LOVE I
***
***
Setiap orang pasti pernah bermimpi dan memiliki mimpi. Meskipun pada
setiap orang berbeda, entah itu bentuk mimpi itu sendiri atau tentang
seberapa berharganya mimpi itu bagi mereka. Tapi, yang pasti adalah
bahwa paling tidak meski sebentar, sejenak, sekejap, semua orang pasti
pernah memiliki mimpi. Begitupun diriku.
Seiring dengan berjalannya waktu, kadangkala mimpi setiap orang dapat
berubah. Mimpi atau bunga tidur yang kita lihat setiap kali terlelap
itu adalah suatu yang pasti - setiap kali pasti akan berubah. Dan tentu
saja, mimpi yang kubicarakan bukanlah tentang suatu seperti ilusi yang
hanya dapat kita ingat dalam kepala, dan bahkan tidak dapat
menangkapnya. Sesuatu itu adalah suatu yang ada di hadapan mata kita,
namun kadang tidak bisa kita lihat karena kita tidak menyadarinya.
Enam belas tahun hidup di dunia. Bagi sebagian besar orang mungkin
itu waktu yang sebentar - terutama untuk orang dewasa yang usianya jauh
lebih tua daripada kami, para anak muda. Tapi bagi kami, usia bukanlah
suatu ukuran untuk lama tidaknya kami telah berada di dunia. Yang paling
penting, adalah seberapa banyak orang yang telah kami temui, seberapa
besar perubahan yang telah kami lakukan dengan tangan kami. Dengan
menoleh ke belakang dan memandang semuanya itu, kami dapat menyadari
betapa lamanya telah melalui waktu sendirian dan tanpa bisa melakukan
apapun. Ataupun, kami dapat menyadari bahwa betapa sebentar dan
berharganya waktu kami dengan bertemu orang-orang di sekitar kami,
meskipun tak jarang yang kami perbuat hanyalah perbuatan konyol yang
tidak berguna.
Aku adalah salah satu dari bagian dari mereka - salah seorang pemuda,
yang entah telah atau masih mencari jati diri sendiri demi bisa
memandang masa depan tanpa harus takut menatap silaunya cahaya matahari,
ataupun tanpa harus takut basah ketika mendung mengubah langit menjadi
kelabu pertanda akan datangnya hujan.
Ketika masih kecil, aku masih ingat bagaimana aku menjalani hidup.
Begitu ringan tanpa beban, tanpa ada seseorang di sekitarmu yang
mengharapkanmu untuk melakukan sesuatu yang besar, meskipun yah mereka
tetap menginginkanmu tumbuh menjadi seseorang yang besar. Tapi, meskipun
sebenarnya hal itu ada, aku, dan bahkan orang-orang lainnya di luar
sana, tak pernah merasa dan mempermasalahkannya. Dengan tangan kecil
yang belum dapat menjangkau apapun, bagaimana kita tahu tentang semua
itu?
Di saat itu pula, sesuatu dari dalam diri kita - tepatnya di dalam
hati kita, bergejolak. Melihat semua orang di samping kita tersenyum,
dapat melakukan apapun sesuka mereka, maka sebuah pemikiran naïf dan
keinginan yang egois pun muncul.
“Aaaah. . . Ketika dewasa aku ingin seperti dia yang bisa seperti
itu, ataupun seperti dia yang memiliki apapun.” Sebuah kalimat yang
membuat orang tua, keluarga, dan bahkan orang lain pun tertawa
mendengarnya. Kata-kata dari seorang bocah yang belum mengenal pahitnya
kehidupan dan beratnya kenyataan yang akan dipanggulnya nanti ketika dia
tumbuh dewasa.
Begitulah aku tumbuh selama enam belas tahun ini. Dengan dibesarkan
oleh kedua orang tua yang bekerja di sebuah perusahaan percetakan dan
majalah terkenal, aku dibuat serba tahu oleh mereka. Mereka selalu
memperlihatkan hasil kerja mereka kepadaku dengan senyum dari wajah
mereka yang berkeringat.
“Lihat, Haru! Ini adalah artikel yang ayah tulis bulan ini, bagus
kan?” Ujar ayahku dengan bangga dengan memperlihatkan beberapa halaman
majalah dari tempatnya bekerja. Kata-kata yang bersemangat, mata yang
berkilauan ketika membolak-balik halaman demi halaman itu masih terus
menempel di ingatanku hingga kini, meski sekarang aku tidak dapat
melihatnya lagi.
Kenapa?
Ya, itu semua karena setelah memasuki masa SMA, aku memilih untuk
hidup sendiri di luar kota dan menguji diriku. Apakah semua yang telah
mereka curahkan, dan semua yang telah mereka torehkan dalam lembaran
demi lembaran kertas itu telah memberiku sesuatu, atau mungkin aku hanya
membebani mereka? Dengan pemikiran seperti itu, aku memutuskan untuk
lebih memilih tinggal di sebuah kamar di sebuah apartemen sederhana di
pinggiran kota.
Sejujurnya kupikir bahwa kota yang kutinggali sekarang adalah tempat
yang ramai. Tapi, setelah beberapa lama tinggal di sini, rasanya tidak
mendengarkan ocehan kedua orangtuaku tentang isi majalah yang mereka
kerjakan rasanya sepi juga. Paling tidak itu membuatku selalu update dengan dunia luar, meskipun memang aku tidak memiliki terlalu banyak lawan bicara untuk saling berbagi informasi itu.
Ya, aku ini adalah tipe orang yang sangat pendiam. Aku hanya
berbicara ketika ada orang yang mengajakku bicara, ataupun ketika aku
ingin berbicara kepada orang tersebut. Bagiku hanya membuang energi bila
capek-capek kita mencoba berbicara kepada seseorang yang bahkan tak
ingin berbicara kepada kita. Meskipun bagi sebagian besar orang
menganggap semua itu aneh, tapi bagiku menjadi diriku sendiri adalah
yang terbaik. Untuk apa berubah menjadi diri kita yang tercermin ketika
kita berkaca kalau memang kita hidup di dunia nyata, bukan dunia cermin?
Di sekolah pun aku hanya memiliki beberapa teman dekat. Sekalipun
dibilang begitu, entah dalam hatiku apa pernah menganggap diriku itu
benar-benar memiliki teman atau tidak. Tapi paling tidak, seseorang yang
dapat kuajak bicara dengan bebas tanpa perlu menjadi orang lain bisa
kusebut seorang teman.
“Yo! Haru! Hari ini kau terlihat tidak terlalu sehat, apa ada masalah? Keuangan. . . atau masalah cinta mungkin? Hahaha!”
Orang yang baru saja menyapa dan menggodaku ini adalah Yukihiro
Minamoto, enam belas tahun dan adalah teman satu apartemenku. Orang yang
sangat misterius, dan muncul tiba-tiba entah dari mana. Seperti
sekarang, bukannya muncul dan berangkat bersama dari apartemen, dia
malah muncul dan menggodaku di taman yang letaknya tidak jauh dari
sekolah.
“Kau ini Yuki! Selalu saja muncul dari manapun, dan lagi aku sama sekali tidak ada masalah.” Jawabku tegas.
“Hooo. . . Tapi sepertinya suasana hatimu memang sedang tidak baik
ya? Apa ada masalah lagi dengan Akuma-chan? Kalian bertengkar lagi, ya
kan?”
“Meskipun bertengkar, tapi itu hanya dalam sms saja, jadi tidak usah khawatir.”
“Justru itu yang aku sangat khawatirkan. Kalian jarang sekali bicara
dan hanya bertukar pesan lewat handphone, jadi kalau bertengkar seperti
ini bagaimana jadinya nanti?”
“Kubilang sudah tidak usah khawatir.”
“Yaaah, kau memang seperti itu sih, ya sudahlah. Tapi, kalau ada
sesuatu jangan pernah ragu untuk meminta tolong kepadaku, ya? Ya? Ya?”
“Aku mengerti, jadi lebih baik kita cepat ke sekolah.”
Meminta bantuan kepadanya ya? Itu pasti akan jadi pilihan terakhir bagiku.
Semua orang buta akan perasaan mereka. Sebenarnya mungkin itulah yang
paling aku inginkan saat ini. Tapi, kukira hanya aku dan orang bodoh di
sampingku ini yang merasakan hal itu. Atau mungkin, hanya dia seorang
yang tidak pernah menyadarinya, sadar akan kehadiran sepasang mata yang
selalu mengawasinya dan memandangnya dengan perasaan yang tak pernah
tersampaikan.
“Hoooo! Lihat itu, Haru! Akuma-chan! Dia hari ini juga benar-benar
kawaii ~ ! Kau tidak mau menyapanya?” Tanya Yukihiro bersemangat.
“Ah, aku pas saja, lagipula setelah bertengkar mana mungkin dia mau melihatku dengan segera.” Jawabku pasrah.
“Kalau begitu aku sendiri yang akan menyapanya. Akuma-chaaaaaan ~ !”
“SUDAH KUBILANG JANGAN MEMANGGILKU SEPERTI ITU KAN!?” Gadis yang
dipanggil Akuma oleh kawanku itu menggembung kedua belah pipinya
pertanda kesal. Dia memandang kesal pada Yukihiro karena memanggilnya
dengan nama itu. Ya, dia terus memandangnya tanpa kenal lelah, bahkan
walaupun si bodoh itu tidak pernah menyadarinya. . .
Sesuatu yang ada di hadapanmu, tapi kau tidak pernah dapat melihat
dan menyadari keberadaannya. Sesuatu yang sangat kau inginkan dan ada di
depan matamu, tapi sekuat apapun kau merentangkan tanganmu, kau tak
akan pernah dapat menggapainya. Keduanya memang berbeda, tapi bagiku
semua itu sama saja, yang berbeda hanyalah sudut pandang dan apa yang
kau rasakan ketika itu. Sama sepertiku dan Yukishiro, kami berdua ada
dalam posisi itu tapi tentu saja kami merasakan hal yang sangat berbeda.
Si bodoh yang selalu melakukan hal konyol yang tidak pernah takut
akan melukai seseorang, dan seseorang yang begitu menghargai sesuatu
yang diinginkannya dan tidak ingin sesuatu itu hancur, begitulah kami
berdua adanya. Kami berada dan berjalan di jalan setapak yang sama, tapi
kemudian berbelok di persimpangan berbeda dan tiba di tujuan yang
berbeda. Apa yang kami lihat tentu saja berbeda, meski sebenenarnya aku
tidak yakin bahwa orang itu sadar bahwa dia berjalan ke arah yang
berbeda. Tapi, sebenarnya aku pun tidak tahu apakah di ujung jalan ini
benar-benar ada persimpangan dan kami berbelok ke arah yang berbeda atau
tidak. Aku hanya merasa seperti itu. Ya, hanya seperti itu saja.
“Akuma-chan, lihat! Lihat! Haru-kun melihatmu dengan pandangan
seperti orang mesum lhoooo ~” Goda Yukihiro pada gadis yang bernama asli
Fuyumi itu.
“Oi! Yuki! Aku sama sekali tidak menatapnya begitu! Maafkan Yuki, dia
memang suka berbohong begitu. Ah, tapi tentu saja kau sudah tahu, ya
kan? Hahaha!” Aku tertawa dengan memasang raut wajah palsu ketika
menghampiri mereka berdua. Aku berbicara seolah-olah ini semua adalah
hal yang biasa, padahal sebenarnya memanggil namanya pun aku butuh
keberanian ekstra. Tapi entah mengapa, bila orang bodoh ini ada di
sebelahku aku merasa senang karena bisa berbicara dengan Fuyumi tanpa
beban. Meski memang, hatiku terasa sedikit sakit ketika berada di antara
mereka berdua.
“Tapi bukannya sedari tadi kau masih mengeluh karena bertengkar dengan Akuma-chan, ya?”
“Yuki! Itu rahasia! Jangan diberitahukan langsung kepada orangnya! Sssssst!”
“Lihat! Dia memang orang yang seperti itu, Akuma-chan! Beruntung
sekali kalian hanya bertukar pesan dan kau tidak harus berbicara
dengannya setiap hari seperti aku. Jujur kuakui, dia memang orang yang
sangat sulit diajak bicara.”
“Yuki! Sudah cukup! Kau terlalu banyak bicara! Lihat, Fuyumi-chan pasti akan terganggu, ya. . . kan?”
Sebuah bulan sabit bersinar di wajahnya. Ah, maksudku sebuah senyuman
terukir di wajahnya yang biasanya selalu terlihat dingin. Sedikit demi
sedikit wajahnya terasa memancarkan sebuah kehangatan yang sangat jarang
sekali kulihat.
“Lihat kan? Akuma-chan saja tertawa! Kau pasti berbakat menjadi
seorang pelawak!” Yukihiro menepuk pundakku dan tertawa kecil
menggodaku.
“Yuki! Kau ini memang -“
“Sudah cukup kalian berdua. Kau juga yang salah, Yuki-daruma!”
“Ah, Akuma-chan, sudah kubilang jangan pernah memanggilku lagi dengan nama itu kan!”
“Kau sendiri yang mulai dengan memanggilku dengan nama aneh itu, jadi kau tidak berhak untuk protes! Weee!”
“Huuuh. . . Ya sudahlah, aku mengaku bersalah. Kalau begitu untuk
permintaan maaf, makan siang kali ini aku yang akan traktir! Kalian
berdua pasti tidak ada yang membawa bekal kaaan?”
“Ah! Yuki! Benar kau menraktir kami berdua?” Tanyaku dengan sangat berharap.
“Oh! Tentu saja, Haru! Hidup sendiri memang berat, aku juga
merasakannya.” Jawab Yukihiro membuat perutku, maksudku hatiku bernyanyi
dengan riang. Bagi seseorang yang hidup sendiri, sebuah ajakan untuk
menyantap makan dengan gratis adalah suatu berkah yang sangat
diharapkan. Yah, setidaknya itu menurutku, entah dengan yang lain.
“Aku sih bisa saja, tapi perlu diingat kalau aku ini tinggal di rumah
bersama orangtuaku, tidak seperti kalian para pria yang selalu ditemani
dengan selimut dan melawan kesepian tiap malam.”
“Hai, hai, hai. Aku mengerti, Akuma-chan.”
“Ah! Kau memanggilku dengan nama itu lagi! Harus kupastikan kalau
makan siang besok, dan besoknya lagi kau juga harus mentraktir kami!”
“Eh!? Aku bisa bangkrut kalau seperti itu. . .”
“Oh ya? Mana aku tahu kalau begitu. Lagipula, memang aku peduli. Hh!”
“Sabar saja Yuki. Dia memang begitu, kau pasti sangat tahu kan?”
Kutepuk bahu Yukihiro berusaha menenangkannya, meski sebenarnya aku
bermaksud menggodanya balik.
“Itu sama sekali tidak menenangkanku! Kau menggodaku saja, ya kan?”
“Sudahlah kalian berdua. Sampai kapan kalian mau berada di sana, sebentar lagi jam pertama akan dimulai kan? Ayo kita bergegas!”
“Ah kau benar, Akuma-chan! Sudah jam segini, ayo kita cepat masuk
kelas, Haru!” Yukihiro melihat jam tangannya dan mulai berlari menyusul
Fuyumi yang berjalan lebih dahulu.
“Oh ya, karena Yuki akan mentraktir, bagaimana kalau kita mengundang
dia juga?” Usulku dengan suara keras seraya berlari menghampiri kedua
orang yang telah berada di depanku itu. Seketika itu pula, langkah kaki
mereka yang bergegas tiba-tiba terhenti. Keduanya menundukkan kepala
mereka. Bukan untuk melihat lantai ataupun mencari sesuatu yang hilang,
tapi karena aku kelepasan mengatakan hal yang seharusnya tak aku
katakan.
Ya, ‘orang itu’ yang kumaksudkan tidak lain adalah orang itu. Dia
adalah seseorang yang mampu membuat Yuki yang selalu tenang tanpa
memikirkan apapun lepas kendali. Dia mampu membuatnya lari menembus
hujan, bahkan membuat air matanya mengalir seperti hujan yang membasahi
tanah. Tapi, dia juga yang dapat membuat Yuki tersenyum lebih cerah
daripada bulan sabit di malam hari seperti yang barusan kulihat di wajah
Fuyumi. Ya, dia tidak lain adalah ‘Aki-san’, Akiko Yamada.
Ketika membicarakan Akiko, semuanya terasa terbalik. Bukan bagiku,
tapi bagi Yukishiro yang kemungkinan akan kembali menyusuri jalan yang
aku dan dia tempuh atau mungkin dia akan masuk ke dunia di dalam cermin
dimana semuanya merefleksikan kebalikannya - kebalikan antara posisiku
dan posisinya tentunya. Apa yang terjadi sebenarnya di antara mereka
berdua? Aku masih belum bisa menjelaskannya sekarang.
“Ah, maaf Yuki, aku mengatakan sesuatu yang ,-“
“Tidak apa-apa, daripada itu lebih baik kita segera masuk kelas.”
Yukihiro mengatakan itu dengan senyum tipis yang kaku di wajahnya.
Ketika melihatnya, aku merasa mendengar suatu suara dari dalam hatinya.
Suara seperti sesuatu yang retak dan akan hancur bila dia tidak memasang
senyuman itu. Entah itu berasal dari hatinya, atau jiwanya, tapi
mungkin berasal dari keduanya.
“Sudahlah, Haru-kun! Benar kata si bodoh ini, kita segera masuk saja.”
Sekali lagi, meski sedikit saja tapi ajakan halus dan senyuman di
wajah Fuyumi menghilangkan rasa bersalahku. “Hm! Ayo kita semuanya
masuk! Ooooosh!”
Begitulah akhirnya kami bertiga melangkah menuju kelas. Dengan topeng
raut wajah palsu, kami terus berjalan menyusuri lorong menuju ruangan
kelas, tanpa sedikitpun ingin memperlihatkan bagaimana rupa kami yang
asli kepada masing-masing.
***
Suasana belajar berjalan sebagaimana biasanya. Sunyi, senyap, dan
sangat tenang ketika guru di depan menjelaskan, bahkan bagi sebagian
penghuni kelas suasana ini sangaaaatlah tenang. Di barisan paling ujung
dan bangku paling belakang, Yukihiro dengan nyamannya menyelam ke dalam
dunia mimpinya. Yah, begitulah yang dilakukannya di sela-sela pelajaran,
dan itu hampir setiap hari terjadi. Aku sering sekali terpikir,
sebenarnya apa yang dilakukannya tiap malam hingga paginya dia dapat
tidur seperti orang mati begitu? Belajar kah? Tapi, kuyakin bukan itu.
Meskipun begitu, biarpun hanya sekilas, tapi aku seperti melihat wajah
seseorang yang kelelahan setelah berjuang keras.
Begitulah hari-hari kami sebagai seorang siswa berlalu. Ada saatnya
kami belajar dengan serius, dan ada saatnya kami bertingkah bodoh dan
konyol hanya untuk menghibur diri kami walaupun sesaat setelah berjuang
keras. Ya, berjuang untuk meraih mimpi yang kami miliki. Sesuatu yang
tidak dapat kami lihat dengan mata tapi dapat dirasakan dan dibayangkan.
Dan meski kami tahu bahwa hari-hari setelah ini akan jauh lebih berat
dari sebelumnya, kami tetap berjuang keras merentangkan tangan kami demi
melukis mimpi kami menjadi sesuatu yang nyata dan dapat dilihat oleh
semua orang, bukan hanya kami seorang. Dengan pemikiran seperti itu, aku
pun tersenyum sembari melihat birunya langit dari balik jendela kelas.
0 komentar:
Posting Komentar