?” Lanjut Makoto lagi.

Benar juga apa kata Makoto. Yukio bukanlah tipe orang yang kembali tanpa alasan. Aku yakin dia pasti kembali dengan maksud tertentu, dan mungkin saja dia memang ingin menemui seseorang. . . yang ada di sini.


DUG!


Sebuah penghapus papan tulis tiba-tiba melayang ke arahku dan membentur kepalaku dengan sangat keras.

“KAU JUGA DIAAAAM!” Perintah Yumi-sensei lagi dengan berteriak.

“Kenapa aku juga. . .”


***


Yukio dengan santainya terus melangkah memasuki gedung sekolah. Namun, ketika sampai di depan pintu masuk, seseorang ternyata telah menunggu kedatangannya dengan wajah yang serius.

“Kenapa kau datang lagi?” Tanya gadis di hadapan Yukio.

“Kenapa? Tentu saja aku ingin kembali ke sekolah.” Jawab Yukio santai.

“Maksudku kenapa kau datang jam segini!? Ini sudah telat kaaan!?”

Gadis itu segera menghunus pedang kayunya ke arah Yukio, dan Yukio pun tidak tinggal diam. Dia segera mengayunkan pedang kayu miliknya untuk menghadang sabetan pedang kayu gadis itu.


DRAAAASZH!


Kedua pedang kayu itu saling berbenturan dengan keras membuat suasana menjadi tegang. Namun beberapa saat kemudian, kedua orang yang saling mengadu kemampuan mereka masing-masing itu pun tertawa lepas.

“Hahaha! Kau memang tidak pernah berubah, Yukio-chan.” Puji gadis itu.

“Kau juga, kemampuanmu tidak pernah menurun, Hazuki-senpai.” Kata Yukio memuji balik gadis itu yang tidak lain adalah Hazuki Wataru, sang ketua OSIS.

“Tidak, tidak, kemampuan semakin bertambah semenjak kau menjuarai kejuaraan kendo tingkat provinsi.”

“Hh, tapi itu berkatmu juga, Hazuki-senpai.”

“Jadi, apa maksud kedatanganmu kemari?” Tanya Hazuki.

“Apa maksudmu dengan ‘apa’? Tentu saja aku ,-“

“Lebih baik segera ceritakan masalahmu. Aku tahu kau bukan tipe orang yang senang kembali ke sekolah seperti ini.” Ujar Hazuki menyarankan.

“Kau juga tidak pernah berubah, Hazuki-senpai.”

“Kalau kau bermaksud memuji kehebatanku itu bagus, hahaha. Nah, ayo kita ke ruangan saja, lebih baik kita mengobrol di sana.” Kata Hazuki sembari berjalan mendahului Yukio.

Kemudian, Yukio pun mengikuti Hazuki menuju ke ruangan OSIS.

“Apa tak apa kita membolos kelas seperti ini?” Tanya Yukio di tengah perjalanan.

“Eh? Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku ini sekarang ketua OSIS, jadi tak masalah bila aku izin untuk satu jam pelajaran saja.” Jawab Hazuki.

“Be-benar juga, kau sekarang adalah seorang ketua OSIS. . .”

Sesampainya di ruangan, Hazuki segera membuka pintu. Kemudian, mereka berdua pun langsung duduk di bangku dan memulai perbincangan mereka.

“Jadi apa yang kau inginkan sebenarnya dengan kembalinya dirimu?” Kata Hazuki mengulangi pertanyaannya.

“Nampaknya aku tidak bisa berbohong kepadamu, jadi baiklah akan kukatakan. Sebenarnya aku. . .”

Yukio pun mulai menjelaskan alasan kedatangannya, dan Hazuki mendengarkannya dengan serius.

“Begitulah yang terjadi. . .” Kata Yukio menutup penjelasannya.

“Kalau begitu mintalah bantuan pada orang itu.” Ujar Hazuki kemudian.

“O-orang itu?”

“Ya, dia. Kau juga tahu kan siapa yang kumaksud?”

“Y-ya, aku tahu.”

“Aku sudah melihat kemampuannya, dan aku yakin dia bisa diandalkan.”

“Ba-baiklah, aku akan mencobanya, kalau begitu permisi.”

“Hm, kembalilah kapanpun yang kau mau. . . Aku akan selalu menunggu.”

“Terima kasih, Hazuki-senpai.” Ucap Yukio seraya membungkukkan badannya ke arah Hazuki, kemudian dia pun keluar dari ruangan tersebut.

Di luar ruangan, Yukio sempat berpapasan dengan Hanzo Masamune sang wakil ketua. Mereka saling bertukar pandang dengan tatapan tajam, nampak sekali aroma persaingan di antara keduanya.

“Kau bertemu dengannya kan, Han-chan?” Tanya Hazuki ketika Hanzo masuk ke dalam ruangan.

“Ya, tentu saja. Dia tidak pernah berubah.” Jawab Hanzo dengan menyembunyikan tatapan matanya di balik kacamatanya.


***


Jam makan siang pun datang, semua siswa sibuk dengan bekalnya masing-masing. Aku tidak ketinggalan momen tersebut dan mulai menyantap bekalku, ketika kemudian Mimi mengajakku bicara.

“Ne, Ne, Ojii-chan, kenapa kau tidak mendekati Ryuuji Baa-chan sekarang dan makan bersama?” Tanyanya.

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Aku langsung tersedak mendengar ucapan Mimi.

“Kenapa Ojii-chan? Kau tidak apa-apa kan?” Tanyanya lagi.

“Tak apa-apa, tapi kenapa kau memintaku melakukan hal seperti itu?” Tanyaku balik kepadanya.

“Ah, itu, aku, aku cuma ingin kalian lebih dekat saja.”

“Itu tidak mungkin, aku sama sekali tidak punya keberanian untuk bicara kepadanya. Kalaupun aku bicara kepadanya, yang ada dia hanya memandangku balik dengan tatapan mata penuh kebencian. Lagipula. . .”

Aku menghentikan kata-kataku, lalu menoleh ke arah Ryuuji yang juga tengah menyantap makan siangnya.

“Lagipula apa Ojii-chan?” Tanya Mimi penasaran.

“Ah, tidak, tidak ada apa-apa.”

Aku tak akan bisa mengatakannya. Alasan lain mengapa aku tidak bisa mendekati Ryuuji selama ini. Ini bukan masalah keberanian atau apapun, tapi ini adalah sesuatu yang berbeda.

“Ne, Ne, Lavina-san, sebenarnya Yukio itu siapa sih?” Tanya Aiko yang muncul tiba-tba di sebelahku. Bahkan bukan hanya itu, Lavina yang ditanya oleh Aiko pun kini sudah ada di sebelahnya.

“Hh, jadi kau tidak tahu ya? Memangnya kau ini dari mana saja? Yukio itu adalah juara kendo tingkat provinsi yang mewakili sekolah kita.” Jelas Lavina dengan nada mengejek.

“Maaf kalau aku tidak tahu soal itu, tapi bisakah kau memperbaiki cara bicaramu!?”

“Hm? Kau minta apa, gadis berpita!?”

“Perbaiki cara bicaramu, gadis sok pintar!”

Aiko dan Lavina kembali bertukar pandang dengan tatapan tajam. Mereka sepertinya akan memulai kegaduhan yang baru, dan aku sama sekali tidak mau terlibat ke dalamnya. Oleh karenanya, aku harus segera menghentikan mereka sekarang juga.

“Oi, Aiko! Lavina! Kalian jangan berteng ,-“


SREK!


Belum selesai satu kalimat kuucapkan, suara pintu yang dibuka tiba-tiba menghentikan gerakan bibirku. Di sana sekarang kulihat seorang anak laki-laki berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya.

“Oooi! Bagaimana kabar kalian, kelas 1-F?” Sapanya kepada kami semua dengan suara keras.

“Yukio-san!”

“Yukio-kun!”

“Itu dia! Yukio Shimada!”

“Shimada-san! Bagaimana kabarmu?”

Seluruh kelas langsung menjadi riuh dan gaduh akibat datangnya pemuda itu. Namun berbeda dengan seluruh isi kelas, aku justru langsung terdiam dengan munculnya pemuda yang terlihat seperti pemuda biasa itu.

Aku sama sekali tidak membenci pemuda itu, namun bukan berarti aku juga menyukai atau bahkan mengidolakannya seperti kebanyakan siswa di kelasku.

Kami bisa dibilang teman, atau mungkin itu status yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami yang sebenarnya bisa dibilang tak pernah ada masalah.

Tak pernah? Ya, itu adalah anggapan bagi sebagian besar yang selalu melihat kami berdua. Tetapi di balik semua itu, ada satu hal yang menjadi penghalang besar bagi kami berdua.

“Minggir! Minggir!”

Sosok gadis yang sedari tadi terus menekuk wajahnya dengan suram di ujung sana, kini berdiri menyambut kedatangan pemuda itu.

“A-ah! Ryuuji! Aku lupa kalau kau ada di sini.”

“Beri jalan untuk Ryuuji!”

“Ya! Beri celah untuk Mitsuragi-san.”

Ketika semua anak telah mempersilahkannya, gadis itu kemudian langsung menggandeng dengan erat lengan pemuda bernama Yukio Shimada itu.

“Yu-chan! Akhirnya kau kembali!” Kata gadis itu dengan senyuman terbaiknya.

Ya, itu adalah dinding terbesar yang kami berdua miliki. Aku begitu menyukai Ryuuji, tetapi Ryuuji hanya mengagumi Yukio seorang.

“Ryu-chan! Maaf aku kembali begitu tiba-tiba, tapi sekarang aku ingin berbicara kepada seseorang, nanti kau kuhubungi lagi. . .”

Aku ingin sekali membenci pemuda ini, tapi kalau aku membencinya sudah pasti Ryuuji pun akan balik membenciku. Karena itu aku ingin sekali ,-

“Yo! Apa kabar, Mikan-kun?” Sapa Yukio sembari menghampiri tempat dudukku.

“Dasar bodoh! Aku belum selesai memberikan narasinya!”

“Eh? Narasi? Pada siapa?”

“Hh, sudahlah tak usah dipikirkan.”

“Heh, kau memang tidak pernah berubah.” Ucap pemuda itu sambil tersenyum kepadaku.

“Jadi, kau sudah memenangkan pertandingannya?” Tanyaku sambil terus melahap bekalku.

“Justru karena itu, aku datang ke sini.” Jawabnya singkat.

“Apa maksudmu?”

“Lebih baik jangan bicara di sini, banyak sekali orang.” Ajaknya sambil menyeretku keluar dari dalam kelas.

“Tu-tunggu! Aku kan belum selesai makan. . .”

“Itu bisa kau selesaikan nanti kan? Bantulah temanmu ini dulu.”

“Ta-tapi, bekal makan siangku T___T “


***


“Jadi, apa yang kau inginkan dariku?” Tanyaku.

“Begini, kita ini teman kan?” Tanyanya balik.

Aku menjadi bingung dengan perkataannya yang seakan diulur-ulur. Oh iya, kami berdua sekarang berada di halaman belakang sekolah yang cukup sepi meski sedang jam makan siang.

“Tentu saja! Memangnya kenapa? Sudahlah, cepat katakana saja.” Kataku agak memaksa.

“Kalau begitu, bisakah kau membantu memenangkan kejuaraan Nasional?”

Kembali, kata-katanya membingungkan lagi untuk yang kedua kalinya.

“Apa maksudmu? Aku sama sekali tak punya kekuatan dan aku juga ,-“

“Bukan masalah itu, aku ingin membantumu untuk melatihku.”

“Melatihmu?” Tanyaku dengan wajah bingung.

“Ya, kau tahu? Aku melakukan ini semua agar aku dipandang hebat oleh semua orang. Aku ingin terlihat hebat di depanmu, di depan teman-teman, di depan Ryu-chan, dan juga di depan. . . dia.” Jelasnya.

“Yang kau maksudkan itu, Hazuki-senpai, ya kan?”

“Ya, dia adalah alasanku untuk mengikuti kejuaraan ini.”

“Hm, aku juga pernah mendengar rumor tentang itu, jadi semua itu memang benar?” Tanyaku memastikan.

“Ya, aku dan Hazuki-senpai dulu adalah anggota klub kendo saat masih SMP. Dia adalah ketua yang hebat dan aku sangatlah mengaguminya. Semua orang pun bilang kalau dia serius dengan kendo, maka tidak mustahil kelak kalau dia masuk SMA, dia akan jadi atlet professional. Sebelum lulus, dia sempat berjanji kepadaku bahwa dia tidak akan melupakan kendo, dan aku pun berjanji untuk menjadi lebih kuat daripada dia. Tapi, setelah lulus. . .” Yukio nampak tak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya.

“Dia melupakan kendo, itu kan maksudmu?” Tanyaku lagi.

“Ya! Karena orang itu! Hanzo Masamune! Hazuki-senpai benar-benar mengagumi orang itu sampai dia mengorbankan waktunya untuk kendo demi orang itu! Dia ,-“

“Tidak! Hazuki-senpai sama sekali tak melupakan Kendo!” Kataku memotong kalimat Yukio.

“Bagaimana kau bisa tahu itu!?”

“Pedang, pedang kayu yang selalu dibawanya.”

“Pe-pedang kayu?”

“Ya, dia selalu membawa pedang kayu itu kemanapun, dan ketika orang-orang penasaran dengan alasan kenapa dia selalu membawanya, dia hanya menjawab, ‘ini adalah benda kesayanganku.”. Semua orang sudah tahu tentang semua itu. Tapi yah, kau yang jarang masuk pasti tidak akan mengetahui hal tersebut.” Jelasku.

“Ta-tapi. . .”

“Belum selesai sampai di sana, selain membawanya kemanapun, Hazuki-senpai juga menghukum para siswa atau orang-orang jahat dengan menggunakan pedang kayunya itu. Kau tahu apa artinya? Itu berarti dia selalu mempunyai jiwa ‘atlet kendo’ di dalam dirinya, kau saja yang tidak menyadarinya.” Lanjutku menjelaskan.

“Ma-mana mungkin hal seperti itu. . .” Ucap Yukio yang sepertinya masih belum bisa menerima penjelasanku.

“Oh iya, untuk permintaanmu akan kupikirkan suatu cara untuk membantumu. Kalau begitu, sampai nanti.” Ujarku seraya berlalu dari hadapan Yukio.

Aku meninggalkan pemuda itu dalam keadaan yang cukup terpukul. Aku tahu rasanya bagaimana mengagumi seseorang tapi orang itu tak pernah mau melihatku, aku sangat mengerti hal itu. Mungkin karena hal itu pulalah, aku tak membenci Yukio.

Aku merasa senasib dengannya. Aku merasa memiliki seseorang yang menanggung beban perasaan yang sama denganku. Sepertinya itulah ikatan persahabatan yang terjalin di antara kami berdua.

“Hm? Kalian sedang apa?” Tanyaku pada lima sosok yang tengah bersembunyi di dekat semak-semak.

“A-a-ahahaha! Ketahuan ya? Padahal kami sudah susah payah sembunyi.” Kata Makoto yang lebih dulu keluar dari semak-semak tersebut.

“Sudah kubilang kan ini bukan tempat yang tepat!” Ucap Aiko yang juga ikut keluar dari sana.

Setelah itu berturut-turut, Lavina, Mimi, dan Ryuuji pun ikut keluar dari tempat persembunyian mereka itu.

“Dasar, apa yang sebenarnya kalian lakukan ini?”

“A-a-anu, kami hanya ingin mendengarkan pembicaraanmu saja kok.” Jawab Lavina mencari-cari alasan.

“Be-benar, Mik-kun! Kami tidak sengaja ke sini dan mendengar kalian.” Kata Aiko ikut-ikutan.

“Tidak sengaja? Tapi kenapa kalian sampai datang berlima begini? Dan lagi Makoto kenapa kau juga ada di sini?” Tanyaku sembari memelototi Makoto.

“Yo-yoooo! Aku hanya diseret oleh gadis-gadis ini untuk mengikutimu, ha-ha-haha.”

“MAKOTOOOO!” Seru Aiko dan Lavina bersamaan.

“A-a-ahahaha.” Ucap Makoto yang tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Dasar, haaaaah. Tapi tunggu, Ryuuji, kenapa kau juga ada di sini?”

“Bukan urusanmu! Aku hanya ingin mendengarkan Yu-chan saja kok.” Jawabnya dengan nada bicara yang dingin.

“Kau tidak pernah berubah, selalu begitu ya, Ryuuji. . .”

“Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi?” Tanya Lavina.

“Ya, apa yang kalian bicarakan?” Tanya Aiko juga ikut-ikutan.

“Tidak ada hubungannya dengan kalian! Sudahlah, ayo masuk saja, aku ingin menghabiskan bekal makan siangku.” Kataku sembari berjalan kembali ke dalam gedung sekolah.

“Eeeeh? Tidak adil! Beritahu aku, Mi-chan!”

“Ya, beritahu aku juga, Mik-kun!”

“Sudahlah! Ayo kembali saja!”


***


“Begitulah pelajaran untuk hari ini. Oh iya, aku membutuhkan dua orang untuk membereskan buku di perpustakaan, siapa yang bertanggung jawab di sini?”

“Saya, sensei.” Sahut Ryuuji langsung berdiri.

“Sou, Mitsuragi, ya kan? Kalau begitu satu orang lagi. . .”

“Yoooo! Mikan Kyoretsu, dia katanya mau membantu, sensei.” Kata Makoto tiba-tiba mengusulkan diriku.

“Oi! oi! oi! Makoto kenapa kau ,-“

“Baiklah, Kyoretsu dan Mitsuragi, kalian yang membereskan buku di perpustakaan.” Ujar Honji-sensei menyetujui usul Makoto.

“Tapi sensei, aku sama sekali tidak ,-“ Kataku mencoba untuk protes.

“Tidak ada tapi-tapian, cepat bereskan!” Serunya mengabaikan protesku dan kemudian keluar dari ruangan kelas.

“Yooo! Bagus kan, Mikan? Kau jadi bisa dekat dengan dia.”

“Kau ini. . . .!”

“Kyoretsu-san, ayo cepat pergi!” Seru Ryuuji memanggilku dengan nada yang terdengar tak ramah.

“Yoooo! Bye-bye, Mikan-kun.” Ucap Makoto dengan tersenyum puas sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Di perpustakaan, kami berdua hanya saling diam sembari membereskan semua buku yang ada di sana. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulut kami seolah kami ini tak saling kenal.

“Haaaaaah. . .” Desahku pelan sembari terus menempatkan buku-buku pada raknya.

Aku mulai berpikir bahwa apakah diriku ini bodoh dengan membiarkan aku membantu seseorang yang seharusnya menjadi rivalku.

Seharusnya kesempatan ini juga menjadi kesempatan yang bagus untuk mendekatinya seperti yang dibilang Makoto, tapi tetap saja rasanya sulit meski hanya untuk memulai percakapan.

“Hm? Hei itu berbahaya!” Seruku memperingatkan Ryuuji yang tenga berdiri berjinjit di atas sebuah kursi.

Dia nampak tengah kesulitan mengembalikan buku di tangannya ke bagian paling atas rak.

“Biarkan aku membantumu, aku ,-“

“Minggir! Aku tidak butuh bantuanmu!” Serunya kasar.

“Hei! Hei! Jangan banyak bergerak nanti kau bisa jatuh! Lagipula aku cuma ingin membantumu.” Jelasku.

“Tidak usah banyak alasan! Kau itu ,-“

Mulutnya berhenti mengucapkan kata-kata, dan kemudian terdengar suara kursi yang bergoyang. Tidak salah lagi, keseimbangan kursinya sudah goyah dan dia akan jatuh sebentar lagi! Aku harus menangkapnya.


GBRUG!


Tubuh Ryuuji jatuh tepat menimpa punggungku. Dia menduduki punggungku di mana aku sedang dalam posisi tengkurap. Ini memang tidak terlihat keren, tapi paling tidak aku bisa menyelamatkannya.

“Kau tidak apa-apa ka. . .n?”


BUG!


Sebuah buku besar nan tebal tiba-tiba menghantam wajahku dengan keras.

“A-apa yang kau la. . ku. . kan?”

“Kau juga! Apa yang kau lakukan? Dasar tidak berguna!” Jawab Ryuuji yang segera bangkit dan berlari keluar perpustakaan sambil menyembunyikan wajahnya.

“Pa-padahal aku cuma berusaha menolong T__T “ Ucapku sambil memegangi wajahku yang terkena hantaman tadi.


***


Semua berjalan dengan begitu lancar.

Siang tadi aku terpaksa membereskan buku-buku di perpustakaan sendirian saja karena kesalahpahaman yang terjadi. Bukan hanya itu, sebuah memar di wajahku pun menjadi hadiah kerja keras seorang diriku itu.

Di rumah, aku mencoba mendinginkan bagian wajahku yang memar dengan mengompresnya menggunakan es batu.

“Ngomong-ngomong Ojii-chan, kenapa kau terus menutupi bagian wajahmu?” Tanya Mimi di sela-sela iklan yang tayang di televisi. Seperti biasa, setiap sore dia selalu melihat atau paling tidak mencari drama yang bagus untuk ditonton.

“Terima kasih kepada Makoto, dia yang menyebabkan aku seperti ini.” Jawabku dengan perasaan yang masih kesal.

“Heee. . . Jadi tadi apa ada yang terjadi kepada Ojii-chan dan Obaa-chan di perpustakaan?”

“Terima kasih kepada dia juga, aku jadi begini sekarang.”

“Eh? Tapi kenapa?”

“Aku malas membahasnya. Ngomong-ngomong Mimi-chan, kau punya alat yang bagus?”

“A-alat yang bagus? Untuk apa memangnya, Ojii-chan?”

“Sebenarnya Yukio memintaku untuk membantu latihannya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana.” Jelasku.

“Kalau itu sih tentu saja ada, namanya Wild Hell Practice set! Ojii-chan mau mencobanya?” Ujar Mimi menawarkan.

“Tidak, kurasa. Dari namanya saja aku sudah berpikir untuk tidak menggunakannya.” Kataku menolak.

“Heee. . . Tapi alat ini bisa mengubahmu menjadi seseorang yang kuat hanya dalam beberapa hari.”

“Untuk kali ini sepertinya tidak, Mimi-chan. Aku akan memikirkan cara lain untuk membantu Yukio.” Kataku sambil melangkah menuju ke kamarku di lantai atas.

Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit.

“Di depannya aku bisa bilang begitu, tapi jujur saja aku tak punya cara untuk membantu Yukio, haaaah. . .” Gumamku sembari mendesah panjang.


***


Esoknya di sekolah, entah siapa yang mulai menyebarkan gosip ini, tapi di seluruh kelas kini tengah ramai membicarakan tentangku dan Ryuuji.

“Ne, Ne, Mitsuragi-san, apa benar ada yang terjadi di antara kalian kemarin?” Tanya salah seorang siswa yang mengerubungi tempat duduk Ryuuji.

“Benar! Benar! Apa ada yang terjadi? Apa dia menyatakan cintanya kepadamu?” Tanya salah seorang siswa lain yang ikut mengerubungi.

“Apa-apaan mereka itu? Tentu saja Mik-kun tidak akan melakukan hal yang bodoh seperti itu, ya kan?” Komentar Aiko.

“Belum tentu juga, Mi-chan mungkin juga akan melakukan hal seperti itu. . .” Kata Lavina membalas komentar Aiko.

“Heee. . . Tapi mana mungkin Mik-kun akan ,-“

“Yoooo! Tak akan ada yang dapat memprediksi tindakan manusia, semuanya bisa terjadi.” Ujar Makoto yang ikut-ikutan berkomentar tentang gossip yang tiba-tiba menyebar ini.

Ini semua sebuah kesalahpahaman, dan seseorang harus segera menyelesaikannya. Tapi, tapi kenapa Ryuuji hanya diam saja dan tak mengatakan sepatah kata pun? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Aku. . .


***


“Ne, Ne, Mitsuragi-san, apa benar ada yang terjadi di antara kalian kemarin?”

“Benar! Benar! Apa ada yang terjadi? Apa dia menyatakan cintanya kepadamu?”

Aku baru saja melangkahkan kakiku ke dalam sekolah ini lagi untuk yang kedua kalinya sejak kemarin, tapi kenapa aku sudah mendengar hal yang tidak menyenangkan seperti ini?

Anak itu kemarin bilang akan menyelesaikan masalahku, tetapi dia justru sekarang bersenang-senang hingga membuat gosip seperti ini. Aku tahu kami berdua memang tidak terlalu akrab dan aku bahkan belum dapat memanggilnya ‘teman’, tapi ini semua sudah cukup bagiku untuk menyebutnya sebagai sebuah pengkhianatan.

Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku adalah Yukio Shimada, sang pemuda jenius dalam bidang kendo yang akan ikut kejuaraan Nasional. Tetapi, karena masalah kepercayaan diri aku memutuskan untuk kembali ke sekolah.

Aku memutuskan meminta bantuan kepada senior yang aku kagumi, Hazuki Wataru. Sayang, dia menolak permintaanku dan menyarankanku untuk meminta bantuan kepada Mikan Kyoretsu.

Sesuai sarannya, aku pun menemui Mikan yang bisa dibilang ‘teman lama’ ku dan aku pun meminta bantuannya. Tetapi, sebelum dia memberiku bantuan, dia justru. . .

Sudah cukup! Sampai sini saja aku akan menjadi narator dalam cerita ini, selanjutnya aku akan muncul ke permukaan dan akan memulai rising action dalam cerita ini.


***


SREK!


Aku mendengar pintu ruangan kelas dibuka dengan keras, dan muncul seorang pemuda yang membawa pedang kayu dari sana. Wajahnya nampak tidak membawa suatu kabar bagus bagiku.

“Koraaa! Mikan Kyoretsu! Aku ingin mengajakmu berduel!” Seru pemuda itu dengan wajah yang kacau namun terlihat berapi-api.

“Itu kan! Yukio Shimada! Kenapa dia di sini lagi dan kenapa dia mengajaknya Mikan berduel?”

“Mungkin saja ini yang dinamakan persaingan cinta segitiga!”

“Maksudmu Shimada-san mendengar semua perkataan kita tadi?”

“Ya, mungkin saja.”

“Kalau begitu, gawat sekali.”

“Yoooo! Mikan, bagaimana kau akan menanggapinya?” Tanya Makoto.

“Mik-kun?”

“Mi-chan. . .”

Aku masih terdiam dengan semua kebisingan yang ditujukan kepadaku. Keraguan seketika menyerangku dan membuatku menjadi tak bisa memastikan apapun.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, semuanya berubah menjadi apa yang tidak kuinginkan. Apa yang akan Ryuuji laku. . . kan. . .

Tunggu! Dia sesaat tadi tersenyum kepadaku meski aku tak melihatnya secara jelas!

Aku sudah mengerti sekarang, memang hanya itu yang dapat kulakukan untuk menyelesaikan semua kekacauan ini dan kembali mendapatkan kedamaian.

Perlahan aku tersenyum, lalu kuangkat wajahku seraya berseru, “Aku terima tantanganmu, Yukio!”


***


“Biarpun berkata begitu, aku masih belum tahu bagaimana harus menghadapi dia dalam duel, haaaaah.” Desahku panjang sembari bersandar pada sofa. Sama seperti hari sebelumnya, hari ini pun aku menemani Mimi untuk menonton drama sore.

“Am! Kalau begitu tinggal berlatih saja kan, Ojii-chan?” Kata Mimi sambil melahap sekantung snack yang tengah digenggamnya.

“Biarpun kau bilang begitu, tapi bagaimana aku bisa bertambah kuat hanya dalam beberapa waktu!?”


DEG!


Seketika aku tersentak, dan rasanya aku ingat sesuatu. Kalau tidak salah kemarin Mimi bicara tentang suatu alat kepadaku. . .

“Tentu saja!” Seruku senang.

“Ada apa, Ojii-chan? Kau nampaknya senang sekali.”

“Kau masih punya alat yang kau tawarkan padaku untuk membantu Yukio itu kan?”

“Tentu saja, Ojii-chan, aku masih membawanya. Kau mau menggunakannya?”

“Ya! Tolong latih aku dengan alat itu, Mimi-chan!”

“Tentu saja, Ojii-chan! Tapi setelah drama ini selesai, nyam, nyam.”

“Kau ini ==” “


***


“Apa kau sudah siap, Ojii-chan?” Tanya Mimi.

“Yosh! Aku siap!” Jawabku dengan penuh semangat.

“Kalau begitu, ayo kita mulaaaaaai!”

Mimi mengeluarkan sebuah peta dari dalam Box-Box lalu melemparkannya ke udara, dan kemudian secara ajaib peta itu membuka dan terbentang lebar dengan sendirinya.

“Jadi itu alatnya?” Tanyaku yang sedikit kecewa dengan penampilan alat tersebut.

“Ya!” Jawab Mimi singkat.

“Tapi bukannya itu cuma peta biasa!?”

“Lihat baik-baik dulu, Ojii-chan.”

Aku menuruti kata-kata Mimi dan memperhatikan peta itu lebih seksama.

“Peta ini. . . Bukan peta dari dunia ini!” Seruku setelah mengamati peta itu selama beberapa saat.

“Tentu saja! Ini adalah peta dunia virtual yang dibuat oleh orang dari masa depan. Tapi tidak perlu khawatir, biarpun virtual semua yang ada di dalamnya sama seperti nyata, terutama makhluk hidupnya.” Jelas Mimi.

“Baiklah, tidak terlalu penting penjelasan detailnya, ayo segera pergi saja!” Kataku yang sudah tidak sabaran untuk memulai latihan.

“Baik, Ojii-chan! Virtual Gate, Lock-Open!”

Kata-kata dari Mimi itu mengaktifkan alat berbentuk peta yang ada di hadapan kami itu. Peta itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah pintu berukuran raksasa yang bersinar dengan terang. Pintu itu kemudian terbuka, dan kami pun memasuki dunia di dalam pintu dengan langkah yang perlahan.

“Te. . . Tempat apa ini sebenarnya?”

Sebuah pemandangan serba hijau layaknya di sebuah padang rumput tercermin di mataku. Tidak jauh dari tempat kami berada, nampak sebuah rimba dengan pepohonan yang tumbuh dengan lebat. Hewan-hewan herbivore berkeliaran di sana-sini untuk mencari makan tanpa diganggu oleh hewan pemangsa.

“Selamat datang di virtual world, green nature!” Seru Mimi memperkenalkan nama dari dunia tempat kami berada sekarang.

“Tapi tunggu! Bukannya ini cuma padang rumput biasa, Mimi-chan? ==” “


***


“Baiklah di virtual world ini kita akan melakukan latihan yang akan dibagi dalam beberapa latihan, yaitu kekuatan, kelincahan, kecepatan, dan keberanian.” Ujar Mimi mulai menjelaskan.

“Ikut aku, Ojii-chan.”

“Hm.”

Aku mengikuti langkah Mimi menuju ke sebuah tempat yang bersebelahan dengan hutan rimba. Di sana aku dapat melihat sebuah papan besar yang disangka oleh dua buah tiang kayu.

“Inilah tes pertama, tes kekuatan!” Seru Mimi dengan wajah bersemangat di hadapanku.

“Maksudmu aku harus mengangkat papan itu?”

“Tentu saja, coba Ojii-chan angkat itu sebagai tes pertama.”

“Heee. . . Kalau itu saja sih, mudah.”

Aku langsung berjalan ke bawah papan besar dan berada di antara dua tiang kayu yang menyangganya. Tinggi tiang penyangga yang lebih rendah daripada tinggi badanku terpaksa membuatku membungkuk, lalu secara perlahan aku berdiri tegak sambil mengangkat papan besar di atas kepalaku itu.

“Cih, ternyata berat juga.”

Namun, baru saja aku akan berdiri secara tegak, Mimi menghentikanku dengan segera.

“Hai! Cukup sampai di situ dulu, Ojii-chan. Ada sesuatu yang tertinggal sebelum kau mengangkat lebih jauh.” Katanya membuatku kembali meletakkan papan yang kuangkat itu kembali ke tempatnya.

“Apa itu, Mimi-chan?”

“Tunggu saja, sebentar lagi dia pasti datang kok.”

“Di-dia?”

“Hm, ah! Itu dia sudah datang!”


MWOOOOOO!


GLEK!


Aku menelan ludahku dan berusaha mendengarkan sekali lagi suara sesuatu yang datang ke arahku itu.

“Apa itu, Mimi-chan?” Tanyaku dengan raut wajah yang telah berubah karena merasakan perasaan tidak enak yang datang.

“Itu El-kun!” Jawabnya sambil tersenyum-senyum sendiri.


MWOOOOOO!


Suara itu semakin terasa dekat karena aku dapat dengan jelas mendengarnya. Aku merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya, hanya saja aku lupa di mana.

Aku mencoba memberanikan diri untuk menoleh, dan kini di belakangku seekor gajah berlari ke arahku dengan wajah yang berapi-api.

“Gyaaaaaaaaaaaa! Tentu saja aku pernah mendengarnya, itu gajah! Kalau dia sampai naik ke atas papan ini dia pasti akan menindihku dan aku akan hancur!”

“Tenang saja, Ojii-chan, El-kun tidak seberat itu kok.” Kata Mimi mencoba menenangkanku.

“Tentu saja dia berat! Dia itu kan gajah! Lanjut saja ke latihan yang kedua!”

“Eh? Tapi ini kan akan menyenangkan, Ojii-chan.” Ujar Mimi kecewa.

“Sudahlah! Cepat lakukan!” Perintahku memaksa.

“Haaah, ya sudahlah kalau begitu.”

Mimi berjalan ke lajur sang gajah itu berlari, lalu dia mengeluarkan sesuatu dan menaruhnya di mulutnya.


PRIIIIIIIIIIIIIT!


Sang gajah seketika berhenti ketika Mimi meniup peluit di mulutnya.

“Maaf ya El-kun, kali ini kau tidak bisa ikut bermain.”

Sang gajah kemudian berbalik, dan berjalan pulang dengan lesu.

“Kau ini sebenarnya pelatih gajah atau apa, Mimi-chan? ==” “


***


Latihan pun kembali dilanjutkan, kali ini kami berada di daerah seperti kutub selatan.

“Mimi-chan, boleh aku bertanya sesuatu?”

“Ya, Ojii-chan?”

“Kau bilang ini green nature kan?”

“Ya, lalu?”

“Kenapa ada daerah kutub segala di tempat yang ada warna hijaunya!?”

“Itu mudah, karena hijau itu terbentuk dari warna biru dan kuning.” Jawab Mimi dengan memasang tampang penuh percaya dirinya.

“Aku. . . tidak terlalu mengerti.”

“Sudahlah, Ojii-chan, daripada memikirkan itu lebih baik kita segera mulai latihan yang kedua.”

“Jadi, apa latihan untuk kali ini?” Tanyaku yang mulai kembali tertarik dengan latihan virtual ini.

“Tentu saja, latihan kelincahan! Ojii-chan lihat para penguin di sana kan?”

“Hm! Tentu saja!”

“Coba Ojii-chan ke sana, dan ,-“

“Tunggu! Tunggu!” Ujarku menyela penjelasan Mimi.

“Kau ingin bilang aku harus menangkap para penguin itu untuk menambah kelincahanku, kan?” Lanjutku sok tahu namun penuh kepercayaan diri.

“Ah, itu. . . sebenarnya. . .”

“Sudahlah! Aku akan pergi sekarang, ittekimasuuuu!”

Aku langsung berlari menuju ke arah kumpulan penguin itu, dan menghampiri salah satu penguin yang tengah lengah tak menyadari kedatanganku.

Ketika hendak merentangkan lengan untuk menangkap penguin di depanku itu, penguin itu tiba-tiba melemparkan pandangan tajam ke arahku. Aku tercekat dan gerakanku terhenti untuk sementara.

“Hyaaaat! Hyaaa!”


BUK! BUK! BUK! BUK! BUK! BRUG!


Beberapa detik kemudian aku terkapar tak berdaya di atas es dengan wajah babak belur. Kejadian tadi begitu cepat sehingga aku bahkan tidak sadar apa yang baru saja kualami.

“A-ada apa tadi sebenarnya? Kenapa bisa pe-penguin itu. . .” Tanyaku yang masih shock karena tiba-tiba telah dipukuli oleh seekor penguin.

“Aku bermaksud untuk memperingatkannya tadi, tapi Ojii-chan langsung pergi saja. Maksudku membawa ke sini bukan untuk menangkap para penguin itu.” Jelas Mimi.

“Lalu untuk apa?”

“Tentu saja sesuai dengan judulnya, kelincahan. Maksudnya Ojii-chan diharuskan untuk menghindari serangan para penguin di sini. Perlu Ojii-chan tahu, penguin di sini itu memiliki ilmu karate, ahli pedang, dan juga senjata lainnya, makanya kalau ingin bertahan di sini Ojii-chan harus pintar menghindari serangan mereka.” Lanjut Mimi menjelaskan tujuan latihan di tempat ini.

“Pemanasan global memang sangat seram, bahkan penguin pun jadi seperti itu. . .” Gumamku.

“Ya, Ojii-chan, kau berbicara sesuatu?” Tanya Mimi yang tidak sengaja mendengar aku bergumam sendiri.

“Ah tidak, aku cuma kaget para penguin zaman sekarang sangat kuat, a-ahahaha!”

“Tentu saja! Untuk menghindari habitat mereka diganggu manusia mereka banyak berlatih dengan tujuan agar pemanasan global tak meluas.”

“Ternyata memang karena pemasan global ya!” Gumamku lagi namun di dalam hati.


***


Setelah memulihkan kondisi tubuhku yang dihajar habis-habisan oleh penguin yang ahli karate, kami berdua pun melanjutkan latihan.

“Jadi kali ini apa?” Tanyaku yang telah kembali siap mengikuti latihan.

“Kali ini tentu saja latihan kecepatan.” Jawab Mimi.

“Heee. . . Jadi aku harus berlari ya? Itu sih mudah.” Kataku menyombongkan diri.

“Begitu ya? Kalau begitu kita segera mulai saja Ojii-chan.”

“Yosh! Aku sudah siap!”

“Hai, ikuzo!”

Seekor kancil kemudian keluar dari semak-semak di dekat kami berdua. Kancil itu menatap kami dengan pandangan aneh, mungkin karena dia jarang melihat manusia di sekitar sini.

Tidak lama kemudian, kancil itu membuang muka dari kami dan mulai berlari dengan kecepatan yang mengagumkan.

“Hai! Dozo, Ojii-chan.” Ujar Mimi mempersilahkanku.

“Hooo. . . Jadi aku hanya harus mengejar kancil itu ya? Kalau segini saja sih mudah.” Ujarku kembali menyombongkan diri.

Tak mau kalah dengan kancil yang telah lebih dahulu berlari itu, aku pun menggunakan fastest speed-ku dalam berlari untuk mengejarnya.

“Aku boleh tidak ahli dalam olahraga, tapi dalam hal berlari jangan remehkan aku!”

Aku terus berlari tanpa memperhatikan sekelilingku dan fokus pada kancil yang masih terus berlari di depanku.

“Ojii-chaaan, sebaiknya kau terus mempercepat kecepatanmu atau kau akan tertangkap.” Seru Mimi memperingatkanku.

Meningkatkan kecepatan? Apa maksud kata-kata Mimi itu? Dia sepertinya meragukan kemampuanku dalam hal berlari karena aku payah dalam hal fisik.

“Tenang saja, Mimi-chan. Aku pasti akan menangkap kancil itu!”

“Bukan masalah itu! Tapi lihat di belakangmu!”

“Hm? Belakang? Apa maksud. . . mu?”


GLEK!


Seketika aku menelan ludahku ketika menoleh ke belakang.


AUUUUUUUUM! GRAAAAR!


“Kenapa ada harimau di tempat seperti ini, Mimi-chan!? Ini bukan sirkus kaaaan!?”

Seekor harimau kini tengah mengejarku dari belakang dengan memasang tatapan lapar, mungkin dia sudah beberapa hari tak menyantap sesuatu.

Ya, sesuatu, Tentu saja sesuatu itu bukanlah makanan seperti biasa karena yang dimaksud itu adalah aku! Sekarang aku tahu kenapa kancil itu berlari secepat kilat dan kenapa latihan ini disebut latihan kecepatan.

“Ini sih bukan kecepatan mengejar sesuatu, tapi kecepatan melarikan diri!”

“Hati-hati Ojii-chan, sebentar lagi dia akan menangkapmu!”

Harimau di belakangku itu tiba-tiba melompat jauh ke arahku dan berusaha menggapai punggungku.

Ah, mungkin ini memang akhir dari hidupku. Tanpa memperdulikan aku akan selamat atau tidak, aku pun menutup mataku.


***


Begitulah akhir kisah ini. Sang tokoh utama pun pergi dengan tenang setelah tidak terselamatkan akibat serangan harimau.

“Tungguuuuuu! Aku masih belum mati! Apa-apaan narasi di atas tadi!?”

Ehem! Yang sebenarnya terjadi barusan adalah Mimi menggunakan kekuatan warp-nya untuk memindahkan sang harimau ke tempat yang lebih aman dan akhirnya nyawaku pun terselamatkan.

Akhirnya setelah semua latihan aneh tadi, kami berdua pun tiba di latihan terakhir.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Kataku dengan nada tak bersemangat.

Aku sudah kehilangan semangat karena ketiga latihan yang telah aku lalui. Semua yang kukira akan menjadi latihan menyenangkan dan serius harus hancur karena keanehan yang dibuat oleh Mimi.

“Baiklah Ojii-chan, ini adalah latihan yang terakhir, sebenarnya ada latihan lain juga sih, tapi sepertinya untuk Ojii-chan cukup sampai yang ini saja.” Jelas Mimi.

“Sudahlah, yang mana saja boleh, percepat saja karena aku sudah mulai mual berada di dunia ini.”

“Ayolah Ojii-chan, bersemangatlah sedikit! Kau ingin menang, kan?”

“Tentu saja aku ingin menang, tapi. . .”

“Tapi?”

“Tapi hampir diinjak seekor gajah, dihajar seekor penguin, dan dikejar seekor harimau, apa itu semua belum cukup?”

“Ya, memang sih, tapi kau tidak boleh melewatkan yang satu ini, oke?” Ujar Mimi merayuku agar mengikuti sesi latihan yang terakhir.

“Hai, Hai, aku ikut. Jadi apa latihan yang terakhir?”

“Latihan keberanian! Ojii-chan akan memasuki ruangan bertirai hitam itu, dan jika Ojii-chan berhasil keluar dari sana dengan berani, maka Ojii-chan lulus dari tes ini.”

“Eh? Semudah itu kah?” Tanyaku tidak percaya.

“Tentu saja! Untuk meyakinkannya aku telah memanggil tuan kancil untuk memasukinya lebih dulu. Lihatlah baik-baik!”

Si kancil yang tadi terus berlari di depanku kembali muncul dari semak-semak dan bergegas memasuki sebuah bilik kayu bertirai hitam yang nampak misterius.

Beberapa saat kemudian, tak terjadi apapun dan tak terdengar satu suara pun dari bilik itu. Si kancil memang belum keluar, namun itu sudah cukup memberiku keberanian untuk memasukinya.

“Yosh! Sepertinya latihan kali ini akan baik-baik saja, aku akan masuk!” Kataku dengan penuh keberanian yang terpancar dari wajahku.

“Bagus! Kalau begitu silahkan masuk, Ojii-chan.”

“Ah! Tentu saja! Hairimasuuu!”

Aku melangkah mendekati bilik bertirai itu sambil membusungkan dada dengan penuh keberanian. Namun, ketika tinggal beberapa langkah lagi untuk memasukinya, sesuatu terjadi, atau lebih tepatnya sesuatu melayang ke pelukanku.


PLUK!


Aku terdiam sesaat tanpa ekpresi ketika sesuatu mendarat di tanganku.

“Mimi-chan,”

“Ya, Ojii-chan?”

“APA-APAAN INI!? Jelas ini TIDAK AMAN kan!?”

Kubantingkan benda di tanganku itu ke tanah dengan perasaan kesal.

“Eeeh? Memangnya kenapa Ojii-chan?” Tanya Mimi yang merasa kecewa.

“Kenapa!? Tentu saja itu jawabannya! Mana mungkin aku bisa selamat dan berkata tak ada apa-apa di dalam ketika tiba-tiba kepala kancil tadi melayang ke arahku!?” Jelasku sambil melepaskan semua kekesalan yang sempat tertahan sedari tadi.

Ya, kepala sang kancil yang tadi masuk ke dalam bilik kini tergeletak di tanah.

Di kepala itu nampak ekspresi tenang yang seakan menandakan tak ada apa-apa. Namun bagiku, itu adalah bukti bahwa yang terjadi di dalam sana begitu menyeramkan bahkan terlalu seram hingga kau sama sekali tidak punya waktu untuk menyadarinya.

“Sudahlah! Aku mau pulang saja, Mimi-chan.”

“Eeeh, tapi kan ,-“

“Tidak ada tapi-tapian, aku pulang.”

“Tapi Ojii-chan, aku sengaja menyediakan dunia ini untukmu agar berlatih.”

Aku berusaha untuk tidak menoleh ke arah Mimi, karena bila aku menoleh, pasti aku akan luluh oleh tatapan sayunya.

“Ojii-chaaan. . .” Panggil Mimi dengan suara memelas.

“Aaargh, Mou! Baiklah, aku akan tinggal, tapi dengan satu syarat.” Kataku yang akhirnya luluh oleh sikap Mimi itu.

“Apa itu?”

“Berikan aku pedang kayu dan aku akan latihan sendiri, jangan menggangguku, mengerti?”

“Okidoki, Ojii-chan! Aku mengerti!”

“Nah, kalau begitu mana pedang kayuku?”

Mimi mengeluarkan alatnya yang bernama Box-Box dan mengambil sebuah pedang kayu dari dalam sana.

“Haaai! Silahkan, Ojii-chan.” Kata Mimi sambil menyerahkan pedang kayu itu ke tanganku.

Mimi kemudian terdiam menantikan reaksiku selanjutnya. Namun, aku justru bingung karena dia terus saja diam dan memandangiku.

“Tunggu apa lagi? Cepat pulang dan bantu Hikari saja menyiapkan makan malam.”

“Ojii-chan yakin bisa latihan sendirian?”

“Tentu saja, aku sudah kelas dua SMA, jadi tidak perlu khawatir.”

“Baiklah kalau begitu, aku akan menjemputmu ketika makan malam nanti.”

“Ah, aku mengerti.”

“Kalau begitu aku permisi, Ojii-chan.” Ujarnya berpamitan.

“Hm.” Sahutku singkat.

Setelah Mimi pergi dari hadapanku, aku pun segera berlatih dengan menggunakan pedang kayu yang ada dalam genggamanku. Aku mulai menebas pohon-pohon di sekitarku menggeunakan pedang kayu itu.


***


“Ojii-chan memang aneh, padahal semua latihan tadi menyenangkan, bahkan itu sangat popular di kalangan remaja masa depan. Haaah, aku memang tidak mengerti remaja masa lampau.” Keluh Mimi sambil mendesah panjang ketika berjalan melalui sebuah pintu virtual untuk kembali ke dunia nyata.

Mimi kemudian melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Mikan, dan meninggalkan Mikan sendirian berlatih untuk menghadapi duel dengan rivalnya demi mempertahankan harga diri masing-masing.

Duel yang akan menentukan nasib mereka itu pun akan segera berlangsung dalam beberapa hari lagi. Keseriusan kedua belah pihak dalam berlatihlah yang akan menentukan pemenangnya.


***


Hari yang telah dinanti pun tiba, kedua pemuda yang telah serius dalam latihan mereka masing-masing telah berkumpul dan saling melempar pandang dengan mata yang haus kemenangan.

Siang itu, matahari bersinar cukup terik. Meski begitu, itu semua tak menghalangi Mikan dan Yukio untuk tetap berduel di lapangan sekolah di tengah teriknya matahari yang bersinar. Begitu pula dengan para penonton yang tidak lain adalah para siswa, mereka benar-benar bersemangat untuk melihat duel tersebut.

“Oi! Menurutmu siapa yang akan memenangkan pertandingan ini?” Tanya salah seorang siswa pada teman di sebelahnya.

“Tentu saja Yukio! Mana mungkin hanya dalam beberapa hari si buah jeruk (mikan) itu dapat menjadi kuat dalam beberapa hari!” Jawab temannya itu dengan wajah yang begitu yakin.

“Benar! Benar! Shimada-san itu adalah atlet nasional, jadi tidak mungkin dia kalah!” Sahut seorang siswa lain yang tak sengaja mendengar percakapan kedua siswa itu.

“Tidak! Mik-kun pasti akan menang!”

Ketiga siswa tadi melirik ke arah suara itu, dan di sana Aiko tengah berdiri menatap ke tengah lapangan, namun mereka yakin bahwa tadi gadis itu berbicara kepada mereka.

“Anoooo. . . Kenapa kau berpikir dia akan menang?”

“Sudah jelas kan? Dia itu lebih kuat daripada kelihatannya!”

“Heh, tapi mana mungkin si buah jeruk itu ,-“

“Damare!”


ZUW!


Aiko menyegel kepala siswa itu dengan kekkainya karena kesal. Akibatnya, suara sang siswa tidak dapat terdengar karena terhalangi oleh kekkai tersebut.

“Heeeee!” Seru dua temannya yang kaget karena kemampuan Aiko itu. Dan setelah melihat itu, mereka berdua pun menjadi diam.

“Oi! Ribbon-chan! Jangan terlalu kasar pada orang lain.” Ujar Lavina memperingatkan Aiko.

“Hmph! Itu urusanku, lagipula mereka membuatku kesal.”

“Ya sudahlah, terserah kau saja.”

Makoto maju ke tengah-tengah kerumunan para siswa dan berdiri di antara dua orang pemuda yang telah berniat serius dalam duel ini.

“Yooooo-yoooo! Baiklah! Kita segera mulai saja duel kali ini!” Katanya membuka duel.

“Siaaaap. . . Mulai!”


***


Begitu aba-aba dari Makoto datang, aku segera melesat maju dengan pedang kayu di tanganku.

Di depanku, Yukio pun tidak tinggal diam dan ikut mengambil langkah untuk menyerangku. Dalam sekejap, dia lenyap dari pandanganku. Sungguh kecepatan yang luar biasa, memang tidak salah dia menjadi atlet kendo professional.

“Biarpun cepat, aku bisa membaca gerakanmu, Yukio!”


DAK!


Pedang kayu kami berdua saling beradu ketika aku berhasil membaca arah datangnya serangan Yukio. Dia terlihat cukup terkejut dan kagum akan kemampuanku membaca serangannya itu.

“Hoooo. . . Kau ternyata cepat juga dalam bereaksi, tidak salah kau menjadi teman sekaligus lawanku!” Pujinya sambil bergerak mundur.

Yukio kemudian kembali melesat maju ke arahku dengan posisi siap menyerang.

“Aku tidak akan kena seranganmu!”

Aku lengah. Aku mengira Yukio yang tadi telah terbaca serangannya akan langsung menyerang dari depan, namun ternyata aku salah. Dia bergerak menyamping tepat ketika berada di depanku.

“Apa!?”

“Kena kau, Mikan-kun!”


DUAK!


Serangan Yukio kali ini berhasil mengenaiku dan akhirnya mementalkanku jatuh. Namun, aku tidak akan menyerah hanya karena kena satu serangan saja.


DUAK!


Tanpa aku sadari, Yukio telah tiba di hadapanku dan melancarkan serangan berikutnya yang secara telak mengenai tubuhku dan kembali membuatku terpental. Para siswa yang berada di sekitar tempatku jatuh segera memberi celah untukku agar dapat mempunyai ruang dalam pergerakanku.

Aku berusaha bangkit sesegera mungkin untuk melancarkan serangan balasan, namun ,-


DUAK! DUAK! DUAK!


Berkali-kali serangan Yukio mengenaiku - dia benar-benar tidak mengenal belas kasihan. Seluruh bagian tubuhku dan bahkan wajahku tak luput dari serangannya yang bertubi-tubi itu.

“Hah. . . Hah. . .” Aku mulai kehilangan ritme napasku dan sebagian tenagaku pun telah terkuras.

“Payah! Kalau kau terus seperti ini bagaimana kau akan bisa melindunginya!?”

“A-apa maksudmu, Yukio?”


DUAK!


Bukannya menjawab pertanyaanku, Yukio malah kembali menyabetkan pedang kayunya ke arahku dengan keras dan membuatku terpental jauh, bahkan kali ini hingga melewati kerumunan para siswa.

Yukio menghampiriku dengan cepat begitu aku berusaha untuk berdiri dari tempatku jatuh.

“Kalau di sini mereka tidak akan mendengar kita. Jadi akan kukatakan sekali lagi, kau tidak akan pernah bisa melindungi Ryuuji kalau terus-terusan lemah seperti ini!” Kata Yukio kepadaku dengan wajah yang benar-benar serius.

“Ka-Kau, Yukio. . .”

“Akan kuakhiri sampai di sini saja semuanya, selamat tinggal, Mikan-kun.”

Yukio mengangkat pedang kayunya tinggi-tinggi dan telah siap untuk melakukan serangan penghabisan terhadapku. Namun, sebelum itu terjadi, sebuah teriakan keras mengalihkan perhatian kami berdua.

“KYAAAAAAAAAA!”

Teriakan itu berasal dari arah para siswa yang tengah berkumpul.

Sebuah benda misterius kemudian muncul dan menangkap beberapa orang siswi yang ikut menonton. Dan benda itu ternyata adalah sebuah tentakel!

“Eh? Gurita? Kenapa bisa ada gurita di sini?” Tanya Yukio yang benar-benar terkejut dengan kehadiran gurita di lapangan sekolah ini.

Pandanganku sendiri masih samar-samar, namun aku berusaha mencoba melihat gurita berukuran besar itu dengan seksama.

“I-itu kan. . . Lavina!”

Ya, di antara para siswi yang ditangkap oleh tentakel gurita itu salah satunya adalah Lavina!

Para siswa-siswi yang lain terlihat mundur karena ketakutan melihat makhluk bawah laut yang mengerikan itu. Selain itu, mereka juga takut tertangkap dan diapa-apakan oleh makhluk itu.

Perlahan pandanganku mulai kembali jelas seperti semula, dan kemudian kulihat Mimi berlari menghampiriku dengan wajah panik. Pasti ini ada hubungannya dengan kemarin bila Mimi memasang wajah seperti itu, begitu pikirku.

“Ada apa, Mimi-chan?”

“Gawat, Ojii-chan! Makhluk itu menangkap semua orang! Makhluk itu ,-“

“Sebenarnya adalah makhluk yang lolos dari dunia virtual kemarin itu kan?” Kataku menyela penjelasan Mimi.

“Begitulah, seperti Ojii-chan memang sudah bisa menebaknya.”

“Jadi, bagaimana makhluk itu bisa ada di sini?”

“Sebenarnya aku menyiapkan Tako-chin itu untuk latihan Ojii-chan, namanya latihan dalam air, tapi karena Ojii-chan menolak ,-“

“Sudahlah! Lewati saja bagian itu, dan katakan langsung pada intinya.” Kataku kembali menyela penjelasan Mimi.

“Dia kabur karena aku lupa menutup pintu virtual setelah Ojii-chan kembali, aku oikir Ojii-chan telah menutupnya, jadi aku tak mengeceknya.” Jelas Mimi.

“Haaaah. . . Lagi-lagi ada kekacauan seperti ini.” Keluhku dengan diiringi desahan panjang.

“Baiklah, kalau begitu apa boleh buat. Mimi-chan, pinjami aku senjata atau semacamnya untuk melawan Iki-Tako (Gurita Hidup) itu!” Kataku sembari berdiri dan kembali melakukan pemanasan di beberapa bagian tubuhku.

Aku sadar, ini adalah tanggung jawabku karena tidak mengerti cara menutup pintu virtual yang kupakai waktu itu. Jadi, karena aku bukan tipe yang akan lari dari tanggung jawab, aku akan memusnahkan Iki-Tako itu segera dan menyelesaikan duelku!

“Ojii-chan yakin akan pergi?” Tanya Mimi tidak yakin.

“Tentu saja! Ini juga tanggung jawabku, kan?” Kataku meyakinkan Mimi.

“Ba-baiklah kalau begitu, ini senjata yang kau minta.” Mimi memberikan sebuah senjata berbentuk pedang yang diambil dari dalam Box-Box.

“Ini adalah Excali-Excali, pedang bertenaga super yang dapat membelah apapun, bahkan tembok baja sekalipun, jadi hati-hati dalam menggunakannya.” Lanjutnya menjelaskan seraya memperingatkanku.

“Ah! Tenang saja, akan kugunakan dengan baik.” Jawabku sambil menerima pedang itu dari Mimi.

Setelah kugenggam pedang itu dengan tanganku, aku segera berlari ke arah monster gurita yang telah menangkap teman-temanku itu.


***


“Hyaaaah!”

Mikan mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menyerang gurita di depannya.

Sementara itu, Yukio masih terdiam di tempatnya. Dia masih terlihat takjub dengan apa yang baru saja terjadi di hadapan matanya.

“Mikan! Kenapa dia seberani itu dalam kondisi seperti itu? Dan lagi, siapa anak gadis yang tadi berbicara dengannya itu? Dia. . .” Gumamnya dalam hati dengan beberapa pertanyaan yang masih menghantui benaknya.

Di tempat lain, Aiko yang berusaha menolong Lavina dari cengkraman gurita yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka itu ditahan oleh Hazuki.

“Jangan bergerak!” Larang Hazuki dengan suara tegas.

“Kenapa memangnya? Dan lagi kau siapa?” Tanya Aiko yang berwajah panik bercampur cemas.

“Aku adalah ketua OSIS di sekolah ini, dan untuk pertanyaanmu satu lagi, lebih baik kau perhatikan saja bocah pemberani itu.” Jawab Hazuki menyuruh Aiko agar memperhatikan tingkah berani Mikan dalam menyelamatkan Lavina dan beberapa siswi lain.

“Aku tidak akan kalah! Terima ini!” Seru Mikan sembari menyerang salah satu tentakel sang gurita.


ZRASH!


Tentakel itu pun terpotong dan salah seorang siswi yang tertangkap pun berhasil dibebaskan dengan sukses.

“Bagaimana? Kau ingin merasakannya lagi, Tako-chin?”

Mikan kembali menyerang sang gurita, namun kali ini sang gurita membalas serangannya.


DUAK!


Sebuah tentakelnya yang bebas digunakannya untuk memukul jatuh Mikan. Namun meski telah jatuh, Mikan berusaha kembali bangkit dengan sisa-sisa tenaganya.

Mikan berusaha melancarkan sebuah serangan kembali, namun gagal. Akibatnya, dirinyalah yang kembali menerima serangan cambukan tentakel sang gurita.


DUAK! DUAK! DUAK!


Serangan beruntun tanpa henti dilesatkan oleh sang gurita yang tak mau kalah dalam duelnya dengan Mikan. Tubuh Mikan sendiri kini sudah bagaikan sasaran latihan empuk yang dapat digunakan kapan saja.

Setelah beberapa serangan berikutnya, sang gurita pun berhenti menyerang Mikan karena dilihatnya Mikan sudah ambruk tak berdaya dan bahkan tidak bergerak sama sekali.

Semua orang yang masih ada di sana hanya dapat memandang cemas melihat kondisi Mikan yang sudah tak karuan itu. Namun, beberapa saat kemudian Mikan terlihat kembali bergerak.

“Aku tidak akan pernah menyerah!” Seru Mikan sambil kembali bangkit.

“Lihat kan? Dia tidak akan pernah menyerah, jadi sebelum dia yang memintanya kita tidak perlu membantunya.” Kata Hazuki sembari melemparkan pandangan jauh ke arah Yukio.

Dia kemudian melemparkan sebuah senyuman kecil, dan Yukio mengerti arti senyuman tersebut.

“Jadi itu artinya ya. . .” Gumam Yukio pada dirinya sendiri. Tak lama, pedang kayunya lepas dari genggamannya dan jatuh ke permukaan tanah.


***


“Mikan-kun! Jangan kalah oleh gurita itu!”

Suara teriakan Yukio tiba-tiba terdengar masuk ke dalam telingaku. Aku kaget, namun kemudian aku tersenyum senang karena orang itu ternyata telah mengubah pandangannya.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya dapat berubah pikiran secepat itu, tapi yang pasti aku tidak mau mengecewakan rasa percaya itu dan harus segera membuat Takoyaki dengan gurita di depanku ini.

“Terimalah ini Tako-chin!” Seruku seraya melompat tinggi sambil mengarahkan pedang di tanganku ke arah si gurita.


ZRASH!


Dua buah tentakel lain terpotong dengan cepat setelah aku mengayunkan pedang di tanganku bagaikan seorang samurai. Dua orang siswi lagi berhasil dibebaskan.

“Mi-chan! Tolong aku!” Teriak Lavina minta tolong karena masih belum dibebaskan juga.

“Osh! Aku datang, Lavina!”

“Hyaaaaah!”


ZRASH!


Aku berhasil memotong tentakel yang menyandera Lavina, dan membebaskannya dari bekapan sang gurita. Dia kemudian langsung bergerak menjauh begitu terlepas dari cengkraman si gurita.

“A-Arigatou, Mi-chan.” Ucap Lavina berterima kasih sesaat sebelum dia berjalan menjauhiku dan sang gurita.

“Ah! Sekarang saatnya untuk penentuan yang sebenarnya.”

Aku kembali melompat, kali ini aku mengincar kepala sang gurita.


CLEB!


Begitu aku mencapainya, aku segera menancapkan pedangku ke kepalanya dalam-dalam. Makhluk yang kini tengah kunaiki ini mengamuk dan menjerit kesakitan, namun aku mencoba agar tidak jatuh dan terus berpegangan pada pedangku.


ZUW!


Sekerlip cahaya tiba-tiba muncul dari salah satu bagian pedangku. Aku merasa pernah melihat cahaya semacam ini, dan bahkan mengalami peristiwa yang sama, namun aku agak lupa.


ZUUUW!


Beberapa saat kemudian, cahaya itu bersinar semakin terang dan menyilaukan. Saking silaunya, aku lantas menutup kedua mataku agar tak melihatnya karena dapat membutakan mataku.

Setelah kucoba berpikir sesaat, nampaknya aku mulai kembali mengingat di mana aku pernah melihat cahaya semacam ini. Namun, ketika aku mengingatnya semua nampak sudah sangat terlambat.

“Aku ingat! Cahaya ini kalau tidak salah ada pada saat aku melawan para robot la .-“


ZUZUZUZUUUUW!


Belum selesai aku mengucapkan kata-kataku, cahaya itu kemudian berkerlip dengan pijaran yang luar biasa terang dan silau.


DOOOOM!


Pedang yang kugenggam meledak dan berhasil menghancurkan sang gurita bersamanya menjadi potongan-potongan takoyaki siap makan.

Nampaknya, takoyaki sangat enak. Tidak! Maksudku bukan itu! Aku harus bertanya kepada seseorang soal ini, tapi paling tidak aku harus menunggu hingga aku mendarat dulu. Ya, aku diterbangkan ke udara berkat ledakan barusan, namun aku masih bisa bersyukur karena aku tidak mendapat luka yang begitu serius.


BRUK!


Tubuhku jatuh menghantam permukaan tanah dengan cukup keras.

“Ah, Aw! Badanku sepertinya remuk semua.” Kataku sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhku yang mulai terasa.

“Ojii-chan, daijoubu?” Tanya Mimi yang menghampiriku dengan wajah polos.

“Apanya yang tidak apa-apa!? Kenapa pedang tadi meledak!? Aku hampir saja mati tahu.” Tanyaku membentak.

“Ma-Maaf sekali Ojii-chan, aku lupa kalau itu sama dengan Gun-Gun waktu itu, Hehe.” Jawabnya dengan tampang polos tak berdosa.

Hanya desahan napas panjang yang dapat kukeluarkan untuk menanggapi jawaban Mimi yang serba polos itu.

Sekali lagi aku menghela napasku, lalu dengan suara keras aku pun berteriak untuk mengeluarkan semua unek-unekku.

“KENAPA INI SELALU TERJADI KEPADAKUUUU!?”


***


Setelah beberapa hari berlalu, semuanya telah kembali normal.

Normal? Ya, itu adalah kehidupan normal untuk kebanyakan orang. Contohnya saja Mimi dan Aiko. Mereka sudah mulai terbiasa dengan suasana kelas dan dapat dengan cepat bergaul dengan para siswa yang lain.

Sedangkan aku? Ya, kehidupan sekarang memang normal, tapi aku lebih suka menyebutnya berubah dari satu kehidupan normal yang lain ke kehidupan normal yang lainnya. Yah bisa dibilang hidupku sekarang baru saja dimulai kembali.

Lalu Yukio? Setelah kejadian itu dia pulang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ketika aku mengejarnya, Hazuki-senpai menahanku tanpa alasan yang jelas.


SREK!


“Yo, Mikan-kun!”

Suara sapaan di pagi hari sebelum jam pertama dimulai itu mengagetkanku. Apalagi kemudian ternyata yang menyapaku itu adalah Yukio.

“Yo, Yukio!” Sahutku membalas menyapanya.

“Terima kasih untuk semua bantuannya! Pertarungan kita beberapa hari lalu itu kuanggap seri, jadi aku akan datang lagi dan menantangmu! Ingat itu, Mikan-kun!” Kata Yukio sambil membungkukkan badannya di hadapan seluruh siswa yang memandang dengan kaget.

“Ah! Tentu saja! Datang lagi kapan saja! Saat itu aku juga berjanji akan menjadi lebih hebat daripada sebelumnya! Aku juga ucapkan terima kasih.” Kataku yang ikut-ikutan membungkukkan badan.

Setelah salam perpisahan di antara para lelaki itu, Yukio memutuskan untuk kembali ke asrama agar dapat kembali berlatih demi kejuaraannya.

Semua siswa terlihat bingung dengan apa yang terjadi, namun aku hanya bisa tersenyum lega saja menanggapi sikap mereka.

“Arigatou na, Mimi-chan.” Ucapku pelan setelah Yukio pergi dari kelas.

“Eh? Apa yang kau katakan tadi, Ojii-chan?”

“Ah tidak, tak ada apa-apa.”

“Eh, curang! Tapi kau tadi mengatakan sesuatu kaaan?”

“Tidak kok, aku cuma berbicara sendiri.”

“Tapi berarti itu kau memang bicara sesuatu kan?”

“Ya, mungkin, hahaha!”

Begitulah hari-hariku sekarang. Hari-hari yang kini kulewati diwarnai dengan berbagai peristiwa yang bahkan tidak akan pernah terbayangkan oleh semua orang. Meski begitu aku tetap senang, karena mungkin inilah keajaiban yang selama ini kuharapkan dalam hidupku.


***


Di gerbang depan sekolah, Yukio berpapasan dengan Hazuki.

“Kau memang benar, aku memang terbantu olehnya.” Katanya sambil melemparkan senyuman kecil.

“Kalimatmu itu tidak penting. Kalau kau memang sudah mengerti segeralah pergi dan menangkan kejuaraan itu!” Kata Hazuki mencoba memotivasi Yukio.

“Hm! Aku akan buktikan pada semua orang kalau aku akan menang, terutama kepadamu dan orang itu.”

“Itu bagus.” Puji Hazuki melihat semangat Yukio yang membara.

“Karena itu. . . Karena itu biarkan aku berduel dengannya sekali lagi!” Pinta Yukio dengan wajah serius.

“Hm! Kapan saja kau boleh datang kalau kau memang berhasil memenangkannya!” Jawab Hazuki tanpa ragu.

“Terima kasih Hazuki-senpai!”

Yukio membungkukkan badannya lagi pertanda bahwa dia benar-benar berterimakasih atas segala jasa sang seniornya itu.

“Sama-sama.”

“Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa!” Ucap Yukio berpamitan.

“Hm, sampai jumpa!” Balas Hazuki singkat.

Dengan langkah yang penuh keyakinan dan rasa percaya diri, Yukio melangkah pergi dari sekolahnya untuk kembali ke kejuaraan yang diikutinya.

Tak lama setelah kepergiannya itu, Hanzo muncul bak bayangan.

“Bagaimana dengan anak itu?” Tanyanya kepada Hazuki.

“Dia sudah baik-baik saja.” Jawab Hazuki yakin.

“Baguslah. Lalu bagaimana dengan anak pindahan bernama Mimi itu?”

“Oh, dia? Semakin hari pergerakannya semakin misterius, ini benar-benar menggangguku.”

“Begitu? Kalau memang seperti itu, kuserahkan semuanya padamu.”

“Hm. Terima kasih, aku pasti akan mengungkap siapa sebenarnya gadis bernama Mimi itu.”


***


Kembali bersamaku, Mikan Kyoretsu sebagai narator utama dalam kisah ini.

Setelah memperoleh kepercayaan diri akibat duelnya denganku, Yukio akhirnya berhasil menjuarai kejuaraan yang selama ini diimpikannya dan tampil sebagai atlet professional. Hidupnya benar-benar berakhir dengan bahagia.

Meskipun begitu, itu semua sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan kehidupanku.

Berbeda dengan kehidupannya, kehidupanku justru masih diselimuti banyak sekali misteri dan masih belum terlihat ending yang akan aku terima.

Yah, meskipun berat, aku akan terus menjalaninya. Kenapa? Karena inilah hidupku!

“Pemalas! Berhenti berbicara sendiri dan segera turun untuk makan malam!”

Ah, adik kesayanganku sudah memanggilku. Jadi, maaf untuk hari ini narasiku cukup sampai di sini saja.

“Haaaai! Hikari-chan, aku datang!”

“Jangan panggil aku dengan panggilan sok akrab begitu!”

“A-ah, maaf, Hikari-chan.”

“Kau ini sengaja ya!?”

“Hahahaha!”


TSUZUKU. . .

Fu-Fam - Time III -

Posted by : NAKAMORI KYORYUU
Date :Rabu, 13 Juli 2011
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲