LOVE II
***
***
Semuanya berawal dari hari itu. Hari di mana aku pertama kali pindah
ke apartemen yang kutinggali sekarang. Saat itu, aku tengah membereskan
barang-barangku sambil membayangkan akan jadi apa hidupku mulai
sekarang. Apa aku dapat bertahan hidup sendirian seperti ini? Atau
apakah aku dapat tetap menjaga kesehatanku setelah pergi jauh dari rumah
dan tidak akan ada lagi yang merawatku? Semua itu bercampur aduk di
kepalaku selagi tanganku sibuk memindahkan barang. Dan saat itulah orang
itu tiba-tiba muncul. . .
“Yo! Namamu Haru, ya kan?” Sapa orang itu yang tiba-tiba muncul di
dalam kamarku - entah kapan dia masuk, aku bahkan sama sekali tidak
menyadarinya.
“Da-darimana kau masuk ke kamarku!? La-lagipula, kau ini siapa?
Kenapa tahu namaku?” Tanyaku dengan gugup dan ketakutan melihat orang
asing di dalam kamarku itu.
“Ah, maaf aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Yukihiro Minamoto,
tetangga sebelah kamar sekaligus teman sekelasmu. Mungkin kau tidak
sadar, tapi tadi aku benar-benar ada di kelas yang sama denganmu. Jadi, yoroshiku!”
Gayanya memperkenalkan diri dengan begitu santainya awalnya membuatku
tidak suka dengan orang yang ada di hadapanku ini. Aku memang tidak
terlalu suka dengan orang yang sok akrab dan banyak bicara seperti orang
yang satu ini. Tapi entah mengapa, bahkan hingga aku selesai
membereskan semua barangku, aku tidak pernah memintanya meninggalkan
kamarku sekalipun. Aku merasakan sebuah aura misterius yang mengatakan
padaku bahwa aku tidak bisa begitu saja membiarkannya pergi. Bila saat
itu aku memaksanya pergi, tentu saja semuanya tidak akan jadi seperti
ini. Dan tentu saja, aku tidak akan dapat bertemu dengannya.
Setelah itu, aku mulai akrab dengan Yukihiro. Meski sebenarnya,
sangat berat sekali bagiku berteman dengannya karena dia kerap kali
menghilang dari pandanganku dan tiba-tiba muncul di tempat tak terduga.
Bahkan bukan hanya itu, dia juga tidak jarang muncul bersama seseorang
yang sama sekali tidak terduga. Ya, sama seperti saat itu ketika
tiba-tiba dia muncul dengan orang yang sama sekali tidak pernah kuduga
akan menjadi mimpiku. Seseorang yang dengan sekuat tenaga berusaha
kujangkau dengan tanganku, tetapi dia sama sekali tak mau menyambutnya,
bahkan dia sama sekali tidak berpikir untuk menoleh ke arahku
sedikitpun.
“Aaah, dasar Yuki itu! Dia benar-benar lama sekali hanya untuk
membeli makanan. Padahal kalau mau makan pizza cukup memesannya saja
lewat telepon kan? Kenapa harus capek-capek datang ke sana untuk
membelinya? Aaaah! Aku sama sekali tidak mengerti pemikirannya.” Aku
berulangkali mengeluh dengan perut kosong yang terus memanggil makanan
untuk mengisinya.
BRAAAK!
Pintu kamarku terbuka.
Dengan penuh harap, aku menoleh ke arah pintu dan mengharapkan
kawanku itu membawa sekotak atau dua kotak pizza untuk mengatasi rasa
laparku. Tapi, pemandangan yang kudapati di sana sama sekali berbeda
dengan apa yang kubayangkan, malah dapat kukatakan bahwa ini sama sekali
tidak dapat kubayangkan. Bukanlah pizza yang dibawa olehnya, melainkan
seorang gadis yang sebaya kami dengan rambut panjang berdiri di
belakangnya. Cahaya bulan yang cukup terang kala itu membuatku dapat
melihat sedikit raut wajah tsundere-nya yang tengah kesal.
“Yuki, itu. . . kenalanmu?”
“Kenalan? Kau ini suka bercanda, Haru. Tentu saja bukan, malah aku
baru bertemu dengannya tadi di toko pizza. Kami tadi berebut kotak pizza
yang terakhir berdua. Aku jadi benar-benar lupa tujuanku ke sana, dan
tanpa sadar kami berdua telah menghabiskan kotak pizza terakhir itu.
Ketika aku sadar aku langsung terpikir, “Aaaah. . . Pasti Haru kelaparan
sendirian di apartemen sana.”. Jadi, kupikir akan lebih baik kalau aku
membawanya juga kemari. Bagaimana?” Jelas Yukihiro dengan wajah polos.
“APANYA YANG BAGAIMANA!? Kau sudah jelas-jelas MENCULIK seseorang kan!?”
“Kau terlalu memujiku, Haru. Aku belum sepandai itu sampai bisa menculik seseorang, hahaha!”
“Aku sama sekali tidak memujimu. Dan lagi, lihat, dia juga kelihatan kesal kan?”
“Ah! Apa benar?” Yukihiro menatap wajah gadis itu yang tampak masih kelihatan kesal.
“Berhenti melihatku seperti itu! Kau membuatku semakin kesal saja!”
Kalimat pertama yang keluar dari gadis itu, sekalipun adalah ungkapan
kesal, tapi entah mengapa bagiku itu adalah suara yang hangat, ramah dan
dapat menggetarkan hatiku. Hanya saja di sisi lain, untuk pertama
kalinya hatiku merasa sedikit sakit karena suara yang pertama kali
kudengar itu bukanlah untukku, melainkan untuk si bodoh ini.
“Ma-maafkan dia, Yukihiro memang orang yang seperti itu.”
Kubungkukkan badanku meminta maaf pada gadis yang terlihat masih kesal
dan tidak peduli itu.
“Oi! Oi! Oi! Haru! Kau tidak perlu minta maaf begitu, kita ini tidak salah apapun kan?”
“Yuki, sampai mana kau mau keras kepala begitu? Kau juga minta maaf padanya!”
“Eh? Memangnya kenapa aku harus minta ma ,-“
“Sudahlah!” Dengan paksa kutarik badan Yukihiro agar ikut membungkuk sepertiku.
“Hh! Kalian ini para lelaki yang hidup sendirian memang menyedihkan.
Tapi, karena kalian sudah minta maaf dengan sungguh-sungguh, jadi
kupikir aku akan belikan kalian makanan.”
“Aaaah, benarkaaah?” Tanyaku tidak percaya.
“Tentu saja. Biarpun begini, tapi aku orangnya baik, tidak seperti
temanmu itu!” Jawab gadis itu seraya melemparkan tatapan tajam ke arah
Yukihiro.
“Apa maksudmu itu!? Kau ini ya ,-“
“Sudah, Yuki! Sudah cukup! Dia ini sudah berbaik hati membelikan kita
makanan, jadi jangan mengganggunya lagi. Jadi, tadi siapa namamu?”
“Ah, maafkan aku belum memperkenalkan diriku, namaku ,-“
“A-KU-MA~Chan, ya kan?” Yukihiro memotong perkenalan gadis itu. Tak
pelak, itu memancing lagi emosi sang gadis yang telah mulai tenang.
Akhirnya keributan pun tak terelakkan lagi. Baru setelah beberapa saat,
mereka pun berhenti bertengkar dan entah ini semua ide dari siapa, tapi
akhirnya aku dan gadis itu pergi keluar membeli makanan bersama.
Tentunya itu semua setelah berhasil mengurung Yukihiro sendirian di
kamarku, itu pun dengan susah payah pula. (Notes: Akuma = Evil)
“Oh ya, namaku Fuyumi Higashi. Yoroshiku ~ “ Sang gadis
memperkenalkan dirinya kembali ketika kami berjalan di jalan setapak
menuju ke apartemen setelah membeli makanan. Suaranya berbeda dengan
yang tadi, tapi tetap masih terdengar hangat dan ramah, dan kali ini
terasa lembut masuk ke dalam telingaku. Suasana yang tenang, dan cahaya
bulan yang cukup terang menyadarkanku untuk pertama kalinya bahwa
ternyata gadis yang sedari tadi berjalan di sampingku ini memiliki
senyuman yang indah.
Selama beberapa saat aku terpaku melihat wajahnya hingga akhirnya dia
menyadarkanku lagi. “Heeei ~ Kau tidak apa-apa kan? Namamu siapa?”
“Ah, maafkan aku. Aku jadi sedikit salah tingkah soalnya
jarang-jarang aku bisa berjalan berduaaan dengan seorang wanita apalagi
malam hari seperti ini. Perkenalkan, namaku Haru Takemoto.” Ucapku
dengan bibir yang bergetar dan penuh perasaan gugup dalam hatiku. Dan
untuk sejenak, kulihat dia tersipu malu mendengar kata-kataku itu. Dan
untuk sejenak pula, saat itu aku merasa sangat senang sekali. Aku
bersyukur dapat bertemu dengannya malam ini, meski itu semua karena
Yukihiro yang membawanya. Ya, itu semua berkat orang itu sekarang aku
bisa bertemu dengan Fuyumi. . .
***
Setelah malam itu berlalu, kami bertiga pun semakin akrab. Apalagi,
kemudian kami mengetahui bahwa Fuyumi juga satu sekolah denganku dan
Yukihiro. Dari sanalah kami menjadi banyak menghabiskan waktu bersama.
Tertawa, bercanda, dan selalu tersenyum setiap hari, seperti tidak akan
pernah ada badai kesedihan yang menerpa kami pada hari-hari itu. Atau
paling tidak, kami tidak mau membayangkan hal seperti itu terjad., Dan
sekalipun itu terjadi di salah satu antara kami bertiga, maka dengan
sekuat tenaga kami memasang senyuman terbaik kami sebagai topeng
kebohongan berharap bahwa hanya diri kami sendiri yang menggenggam
kesedihan itu.
Suatu hari suatu kejadian tak terduga menimpa kami bertiga dan hampir
saja meruntuhkan ikatan persahabatan kami yang belum lama terbentuk.
Yang paling buruk dari semua itu adalah, semua itu adalah kesalahanku.
Suatu keegoisan dari hatiku yang membuat semua menderita, membuat topeng
kebohongan kami retak dan hancur seketika menjadi berkeping-keping.
Hari itu sangatlah cerah, namun entah mengapa ramalan cuaca di
televisi mengatakan bahwa hari ini akan berawan dan kemungkinan besar
akan turun hujan. Dan pagi itu pun seperti biasa, aku berangkat
sendirian. Kemudian entah darimana, Yukihiro muncul mengagetkanku.
“Yo! Ohayou ~ Haru-kun ~” Sapa Yukihiro menggodaku menggunakan
kalimat sapaan yang biasa digunakan Fuyumi ketika menyapaku di pagi
hari.
“Berhentilah melakukan itu, Yuki!” Geramku.
“
Eh kenapa? Oh! Aku tahu. . . Pasti karena kau tidak mau orang lain
menggunakan kalimat dari Akuma-chan-mu yang tersayang, ya kan?
Benar-benar manis ~” Godanya lagi tak menghiraukan peringatanku.
“Sudahlah, berhenti menggodaku terus seperti itu, Yuki. Lagipula aku
dan Fuyumi-chan tidak ada hubungan apa-apa.” Balasku menyangkal.
“Hmmm. . . Apa kau yakin, Haru? Kalau begitu apa boleh aku bersamanya?”
Aku terdiam. Sebenarnya, aku ingin sekali menjawab “tidak” atas
pertanyaan Yukihiro itu. Namun, sesuatu di dalam hatiku menghalangiku
untuk mengucapkannya setiap kali melihat mereka berdua. Aku merasakan
ada sesuatu yang berbeda antara aku dan Fuyumi bila dibandingkan dirinya
dengan Yukihiro. Aku melihat sebuah jarak yang tak dapat aku sebrangi
menuju tempat mereka berdua berada. Dan karena itulah, bibirku hanya
dapat membeku ketika harus menjawab pertanyaan Yukihiro itu.
“Oi, Haru? Aku hanya bercanda saja kok, hanya bercanda. Lagipula,
siapa juga yang mau jatuh cinta kepada gadis segalak Akuma-chan itu? Aku
sih lebih memilih gadis yang lebih dewasa dan tenang. A-haha, hahaha!”
“Tidak apa-apa kok, Yuki, aku ,-“
“Maaf kalau aku tidak bisa menjadi gadis yang DEWASA dan TENANG.”
Belum usai aku berucap, Fuyumi yang datang menghampiri segera menyela
pembicaraan kami berdua. Wajahnya nampak kesal, dan dengan mudah aku
bisa menebak itu pasti karena kalimat Yukihiro barusan,
“Aku~ma~chaaaan ~ ! Kau akhirnya datang juga! Aku rindu padamu,
datanglah ke ayaaah ~ !” Yukihiro mendekat ke arah Fuyumi dengan
memasang wajah aneh, berusaha memberikan pelukan pada Fuyumi layaknya
sepasang ayah dan anak.
“Jangan mendekat kau, Yuki-daruma! Dasar orang mesum!” Fuyumi yang
memang selalu terganggu dengan candaan Yukihiro itu, tidak segan-segan
melayangkan pukulan baik dengan tangan kosong maupun dengan tas
sekolahnya ke wajah Yukihiro. Dan bila sudah seperti itu, maka akulah
yang akan bertugas menjadi pelerai mereka berdua.
“Haaaah. . .” Desahku panjang seraya menengahi mereka berdua. “Kalian
berdua ini selalu saja ribut setiap kali bertemu, seperti anjing dan
kucing saja. Hati-hati lho, orang bilang kan dari benci bisa saja jadi
cinta. Siapa tahu kalian berdua yang selalu bertengkar setiap hari
seperti ini, suatu hari nanti bisa saling romantis pada satu sama lain.”
Ucapku tak sadar dengan maksud bercanda.
“Tentu saja itu tidak akan terjadi, Haru! Aku, kau dan Akuma-chan
akan terus seperti ini, selamanya akan berteman. Ya kan, Akuma-chan?”
“. . . . .” Tak kudengar jawaban yang keluar dari bibir Fuyumi. Dia
menundukan kepalanya dan mengalihkan pandangannya dari kami berdua. “Baka!”
Lalu, hanya sebuah kata itulah yang terlontar dari mulut Fuyumi seraya
langkahnya yang terlihat begitu terburu-buru meninggalkan kami.
Langit pagi yang awalnya begitu biru dihiasi oleh awan putih dan
disinari oleh mentari yang memancarkan cahaya cerahnya, tiba-tiba
berubah kelabu. “Ah, seperti akan turun hujan sebentar lagi. Ternyata,
pembawa acara ramalan cuaca itu benar. Hujan. . . Akan datang. . .”
***
Semenjak hari itu, aku merasakan sedikit perubahan di antara kami
bertiga, terutama tentang sikap Fuyumi terhadap Yukihiro. Sejak
mendengar kata-kataku itu, Fuyumi jarang sekali meladeni candaan maupun
godaan dari Yukihiro, dan malah terlihat dia sangat menghindari sekali
bahkan untuk bertemu dengan Yukihiro sekalipun. Hal itu semakin
membuatku merasa bersalah kepada mereka berdua, terutama kepada Fuyumi.
Aku merasa sangat bersalah karena telah mengatakan hal yang seharusnya
tidak aku katakan. Saat itu, aku pun berpikir, bahwa seandainya aku bisa
menjadi seperti Yukihiro yang terlihat selalu tenang dan mungkin
“polos” dalam menghadapi perasaan orang lain, mungkin aku bisa
menyelesaikan semua masalah ini. Namun, justru itulah yang menjadi salah
satu kesalahan terbesarku yang hingga sekarang kadang sesekali aku
masih menyesalinya.
Di suatu sore, sepulang sekolah. Saat itu, hampir sudah tidak ada
lagi seorang siswa pun yang ada di sana kecuali aku, dan tentunya
Fuyumi, yang entah kenapa hari itu tiba-tiba memanggilku untuk bicara
berdua saja dengannya. Awalnya, aku sempat ragu untuk pergi menemuinya.
Namun, bagian diriku yang telah memutuskan ingin berubah menjadi seperti
Yukihiro memberikanku keberanian untuk melangkah ke dalam ruangan kelas
yang telah kosong.
“Y-Yo! A-Apa kabar, Fuyumi-chan?” Sapaku dengan begitu gugup dan kikuk.
“Ba-Baik-baik saja tentunya.” Jawab Fuyumi tanpa menatapku.
“La-lalu, ada apa kau memanggilku kemari? Jangan-jangan kau mau
mengungkapkan perasaanmu kepadaku ya? Aku bercanda, hahaha ,-“ Tawa
kakuku itu langsung kuhentikan ketika Fuyumi mengeluarkan sebuah kotak
dari laci meja duduknya. Tangannya yang menggenggam kotak itu perlahan
dia julurkan kepadaku. Dan dengan kesunyian kami berdua, tanpa sepatah
katapun yang terucap dari mulut Fuyumi, sosoknya yang diterpa sinar
matahari senja membuatku terpaku.
Sekujur tubuhku kurasakan membeku. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Suasana itu terus berlanjut hingga beberapa saat sampai
kulihat tangan Fuyumi mulai lelah dan bergetar. Saat itu juga, bagian
diriku yang ingin menjadi “polos” seperti Yukihiro mengalahkan semua
rasa yang ada di dalam diriku. Kuraih kotak berpita merah yang digenggam
Fuyumi, dan kemudian Fuyumi pun mengangkat kepalanya dan menatapku
dengan senyuman lembutnya.
“Ini untukku kan? Aku buka sekarang ya? Terima kasih ya,
Fuyumi-chan.” Dengan polosnya aku berkata dan mulai membuka kotak hadiah
dari Fuyumi. Ketika itu, aku terlalu fokus kepada benda dalam tanganku
itu dan tidak memperhatikan ekspresi wajah Fuyumi yang terlihat kaget
dan berubah pucat.
Selembar kertas dan sebuah bungkusan kecil terselip dalam kotak
berpita merah itu. Kutaruh kotak itu di meja di dekatku dan hanya
mengambil kertas yang ada di dalam kotak itu. Perlahan kubuka dan kubaca
sepenggal kalimat di dalam kotak itu.
“Untuk sahabatku, maafkan aku telah bersikap aneh kepadamu
akhir-akhir ini. Tapi, semua itu tentunya memiliki alasan. Setelah aku
mendengar kata-kata itu, aku menjadi sadar akan semuanya. Kita memang
selalu bertengkar dan tidak pernah akur, dan aku tahu semua itu tidak
bisa terus berjalan seperti ini. Karena itulah, aku ingin kau menerima
hadiah ini dan mengetahui bahwa aku sangat suka padamu. . . Yuki-daruma.”
Aku terkejut bukan main dengan apa yang tertulis di kertas itu.
Hatiku seolah-olah akan hancur seketika itu juga ketika aku selesai
membaca kalimat terakhir yang tertulis di sana. Bukan hanya karena aku
mengetahui kenyataan pahit bahwa perasaanku tak terbalas, tapi juga
karena kebodohanku yang berpura-pura menjadi seseorang yang bukan
diriku, dan semua itu justru hanya menyakiti orang yang ada di dekatku.
Aku seharusnya tahu dan sadar dari awal, bahwa menjadi orang lain
bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah, melainkan jalan untuk
melarikan diri dari kenyataan pahit yang telah menunggu.
“Fuyumi-chan, jadi hadiah ini sebenarnya untuk, Yuk ,-“
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Kemudian, Fuyumi berlari
keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. Dan meskipun hanya sesaat, tapi
sinar matahari senja memperlihatkanku sebuah sosok orang yang sangat
kusayangi pergi berlari dengan berlinang air mata. Dia berlalu dengan
cepat meninggalkanku di dalam ruangan kelas yang telah kosong dan terasa
hampa ini. Yah, sama seperti hatiku yang telah hancur dan terasa hampa
ini.
0 komentar:
Posting Komentar