I Kiss You^^ - Ai no Kisetsu ~ Yuugata no Yuuhi - Love I

| Senin, 02 Juli 2012
LOVE I

***

BOKURA NO HIBI ~ OUR DAYS

 ***

Setiap orang pasti pernah bermimpi dan memiliki mimpi. Meskipun pada setiap orang berbeda, entah itu bentuk mimpi itu sendiri atau tentang seberapa berharganya mimpi itu bagi mereka. Tapi, yang pasti adalah bahwa paling tidak meski sebentar, sejenak, sekejap, semua orang pasti pernah memiliki mimpi. Begitupun diriku.

Seiring dengan berjalannya waktu, kadangkala mimpi setiap orang dapat berubah. Mimpi atau bunga tidur yang kita lihat setiap kali terlelap itu adalah suatu yang pasti - setiap kali pasti akan berubah. Dan tentu saja, mimpi yang kubicarakan bukanlah tentang suatu seperti ilusi yang hanya dapat kita ingat dalam kepala, dan bahkan tidak dapat menangkapnya. Sesuatu itu adalah suatu yang ada di hadapan mata kita, namun kadang tidak bisa kita lihat karena kita tidak menyadarinya.
Enam belas tahun hidup di dunia. Bagi sebagian besar orang mungkin itu waktu yang sebentar - terutama untuk orang dewasa yang usianya jauh lebih tua daripada kami, para anak muda. Tapi bagi kami, usia bukanlah suatu ukuran untuk lama tidaknya kami telah berada di dunia. Yang paling penting, adalah seberapa banyak orang yang telah kami temui, seberapa besar perubahan yang telah kami lakukan dengan tangan kami. Dengan menoleh ke belakang dan memandang semuanya itu, kami dapat menyadari betapa lamanya telah melalui waktu sendirian dan tanpa bisa melakukan apapun. Ataupun, kami dapat menyadari bahwa betapa sebentar dan berharganya waktu kami dengan bertemu orang-orang di sekitar kami, meskipun tak jarang yang kami perbuat hanyalah perbuatan konyol yang tidak berguna.

Aku adalah salah satu dari bagian dari mereka - salah seorang pemuda, yang entah telah atau masih mencari jati diri sendiri demi bisa memandang masa depan tanpa harus takut menatap silaunya cahaya matahari, ataupun tanpa harus takut basah ketika mendung mengubah langit menjadi kelabu pertanda akan datangnya hujan.

Ketika masih kecil, aku masih ingat bagaimana aku menjalani hidup. Begitu ringan tanpa beban, tanpa ada seseorang di sekitarmu yang mengharapkanmu untuk melakukan sesuatu yang besar, meskipun yah mereka tetap menginginkanmu tumbuh menjadi seseorang yang besar. Tapi, meskipun sebenarnya hal itu ada, aku, dan bahkan orang-orang lainnya di luar sana, tak pernah merasa dan mempermasalahkannya. Dengan tangan kecil yang belum dapat menjangkau apapun, bagaimana kita tahu tentang semua itu?

Di saat itu pula, sesuatu dari dalam diri kita - tepatnya di dalam hati kita, bergejolak. Melihat semua orang di samping kita tersenyum, dapat melakukan apapun sesuka mereka, maka sebuah pemikiran naïf dan keinginan yang egois pun muncul.

“Aaaah. . . Ketika dewasa aku ingin seperti dia yang bisa seperti itu, ataupun seperti dia yang memiliki apapun.” Sebuah kalimat yang membuat orang tua, keluarga, dan bahkan orang lain pun tertawa mendengarnya. Kata-kata dari seorang bocah yang belum mengenal pahitnya kehidupan dan beratnya kenyataan yang akan dipanggulnya nanti ketika dia tumbuh dewasa.

Begitulah aku tumbuh selama enam belas tahun ini. Dengan dibesarkan oleh kedua orang tua yang bekerja di sebuah perusahaan percetakan dan majalah terkenal, aku dibuat serba tahu oleh mereka. Mereka selalu memperlihatkan hasil kerja mereka kepadaku dengan senyum dari wajah mereka yang berkeringat.

“Lihat, Haru! Ini adalah artikel yang ayah tulis bulan ini, bagus kan?” Ujar ayahku dengan bangga dengan memperlihatkan beberapa halaman majalah dari tempatnya bekerja. Kata-kata yang bersemangat, mata yang berkilauan ketika membolak-balik halaman demi halaman itu masih terus menempel di ingatanku hingga kini, meski sekarang aku tidak dapat melihatnya lagi.

Kenapa?

Ya, itu semua karena setelah memasuki masa SMA, aku memilih untuk hidup sendiri di luar kota dan menguji diriku. Apakah semua yang telah mereka curahkan, dan semua yang telah mereka torehkan dalam lembaran demi lembaran kertas itu telah memberiku sesuatu, atau mungkin aku hanya membebani mereka? Dengan pemikiran seperti itu, aku memutuskan untuk lebih memilih tinggal di sebuah kamar di sebuah apartemen sederhana di pinggiran kota.

Sejujurnya kupikir bahwa kota yang kutinggali sekarang adalah tempat yang ramai. Tapi, setelah beberapa lama tinggal di sini, rasanya tidak mendengarkan ocehan kedua orangtuaku tentang isi majalah yang mereka kerjakan rasanya sepi juga. Paling tidak itu membuatku selalu update dengan dunia luar, meskipun memang aku tidak memiliki terlalu banyak lawan bicara untuk saling berbagi informasi itu.

Ya, aku ini adalah tipe orang yang sangat pendiam. Aku hanya berbicara ketika ada orang yang mengajakku bicara, ataupun ketika aku ingin berbicara kepada orang tersebut. Bagiku hanya membuang energi bila capek-capek kita mencoba berbicara kepada seseorang yang bahkan tak ingin berbicara kepada kita. Meskipun bagi sebagian besar orang menganggap semua itu aneh, tapi bagiku menjadi diriku sendiri adalah yang terbaik. Untuk apa berubah menjadi diri kita yang tercermin ketika kita berkaca kalau memang kita hidup di dunia nyata, bukan dunia cermin?

Di sekolah pun aku hanya memiliki beberapa teman dekat. Sekalipun dibilang begitu, entah dalam hatiku apa pernah menganggap diriku itu benar-benar memiliki teman atau tidak. Tapi paling tidak, seseorang yang dapat kuajak bicara dengan bebas tanpa perlu menjadi orang lain bisa kusebut seorang teman.

“Yo! Haru! Hari ini kau terlihat tidak terlalu sehat, apa ada masalah? Keuangan. . . atau masalah cinta mungkin? Hahaha!”

Orang yang baru saja menyapa dan menggodaku ini adalah Yukihiro Minamoto, enam belas tahun dan adalah teman satu apartemenku. Orang yang sangat misterius, dan muncul tiba-tiba entah dari mana. Seperti sekarang, bukannya muncul dan berangkat bersama dari apartemen, dia malah muncul dan menggodaku di taman yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

“Kau ini Yuki! Selalu saja muncul dari manapun, dan lagi aku sama sekali tidak ada masalah.” Jawabku tegas.

“Hooo. . . Tapi sepertinya suasana hatimu memang sedang tidak baik ya? Apa ada masalah lagi dengan Akuma-chan? Kalian bertengkar lagi, ya kan?”

“Meskipun bertengkar, tapi itu hanya dalam sms saja, jadi tidak usah khawatir.”

“Justru itu yang aku sangat khawatirkan. Kalian jarang sekali bicara dan hanya bertukar pesan lewat handphone, jadi kalau bertengkar seperti ini bagaimana jadinya nanti?”

“Kubilang sudah tidak usah khawatir.”

“Yaaah, kau memang seperti itu sih, ya sudahlah. Tapi, kalau ada sesuatu jangan pernah ragu untuk meminta tolong kepadaku, ya? Ya? Ya?”

“Aku mengerti, jadi lebih baik kita cepat ke sekolah.”

Meminta bantuan kepadanya ya? Itu pasti akan jadi pilihan terakhir bagiku.

Semua orang buta akan perasaan mereka. Sebenarnya mungkin itulah yang paling aku inginkan saat ini. Tapi, kukira hanya aku dan orang bodoh di sampingku ini yang merasakan hal itu. Atau mungkin, hanya dia seorang yang tidak pernah menyadarinya, sadar akan kehadiran sepasang mata yang selalu mengawasinya dan memandangnya dengan perasaan yang tak pernah tersampaikan.

“Hoooo! Lihat itu, Haru! Akuma-chan! Dia hari ini juga benar-benar kawaii ~ ! Kau tidak mau menyapanya?” Tanya Yukihiro bersemangat.

“Ah, aku pas saja, lagipula setelah bertengkar mana mungkin dia mau melihatku dengan segera.” Jawabku pasrah.

“Kalau begitu aku sendiri yang akan menyapanya. Akuma-chaaaaaan ~ !”

“SUDAH KUBILANG JANGAN MEMANGGILKU SEPERTI ITU KAN!?” Gadis yang dipanggil Akuma oleh kawanku itu menggembung kedua belah pipinya pertanda kesal. Dia memandang kesal pada Yukihiro karena memanggilnya dengan nama itu. Ya, dia terus memandangnya tanpa kenal lelah, bahkan walaupun si bodoh itu tidak pernah menyadarinya. . .

Sesuatu yang ada di hadapanmu, tapi kau tidak pernah dapat melihat dan menyadari keberadaannya. Sesuatu yang sangat kau inginkan dan ada di depan matamu, tapi sekuat apapun kau merentangkan tanganmu, kau tak akan pernah dapat menggapainya. Keduanya memang berbeda, tapi bagiku semua itu sama saja, yang berbeda hanyalah sudut pandang dan apa yang kau rasakan ketika itu. Sama sepertiku dan Yukishiro, kami berdua ada dalam posisi itu tapi tentu saja kami merasakan hal yang sangat berbeda.

Si bodoh yang selalu melakukan hal konyol yang tidak pernah takut akan melukai seseorang, dan seseorang yang begitu menghargai sesuatu yang diinginkannya dan tidak ingin sesuatu itu hancur, begitulah kami berdua adanya. Kami berada dan berjalan di jalan setapak yang sama, tapi kemudian berbelok di persimpangan berbeda dan tiba di tujuan yang berbeda. Apa yang kami lihat tentu saja berbeda, meski sebenenarnya aku tidak yakin bahwa orang itu sadar bahwa dia berjalan ke arah yang berbeda. Tapi, sebenarnya aku pun tidak tahu apakah di ujung jalan ini benar-benar ada persimpangan dan kami berbelok ke arah yang berbeda atau tidak. Aku hanya merasa seperti itu. Ya, hanya seperti itu saja.

“Akuma-chan, lihat! Lihat! Haru-kun melihatmu dengan pandangan seperti orang mesum lhoooo ~” Goda Yukihiro pada gadis yang bernama asli Fuyumi itu.

“Oi! Yuki! Aku sama sekali tidak menatapnya begitu! Maafkan Yuki, dia memang suka berbohong begitu. Ah, tapi tentu saja kau sudah tahu, ya kan? Hahaha!” Aku tertawa dengan memasang raut wajah palsu ketika menghampiri mereka berdua. Aku berbicara seolah-olah ini semua adalah hal yang biasa, padahal sebenarnya memanggil namanya pun aku butuh keberanian ekstra. Tapi entah mengapa, bila orang bodoh ini ada di sebelahku aku merasa senang karena bisa berbicara dengan Fuyumi tanpa beban. Meski memang, hatiku terasa sedikit sakit ketika berada di antara mereka berdua.

“Tapi bukannya sedari tadi kau masih mengeluh karena bertengkar dengan Akuma-chan, ya?”

“Yuki! Itu rahasia! Jangan diberitahukan langsung kepada orangnya! Sssssst!”

“Lihat! Dia memang orang yang seperti itu, Akuma-chan! Beruntung sekali kalian hanya bertukar pesan dan kau tidak harus berbicara dengannya setiap hari seperti aku. Jujur kuakui, dia memang orang yang sangat sulit diajak bicara.”

“Yuki! Sudah cukup! Kau terlalu banyak bicara! Lihat, Fuyumi-chan pasti akan terganggu, ya. . . kan?”

Sebuah bulan sabit bersinar di wajahnya. Ah, maksudku sebuah senyuman terukir di wajahnya yang biasanya selalu terlihat dingin. Sedikit demi sedikit wajahnya terasa memancarkan sebuah kehangatan yang sangat jarang sekali kulihat.

“Lihat kan? Akuma-chan saja tertawa! Kau pasti berbakat menjadi seorang pelawak!” Yukihiro menepuk pundakku dan tertawa kecil menggodaku.

“Yuki! Kau ini memang -“

“Sudah cukup kalian berdua. Kau juga yang salah, Yuki-daruma!”

“Ah, Akuma-chan, sudah kubilang jangan pernah memanggilku lagi dengan nama itu kan!”

“Kau sendiri yang mulai dengan memanggilku dengan nama aneh itu, jadi kau tidak berhak untuk protes! Weee!”

“Huuuh. . . Ya sudahlah, aku mengaku bersalah. Kalau begitu untuk permintaan maaf, makan siang kali ini aku yang akan traktir! Kalian berdua pasti tidak ada yang membawa bekal kaaan?”

“Ah! Yuki! Benar kau menraktir kami berdua?” Tanyaku dengan sangat berharap.

“Oh! Tentu saja, Haru! Hidup sendiri memang berat, aku juga merasakannya.” Jawab Yukihiro membuat perutku, maksudku hatiku bernyanyi dengan riang. Bagi seseorang yang hidup sendiri, sebuah ajakan untuk menyantap makan dengan gratis adalah suatu berkah yang sangat diharapkan. Yah, setidaknya itu menurutku, entah dengan yang lain.

“Aku sih bisa saja, tapi perlu diingat kalau aku ini tinggal di rumah bersama orangtuaku, tidak seperti kalian para pria yang selalu ditemani dengan selimut dan melawan kesepian tiap malam.”

Hai, hai, hai. Aku mengerti, Akuma-chan.”

“Ah! Kau memanggilku dengan nama itu lagi! Harus kupastikan kalau makan siang besok, dan besoknya lagi kau juga harus mentraktir kami!”

“Eh!? Aku bisa bangkrut kalau seperti itu. . .”

“Oh ya? Mana aku tahu kalau begitu. Lagipula, memang aku peduli. Hh!”

“Sabar saja Yuki. Dia memang begitu, kau pasti sangat tahu kan?” Kutepuk bahu Yukihiro berusaha menenangkannya, meski sebenarnya aku bermaksud menggodanya balik.

“Itu sama sekali tidak menenangkanku! Kau menggodaku saja, ya kan?”

“Sudahlah kalian berdua. Sampai kapan kalian mau berada di sana, sebentar lagi jam pertama akan dimulai kan? Ayo kita bergegas!”

“Ah kau benar, Akuma-chan! Sudah jam segini, ayo kita cepat masuk kelas, Haru!” Yukihiro melihat jam tangannya dan mulai berlari menyusul Fuyumi yang berjalan lebih dahulu.

“Oh ya, karena Yuki akan mentraktir, bagaimana kalau kita mengundang dia juga?” Usulku dengan suara keras seraya berlari menghampiri kedua orang yang telah berada di depanku itu. Seketika itu pula, langkah kaki mereka yang bergegas tiba-tiba terhenti. Keduanya menundukkan kepala mereka. Bukan untuk melihat lantai ataupun mencari sesuatu yang hilang, tapi karena aku kelepasan mengatakan hal yang seharusnya tak aku katakan.

Ya, ‘orang itu’ yang kumaksudkan tidak lain adalah orang itu. Dia adalah seseorang yang mampu membuat Yuki yang selalu tenang tanpa memikirkan apapun lepas kendali. Dia mampu membuatnya lari menembus hujan, bahkan membuat air matanya mengalir seperti hujan yang membasahi tanah. Tapi, dia juga yang dapat membuat Yuki tersenyum lebih cerah daripada bulan sabit di malam hari seperti yang barusan kulihat di wajah Fuyumi. Ya, dia tidak lain adalah ‘Aki-san’, Akiko Yamada.

Ketika membicarakan Akiko, semuanya terasa terbalik. Bukan bagiku, tapi bagi Yukishiro yang kemungkinan akan kembali menyusuri jalan yang aku dan dia tempuh atau mungkin dia akan masuk ke dunia di dalam cermin dimana semuanya merefleksikan kebalikannya - kebalikan antara posisiku dan posisinya tentunya. Apa yang terjadi sebenarnya di antara mereka berdua? Aku masih belum bisa menjelaskannya sekarang.

“Ah, maaf Yuki, aku mengatakan sesuatu yang ,-“

“Tidak apa-apa, daripada itu lebih baik kita segera masuk kelas.” Yukihiro mengatakan itu dengan senyum tipis yang kaku di wajahnya. Ketika melihatnya, aku merasa mendengar suatu suara dari dalam hatinya. Suara seperti sesuatu yang retak dan akan hancur bila dia tidak memasang senyuman itu. Entah itu berasal dari hatinya, atau jiwanya, tapi mungkin berasal dari keduanya.

“Sudahlah, Haru-kun! Benar kata si bodoh ini, kita segera masuk saja.”

Sekali lagi, meski sedikit saja tapi ajakan halus dan senyuman di wajah Fuyumi menghilangkan rasa bersalahku. “Hm! Ayo kita semuanya masuk! Ooooosh!”

Begitulah akhirnya kami bertiga melangkah menuju kelas. Dengan topeng raut wajah palsu, kami terus berjalan menyusuri lorong menuju ruangan kelas, tanpa sedikitpun ingin memperlihatkan bagaimana rupa kami yang asli kepada masing-masing.

***

Suasana belajar berjalan sebagaimana biasanya. Sunyi, senyap, dan sangat tenang ketika guru di depan menjelaskan, bahkan bagi sebagian penghuni kelas suasana ini sangaaaatlah tenang. Di barisan paling ujung dan bangku paling belakang, Yukihiro dengan nyamannya menyelam ke dalam dunia mimpinya. Yah, begitulah yang dilakukannya di sela-sela pelajaran, dan itu hampir setiap hari terjadi. Aku sering sekali terpikir, sebenarnya apa yang dilakukannya tiap malam hingga paginya dia dapat tidur seperti orang mati begitu? Belajar kah? Tapi, kuyakin bukan itu. Meskipun begitu, biarpun hanya sekilas, tapi aku seperti melihat wajah seseorang yang kelelahan setelah berjuang keras.

Begitulah hari-hari kami sebagai seorang siswa berlalu. Ada saatnya kami belajar dengan serius, dan ada saatnya kami bertingkah bodoh dan konyol hanya untuk menghibur diri kami walaupun sesaat setelah berjuang keras. Ya, berjuang untuk meraih mimpi yang kami miliki. Sesuatu yang tidak dapat kami lihat dengan mata tapi dapat dirasakan dan dibayangkan. Dan meski kami tahu bahwa hari-hari setelah ini akan jauh lebih berat dari sebelumnya, kami tetap berjuang keras merentangkan tangan kami demi melukis mimpi kami menjadi sesuatu yang nyata dan dapat dilihat oleh semua orang, bukan hanya kami seorang. Dengan pemikiran seperti itu, aku pun tersenyum sembari melihat birunya langit dari balik jendela kelas.

TO THE NEXT LOVE. . . . .

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲